A. LATAR
BELAKANG
Dalam rangka melakukan pembaharuan hukum pidana di Indonesia,
tentu tidak terlepas dari tugas politik hukum untuk meneliti perubahan-perubahan
yang perlu diadakan terhadap hukum yang ada sehingga dapat memenuhi
tuntutan-tuntutan dan kebutuhan-kebutuhan baru dalam masyarakat. Politik hukum
berusaha meneruskan arah perkembangan tertib hukum, dari ‘Ius Constitutum”
yang bertumpu pada kerangka landasan hukum yang terdahulu menuju pada penyusunan
hukum di masa datang atau ”Ius Constituendum”.
Barda Nawawi Arief secara jelas merumuskan tiga
latar belakang dan urgensi pembaharuan hukum pidana dengan meninjaunya dari
aspek sosio-politik, sosio-filosofik, dan sosio-kultural, sebagai berikut: Pembaharuan
hukum pidana pada hakekatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan
reorientasi dan reformasi hokum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral
sosio-politik, sosio-filosofik, dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang
melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum
di Indonesia.
Dalam asas strict liability si pembuat sudah
dapat dipidana apabila ia telah melakukan perbuatan sebagaimana dirumuskan
dalam undangundang tanpa melihat bagaimana sikap batinnya. Asas itu sering diartikan
secara singkat sebagai pertanggungjawaban tanpa kesalahan
(liability
without fault).Vicarious liability sering
diartikan sebagai “pertanggungjawaban” menurut hukum seseorang atas perbuatan
salah yang dilakukan oleh orang lain (the responsibility of one person for
the wrongful acts of another). Secara singkat sering diartikan “pertanggung
jawaban pengganti”.
Dengan demikian, kedua hal di atas, yakni mengenai
subjek delik dan mengenai asas kesalahan, di dalam perkembangannya mengalami perluasan.
Terhadap subjek delik, dengan adanya perkembangan masyarakat, dituntut adanya
pengakuan terhadap korporasi sebagai pelaku dan dapat dipertanggungjawabkan
dalam hukum pidana (corporate liability). Terhadap sistem
pertanggungjawaban pidana, muncul asas strict liability dan vicarious
liability sebagai pengecualian dari asas kesalahan.
Munculnya
berbagai sistem pertanggungjawaban pidana seperti tersebut di atas tentu saja menimbulkan
pertanyaan yang berkaitan dengan asas kesalahan yang dianut hukum pidana selama
ini. Harus diakui bahwa asas kesalahan merupakan asas yang sangat fundamental dalam
hukum pidana sehingga asas itu sangat penting dan dianggap adil dalam mempertanggungjawabkan
pelaku delik. Dikatakan demikian, karena pidana hanya dapat dijatuhkan kepada
pelaku delik yang mempunyai kesalahan dan mampu bertanggung jawab. Namun di
pihak lain, karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, tampaknya penyimpangan
terhadap asas kesalahan itu juga akan berpengaruh terhadap hukum pidana. Apabila
penyimpangan asas itu harus diterapkan, akan timbul pertanyaan bagaimanakah perkembangan
sistem pertanggungjawaban pidana di era sekarang ini, bagaimana sistem
pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana nasional pertanggungjawaban pidana
dalam hukum pidana nasional yang akan datang.
B. PERMASALAHAN
Berdasarkan pada pemikiran dan uraian diatas, dirumuskan permasalahan
sebagai berikut:
1. Bagaimana
sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini?
2. Bagaimana
sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana luar nasional sebagai bahan
perbandingan dalam rangka pembaharuan hukum pidana nasional mendatang?
C. PEMBAHASAN
Sistem
Pertanggungjawaban Pidana dalam KUHP
KUHP tidak menyebutkan secara eksplisit sistem
pertanggung jawaban pidana yang dianut. Beberapa pasal KUHP sering menyebutkan
kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan. Namun sayang, kedua istilah
tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut oleh undang-undang tentang maknanya.
Jadi, baik kesengajaan maupun kealpaan tidak ada keterangan lebih lanjut dalam
KUHP. Kedua kata-kata itu sering dipakai dalam rumusan delik, seakan-akan sudah
pasti, tetapi tidak tahu apa makannya. Hal itu seakan-akan tidak menimbulkan
keragu-raguan lagi dalam pelaksanaannya.
Apabila dicermati rumusan pasal-pasal yang ada dalam
KUHP, terutama buku kedua, tampak dengan jelas disebutkan istilah kesengajaan
atau kealpaan. Berikut ini akan dikutipkan rumusan
pasal-pasal
KUHP tersebut.
1)
Dengan sengaja
misalnya,
Pasal 338 KUHP yang berbunyi : Barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa
orang lain, diancam karena pembunuhan … dan seterusnya.
2)
Karena kealpaan
Misalnya,
Pasal 359 KUHP yang berbunyi : Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan
matinya orang lain, diancam dengan pidana … dan seterusnya.
Tidak
ada penjelasan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan kesengajaan atau kealpaan
tersebut. namun, berdasarkan doktrin dan pendapat para ahli hukum dapat
disimpulkan bahwa dengan rumsuan seperti itu berarti pasal-pasal tersebut
mengandung unsur kesalahan yang harus dibuktikan oleh pengadilan. Dengan kata
lain, untuk memidana pelaku, selain telah terbukti melakukan tindak pidana, maka
unsur kesengajaan atau kealpaan juga harus dibuktikan.
Sementara itu, terdapat juga pasal-pasal yang
dirumuskan tidak secara eksplisit mengenai kesengajaan atau kealpaan. Namun, dari
rumusannya sudah dapat ditafsirkan secara gramatikal bahwa rumusan yang
demikian tak lain dan tak bukan harus dilakukan dengan sengaja. Beberapa contoh
pasal itu dapat dilihat berikut ini.
1)
Dengan Maksud
Misalnya
Pasal 362 KUHP yang berbunyi:
Barang
siapa mengambil sesuatu barang yang seluruhnya atau untuk sebagian kepunyaan
orang lain dengan maksud untuk memilikinya dengan melawan hukum … dan
seterusnya.
2)
Mengetahui/Diketahui
Misalnya,
Pasal 480 KUHP yang berbunyi:
Barang
siapa … yang diketahuinya atau disangka bahwa barang itu diperoleh dari
kejahatan … dan selanjutnya.
3)
Yang Ia Tahu
Misalnya,
Pasal 245 KUHP yang berbunyi:
Barang
siapa yang dengan sengaja, mengeluarkan mata uang kertas negara atau uang
kertas yang ditirunya atau dipalsukannya sendiri atas yang pada waktu
diterimanya ia tahu … dan seterusnya.
4)
Dengan Paksa
Misalnya,
Pasal 167 KUHP berbunyi :
Barang
siapa dengan paksa dan melawan hukum memasuki sebuah rumah atau ruangan atau
pekarangan tertutup … dan seterusnya.
5)
Dengan Paksa
Misalnya,
Pasal 160 KUHP yang berbunyi :
Barang
siapa melawan hukum masuk dengan paksa ke dalam, atau dengan melawan hukum ada
tinggal di dalam rumah atau tempat yang tertutup, yang dipakai oleh orang yang
lain dan tidak
segera
pergi dari tempat itu, atas permintaan yang berhak … dan seterusnya.
6)
Dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan
Misalnya,
Pasal 175 KUHP yang berbunyi :
Barang
siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, merintangi pertemuan agama yang
bersifat umum dan diizinkan atau upacara agama yang diizinkan atau upacara
penguburan
jenazah,
diancam … dan seterusnya.
Kalau pasal-pasal kejahatan sebagaimana diuraikan di
atas disebutkan dengan jelas unsur kesalahan atau setidak-tidaknya bias ditafsirkan
secara gramatikal, tidak demikian halnya dengan pasal-pasal pelanggaran.
Apabila dicermati pasal-pasal pelanggaran, dari rumusannya, ada yang
jelas-jelas mensyaratkan unsur kesalahan, ada juga pasal-pasal yang tidak jelas
rumusannya, apakah kesalahan merupakan unsur yang harus ada atau tidak.
Pasal-pasal yang secara jelas mensyaratkan adanya unsure
kesalahan biasanya dirumuskan secara aktif, seperti menghasut, menjual,
menawarkan, membagi-bagikan, memburu, membawa, menjalankan, memberi, menerima,
tidak memenuhi kewajiban, dan dengan terang-terangan menunjukkan. Pasal-pasal
yang dirumuskan seperti ini dapat ditafsirkan bahwa unsur kesalahan harus
terdapat di dalamnya.
Di samping pasal-pasal tersebut di atas, terdapat
pula pasalpasal pelanggaran lain yang dilihat dari rumusannya tidak terlalu
jelas sehingga tidak mudah untuk menafsirkan apakah harus ada unsure kesalahan
atau tidak, seperti rumusan pasal-pasal berikut ini.
1)
Tidak Mentaati Perintah atau Petunjuk
Misalnya
Pasal 511 KUHP yang berbunyi :
Barang
siapa di waktu ada pesta, arak-arakan dan sebagainya tidak mentaati perintah
atau petunjuk yang diadakan … dan seterusnya.
2)
Tanpa
Wenang
Misalnya
Pasal 518 KUHP yng berbunyi :
Barang
siapa tanpa wewenang memberi pada atau menerima dari seorang terpidana sesuatu
barang, diancam dengan … dan seterusnya.
3)
Pasal 532 KUHP yang berbunyi :
Barang
siapa di muka umum menyanyikan lagu-lagu yang melanggar kesusilaan
4)
Pasal 540 KUHP yang berbunyi :
Barang
siapa menggunakan hewan untuk pekerjaan dengan yang terang melebihi
kekuatannya.
Dalam
Pasal 511 dan 518 tersebut di atas, Tidak mentaati perintah dan tanpa wewenang
tidak dijelaskan lebih lanjut, apakah pasal tersebut dilakukan dengan sengaja
atau alpa. Demikian juga
halnya
dengan Pasal 532, di muka umum menyanyikan lagu yang melanggar kesusilaan,
apakah dilakukan dengan sengaja atau alpa. Juga Pasal 540 menggunakan hewan
untuk pekerjaan yang terang melebihi kekuatannya, tidak dicantumkan unsur
kesengajaan atau kealpaan. Jika tidak ada unsur kesengajaan atau kealpaan itu, penegakan
hukumnya akan sulit, karena bisa saja pelaku menyatakan melakukan hal itu
karena tidak mengetahui akan adanya perintah atau pelaku tidak mengetahui bahwa
ia tidak wenang.
Dari
rumusan yang tidak jelas itu, timbul pertanyaan bagi penulis, apakah
pasal-pasal tersebut sengaja dibuat begitu, dengan maksud ke arah
pertanggungjawaban terbatas (strict liability)? Kalau dugaan penulis
benar, tanpa disadari sebenarnya KUHP kita juga menganut pengecualian terhadap
asas kesalahan, terutama terhadap pasal-pasal pelanggaran.
Pernah
juga dalam sejarahnya ada pandangan bahwa apabila seseorang melakukan suatu
tindak pidana, dia tentu dipidana, dengan tidak menghiraukan apakah padanya ada
kesalahan atau tidak.
Pandangan seperti ini juga pernah dikemukakan oleh
pembentuk undang-undang ketika membentuk WvS. Pada waktu itu kesalahan diperlukan
hanya pada jenis tindak pidana yang disebut kejahatan sehingga tidak pada
pelanggaran, sebagaimana dikatakan oleh MvT
(Memorie
van Toelichting) berikut ini:
“Pada
pelanggaran, hakim tidak perlu untuk mengadakan penyelidikan, apakah ada
kesengajaan atau kealpaan”.
Apakah
terdakwa telah melakukan sesuatu yang lalu bertentangan dengan undang-undang?
Cuma inilah yang perlu diselidiki. Dan dari jawabannya pula tergantung apakah dijatuhkan
pidana atau tidak. Pendapat demikian ini dinamakan ajaran feit materiel.
Di sini tidak dihiraukan sama sekali tentang syarat kesalahan.
Pandangan itu juga dipraktikkan dalam pengadilan
(Hooge Raad 23 Mei 1899; 17 Desember 1908, dan 18 Januari 1915). Dalam pertimbangan
Mahkamah itu disebutkan:
Tidaklah
menjadi soal, apakah terdakwa itu telah berbuat dengan sengaja atau dengan alpa
asal tidak karena daya memaksa (overmach) maka ia melakukan perbuatannya
itu.
Pada
bagian lain Hooge Raad pernah berpendapat : Adalah cukup untuk
menyatakan seseorang itu dapat dipidana karena telah melakukan pelanggaran,
apabila orang itu secara
materiel
atau secara nyata telah berperilaku seperti dirumuskan di dalam suatu ketentuan
pidana, tanpa perlu mempertimbangkan lagi apakah perilaku orang tersebut dapat dipersalahkan
kepadanya atau tidak.
Persoalan tersebut di atas telah dinyatakan pula
dalam Arrest H.R tnggal 14 Pebruari 1916 tentang “arrest air dan susu” sebagai
berikut
:
A.B
pengusaha susu menyuruh D melever susu yang ternyata susu tersebut tidak murni
karena telah dicampur air . D tidak tahu sama sekali tentang hal itu.
Berdasarkan pasal 303a dan 344 Peraturan Polisi Umum, perbuatan itu diancam
pidana dan merupakan tindak pidana pelanggaran .Oleh Hooge Raad A.B dijatuhi
pidana, dengan pertimbangan telah menyuruh pelayannya (D) melever susu dengan sebutan
“susu murni” padahal dicampur dengan air, hal tersebut tidak
diketahui
oleh D.
Sehubungan
dengan pandangan pembentuk WvS yang diikuti oleh putusan Mahkamah Agung Belanda
tersebut, tidak diragukan lagi bahwa pembentuk WvS menghendaki agar terhadap pelanggaran
tidak perlu ada unsur kesalahan. Kenyataan seperti itu mengundang pro dan
kontra di kalangan ahli hukum. Simons, misalnya, termasuk yang menentang
pendapat itu. Pada tahun 1884 ia telah mulai dengan serangan-serangannya
terhadap pendapat klasik itu, antara lain, dalam karangannya Schuldbegrip
bij overtredingen dan Themis 1884. Sebagai asas pokok yang
diajukan adalah: Tidak ada pidana tanpa kesalahan.
Dengan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa
terdapat perbedaan pendapat mengenai penerapan ajaran feit materiel. Di
satu pihak, penjelasan WvS menyebutkan bahwa untuk pelanggaran tidak diperlukan
adanya kesengajaan atau kealpaan, cukup apabila perbuatan pelaku memenuhi
rumusan delik sehingga ia dapat dipidana. Pendapat seperti ini diikuti juga
oleh pengadilan. Namun di pihak lain, para ahli hukum mempermasalahkan
penerapan feit materiel itu yang dirasakan mengandung
ketidakadilan. Pola pikir ahli hukum pada waktu itu adalah karena dianutnya
doktrin/ajaran tidak tertulis yang berbunyi geen straf zonder schuld yang
artinya “tidak ada pidana tanpa kesalahan”.
Dari
uraian itu tampak jelas adanya perbedaan pendapat antara penjelasan pembentuk
undang-undang (WvS) yang diikuti putusan Hooge Raad di satu pihak,
dengan pendapat ahli hukum di
pihak
lain. Menurut hemat penulis, melihat kondisi rumusan pasalpasal pelanggaran
dalam KUHP, maka penulis cenderung memilih penjelasan WvS yang telah
dipraktikkan oleh pengadilan Belanda, yakni terhadap pelanggaran tidak perlu
dibuktikan adanya unsure kesalahan baik berupa kesengajaan maupun kealpaan.
Sistem
Pertanggungjawaban Pidana Dalam Kajian Perbandingan
Asas
“tiada pidana tanpa kesalahan” (asas culpabilitas atau nulla poena
sine culpa pada umumnya diakui sebagai prinsip umum diberbagai negara.
Namun tidak banyak KUHP di berbagai Negara yang merumuskan secara tegas asas
ini di dalam KUHP nya. Oleh karena itu sebagai bahan kajian perbandingan,
mengenai masalah pertanggungjawaban pidana atau kesalahan, berikut ini akan dikemukakan
rumusanya dari berbagai KUHP negara lain, sebagai
berikut
:
Dalam
Rumusan KUHP Uni Soviet
Dalam
KUHP Uni Soviet (1958) ada pasal khusus yang merumuskan secara tegas The
Basic for Criminal Responsibility (Dasar pertanggungjawaban pidana)
,yaitu pasal 3 sebagai berikut :
“Only
a person guilty of the commission of a crime, tha is who has, either
deliberately or by negligence, committed any of the socily dangerous acts
defined by the criminal laws, is deemed liable to criminal responsibility and
to punishement.
(Hanya
orang yang bersalah melakukan kejahatan, yaitu orang yang dengan sengaja atau
dengan kealpaan melakukan suatu perbuatan yang berbahaya bagi masyarakat yang
ditetapkan oleh undang-undang pidana, dapat dipertimbangkan untuk pertanggungjawaban
pidana dan dipidana).
Dalam
Rumusan KUHP Republik Demokrasi Jerman
Dalam
KUHP Republik Demokrasi Jerman (1968) menyatakan dalam pasal II Aturan Umum
sebagai berikut :
“…
The proper application of criminal law demands that everi criminal ac is
detected and thad the guilty person is called to account…”
(Penerapan
hukum pidana yang tepat menuntut, bahwa setiap tindak pidana diusut dan orang
yang bersalah dipertanggungjawabkan)
Dalam
Rumusan KUHP Greenland
Dalam
KUHP Greenland (1954) diatur dalam aturan umum mengenai penerapan sanksi. Pasal
86 menyatakan :
“
Upon a finding of guilt the court shall indicate which one or ones of the above
sanction shall be imposed”.
(Berdasarkan
penemuan kesalahan, pengadilan akan menunjuk/menyatakan mana diantara satu atau
beberapa sanksi di atas yang akan dikenakan kepada si pelaku tindak pidana).
Dalam
Rumusan KUHP Yugoslavia
Dalam
KUHP Yogoslavia (1951) dirumuskan dalam pasal 7 ayat (1) sebagai berikut :
“An
offender shall be crinality liable for a criminal offence only when he has committed
it intentionally or by negligence”.
(Seorang
pelanggar akan dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukannya hanya
apabila ia melakukannya dengan sengaja atau dengan kealpaan).
Dalam
Rumusan KUHP Thailand
Dalam
KUHP Thailand (1956) dirumuskan dalam pasal 59 sebagi berikut :
“A
person shall be criminally liable only when he comits an act
intentionally,except in the case where the law provides that he must be liable when
he commts an act by negligence, or except in the case where the law clearly
provides that must be liable even though he commits an act unintentionally”.
(Seseorang
hanya akan dipertanggungjawabkan apabila ia melakukan suatu perbuatan dengan
sengaja, kecuali dalam hal
a.
Undang-undang menetapkan bahwa ia harus dipertanggungjawabkan apabila ia
melakukan suatu perbuatan dengan kealpaan ; atau
b.
Undang-undang secara jelas menetapkan bahwa ia harus bertanggungjawab walaupun
ia melakukan perbuatan tidak dengan sengaja).
Dari
perumusan di atas menurut KUHP Thailand pada prinsipnya hanya orang yang
melakukan perbuatan dengan sengaja sajalah yang dapat dinyatakan bersalah dan
dipidana. Dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan dengan kealpaan atau
hanya melakukan perbuatan saja walaupun tidak dengan sengaja, hanya merupakan
suatu perkecualian.Perumumusan perkecualian yang digunakan pada poin b menunjukkan
dianutnya ajaran Strict Liability
sebagai
perkecualian dari asas culpabilitas.
Asas
tiada pidana tanpa kesalahan pada umumnya diakui
sebagai
prinsip umum di berbagai negara. Namun tidak banyak KUHP di berbagai negara
yang merumuskan secara tegas asas ini di dalam KUHP nya. Biasanya perumusan
asas ini terlihat dalam perumusan mengenai pertanggungjawaban pidana, khususnya
yang berhubungan
dengan
masalah kesengajaan dan kealpaan.
D.
PENUTUP
A.
Simpulan
2.
Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana nasional yang akan datang
menerapkan “asas tiada pidana tanpa kesalahan” yang ditegaskan secara eksplisit
dalam Pasal 35 ayat (1) sebagai salah satu asas fundamental, oleh karenanya
perlu ditegaskan secara ekspilisit sebagai pasangan dari asas legalitas dan
merupakan perwujudan dari ide keseimbangan monodualistik. Akan tetapi dalam perkembangannya
asas tersebut tidak dapat lagi digunakan sebagai satu-satunya asas dalam
menentukan siapa yang bertanggungjawab terhadap tindak pidana yang terjadi
.Oleh karena itu dalam hal-hal tertentu memberi kemungkinan menerapkan asas “strict
liability,” “vicarious liability,” “Erfolgshaftung”, “Kesesatan/error”,
“Rechterlijk Pardon”, “Culpa In Causa” dan masalah
pertanggungjawaban pidana yang berhubungan dengan masalah “subjek tindak pidana”
yang berupa “korporasi”, maka,menerapkan pula asas “corporate criminal
liability”. Strict liability sering diartikan sebagai pertanggungjawaban
pidana ketat/terbatas. Hal itu berarti si pembuat sudah dapat dipidana jika ia
telah melakukan perbuatan sebagaimana yang telah dirumuskan dalam undang-undang
tanpa melihat kesalahannya. Vicarious liability sering diartikan sebagai
pertanggungjawaban pidana pengganti. Hal itu berarti seseorang sudah dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatan pidana dan kesalahan yang dilakukan orang
lain, Erfolgshaftung adalah pertanggungjawaban terhadap akibat yang
tidak dituju/tidak dikehendaki atau tidak disengaja, Kesesatan atau Error dinyatakan
bahwa pada prinsipnya pembuat tidak dapat dipertanggungjawabkan kecuali apabila
kesesatannya patut dipersalahkan, Rechterlijk Pardon, yaitu kewenangan
yang diberikan kepada hakim untuk memberi maaf atau pengampunan kepada
sipembuat tanpa menjatuhkan pidana atau tindakan apapun, Culpa In Causa,
yaitu memberi kewenangan kepada hakim untuk tetap mempertanggungjawabkan si
pelaku tindak pidana walaupun ada alasan penghapus pidana. Sedangkan corporate
criminal liability adalah pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi
sebagai subjek atau pelaku tindak pidana. Semua asas itu selama ini belum atau
tidak diatur dalam KUHP (Wvs).
Asas tiada pidana tanpa kesalahan pada umumnya juga
diakui di negara lain. Namun tidak banyak negara yang merumuskan asas tersebut
secara tegas dalam KUHP nya. Asas tiada pidana tanpa kesalahan biasanya
dirumuskan dalam perumusan mengenai “pertanggungjawaban pidana”, khususnya yang
berhubungan dengan masalah kesengajaan dan kealpaan.
B.
Saran
1.
KUHP
yang merupakan induk sentral dari hukum pidana materiil hendaknya diadakan pembaharuan
(walaupun secara parsial) yang merumuskan atau mencantumkan ketentuan secara tegas
mengenai perluasan subjek atau pelaku tindak pidana sekaligus pengakuan adanya penyimpangan
terhadap asas kesalahan dalam menentukan pertanggungjawaban pidananya.
2. Di dalam rangka
melakukan pembaharuan hukum pidana mengenai masalah sistem pertanggungjawaban
pidana hendaknya tidak hanya menyandarkan pada konsep strict liability dan
vicarious liability tetapi juga mengacu pada konsep-konsep lain
khususnya yang berkaitan dengan sistem pertanggungjawaban korporasi,
seperti corporate mens rea atau specific corporate offences.
3. Penentuan tindak pidana apa saja yang
dapat diterapkan asas yang menyimpang dari asas kesalahan hendaknya dirumuskan
secara tegas dalam undang-undang.
DAFTAR
PUSTAKA
Arief,
Barda Nawawi 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung.
_______________,
2000, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan
Dengan Pidana Penjara, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang.
_______________,
2001, Masalah Penegakan Hukum &
Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Atmasasmita,
Romli Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta: Yayasan. Bandung:Angkasa,
1995.
Hatrik, Hamzah Asas
Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada. 1996.
Saleh. Roeslan Pikiran-pikiran
tentang Pertanggungjawaban Pidana. Cetakan Pertama. Jakarta: Ghalia
Indonesia. 1982
Tidak ada komentar:
Posting Komentar