Selasa, 13 Desember 2011

Sistem Pertanggungjawaban Pidana dalam KUHP (wvs) Dengan beberapa KUHP Negara Luar Sebagai Kajian Dalam Membangun KUHP Nasional




A.    LATAR BELAKANG
Dalam rangka melakukan pembaharuan hukum pidana di Indonesia, tentu tidak terlepas dari tugas politik hukum untuk meneliti perubahan-perubahan yang perlu diadakan terhadap hukum yang ada sehingga dapat memenuhi tuntutan-tuntutan dan kebutuhan-kebutuhan baru dalam masyarakat. Politik hukum berusaha meneruskan arah perkembangan tertib hukum, dari ‘Ius Constitutum” yang bertumpu pada kerangka landasan hukum yang terdahulu menuju pada penyusunan hukum di masa datang atau ”Ius Constituendum”.
Barda Nawawi Arief secara jelas merumuskan tiga latar belakang dan urgensi pembaharuan hukum pidana dengan meninjaunya dari aspek sosio-politik, sosio-filosofik, dan sosio-kultural, sebagai berikut: Pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hokum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik, dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia.
Dalam asas strict liability si pembuat sudah dapat dipidana apabila ia telah melakukan perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam undangundang tanpa melihat bagaimana sikap batinnya. Asas itu sering diartikan secara singkat sebagai pertanggungjawaban tanpa kesalahan
(liability without fault).Vicarious liability sering diartikan sebagai “pertanggungjawaban” menurut hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain (the responsibility of one person for the wrongful acts of another). Secara singkat sering diartikan “pertanggung jawaban pengganti”.
Dengan demikian, kedua hal di atas, yakni mengenai subjek delik dan mengenai asas kesalahan, di dalam perkembangannya mengalami perluasan. Terhadap subjek delik, dengan adanya perkembangan masyarakat, dituntut adanya pengakuan terhadap korporasi sebagai pelaku dan dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana (corporate liability). Terhadap sistem pertanggungjawaban pidana, muncul asas strict liability dan vicarious liability sebagai pengecualian dari asas kesalahan.
Munculnya berbagai sistem pertanggungjawaban pidana seperti tersebut di atas tentu saja menimbulkan pertanyaan yang berkaitan dengan asas kesalahan yang dianut hukum pidana selama ini. Harus diakui bahwa asas kesalahan merupakan asas yang sangat fundamental dalam hukum pidana sehingga asas itu sangat penting dan dianggap adil dalam mempertanggungjawabkan pelaku delik. Dikatakan demikian, karena pidana hanya dapat dijatuhkan kepada pelaku delik yang mempunyai kesalahan dan mampu bertanggung jawab. Namun di pihak lain, karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, tampaknya penyimpangan terhadap asas kesalahan itu juga akan berpengaruh terhadap hukum pidana. Apabila penyimpangan asas itu harus diterapkan, akan timbul pertanyaan bagaimanakah perkembangan sistem pertanggungjawaban pidana di era sekarang ini, bagaimana sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana nasional pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana nasional yang akan datang.

B.     PERMASALAHAN
Berdasarkan pada pemikiran dan uraian diatas, dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.    Bagaimana sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini?
2.    Bagaimana sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana luar nasional sebagai bahan perbandingan dalam rangka pembaharuan hukum pidana nasional mendatang?










C.    PEMBAHASAN

Sistem Pertanggungjawaban Pidana dalam KUHP
KUHP tidak menyebutkan secara eksplisit sistem pertanggung jawaban pidana yang dianut. Beberapa pasal KUHP sering menyebutkan kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan. Namun sayang, kedua istilah tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut oleh undang-undang tentang maknanya. Jadi, baik kesengajaan maupun kealpaan tidak ada keterangan lebih lanjut dalam KUHP. Kedua kata-kata itu sering dipakai dalam rumusan delik, seakan-akan sudah pasti, tetapi tidak tahu apa makannya. Hal itu seakan-akan tidak menimbulkan keragu-raguan lagi dalam pelaksanaannya.
Apabila dicermati rumusan pasal-pasal yang ada dalam KUHP, terutama buku kedua, tampak dengan jelas disebutkan istilah kesengajaan atau kealpaan. Berikut ini akan dikutipkan rumusan
pasal-pasal KUHP tersebut.
1) Dengan sengaja
misalnya, Pasal 338 KUHP yang berbunyi : Barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan … dan seterusnya.
2) Karena kealpaan
Misalnya, Pasal 359 KUHP yang berbunyi : Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana … dan seterusnya.
Tidak ada penjelasan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan kesengajaan atau kealpaan tersebut. namun, berdasarkan doktrin dan pendapat para ahli hukum dapat disimpulkan bahwa dengan rumsuan seperti itu berarti pasal-pasal tersebut mengandung unsur kesalahan yang harus dibuktikan oleh pengadilan. Dengan kata lain, untuk memidana pelaku, selain telah terbukti melakukan tindak pidana, maka unsur kesengajaan atau kealpaan juga harus dibuktikan.
Sementara itu, terdapat juga pasal-pasal yang dirumuskan tidak secara eksplisit mengenai kesengajaan atau kealpaan. Namun, dari rumusannya sudah dapat ditafsirkan secara gramatikal bahwa rumusan yang demikian tak lain dan tak bukan harus dilakukan dengan sengaja. Beberapa contoh pasal itu dapat dilihat berikut ini.
1) Dengan Maksud
Misalnya Pasal 362 KUHP yang berbunyi:
Barang siapa mengambil sesuatu barang yang seluruhnya atau untuk sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud untuk memilikinya dengan melawan hukum … dan seterusnya.

2) Mengetahui/Diketahui
Misalnya, Pasal 480 KUHP yang berbunyi:
Barang siapa … yang diketahuinya atau disangka bahwa barang itu diperoleh dari kejahatan … dan selanjutnya.
3) Yang Ia Tahu
Misalnya, Pasal 245 KUHP yang berbunyi:
Barang siapa yang dengan sengaja, mengeluarkan mata uang kertas negara atau uang kertas yang ditirunya atau dipalsukannya sendiri atas yang pada waktu diterimanya ia tahu … dan seterusnya.
4) Dengan Paksa
Misalnya, Pasal 167 KUHP berbunyi :
Barang siapa dengan paksa dan melawan hukum memasuki sebuah rumah atau ruangan atau pekarangan tertutup … dan seterusnya.
5) Dengan Paksa
Misalnya, Pasal 160 KUHP yang berbunyi :
Barang siapa melawan hukum masuk dengan paksa ke dalam, atau dengan melawan hukum ada tinggal di dalam rumah atau tempat yang tertutup, yang dipakai oleh orang yang lain dan tidak
segera pergi dari tempat itu, atas permintaan yang berhak … dan seterusnya.
6) Dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan
Misalnya, Pasal 175 KUHP yang berbunyi :
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, merintangi pertemuan agama yang bersifat umum dan diizinkan atau upacara agama yang diizinkan atau upacara penguburan
jenazah, diancam … dan seterusnya.
Kalau pasal-pasal kejahatan sebagaimana diuraikan di atas disebutkan dengan jelas unsur kesalahan atau setidak-tidaknya bias ditafsirkan secara gramatikal, tidak demikian halnya dengan pasal-pasal pelanggaran. Apabila dicermati pasal-pasal pelanggaran, dari rumusannya, ada yang jelas-jelas mensyaratkan unsur kesalahan, ada juga pasal-pasal yang tidak jelas rumusannya, apakah kesalahan merupakan unsur yang harus ada atau tidak.
Pasal-pasal yang secara jelas mensyaratkan adanya unsure kesalahan biasanya dirumuskan secara aktif, seperti menghasut, menjual, menawarkan, membagi-bagikan, memburu, membawa, menjalankan, memberi, menerima, tidak memenuhi kewajiban, dan dengan terang-terangan menunjukkan. Pasal-pasal yang dirumuskan seperti ini dapat ditafsirkan bahwa unsur kesalahan harus terdapat di dalamnya.
Di samping pasal-pasal tersebut di atas, terdapat pula pasalpasal pelanggaran lain yang dilihat dari rumusannya tidak terlalu jelas sehingga tidak mudah untuk menafsirkan apakah harus ada unsure kesalahan atau tidak, seperti rumusan pasal-pasal berikut ini.
1) Tidak Mentaati Perintah atau Petunjuk
Misalnya Pasal 511 KUHP yang berbunyi :
Barang siapa di waktu ada pesta, arak-arakan dan sebagainya tidak mentaati perintah atau petunjuk yang diadakan … dan seterusnya.
2) Tanpa Wenang
Misalnya Pasal 518 KUHP yng berbunyi :
Barang siapa tanpa wewenang memberi pada atau menerima dari seorang terpidana sesuatu barang, diancam dengan … dan seterusnya.
3) Pasal 532 KUHP yang berbunyi :
Barang siapa di muka umum menyanyikan lagu-lagu yang melanggar kesusilaan
4) Pasal 540 KUHP yang berbunyi :
Barang siapa menggunakan hewan untuk pekerjaan dengan yang terang melebihi kekuatannya.
Dalam Pasal 511 dan 518 tersebut di atas, Tidak mentaati perintah dan tanpa wewenang tidak dijelaskan lebih lanjut, apakah pasal tersebut dilakukan dengan sengaja atau alpa. Demikian juga
halnya dengan Pasal 532, di muka umum menyanyikan lagu yang melanggar kesusilaan, apakah dilakukan dengan sengaja atau alpa. Juga Pasal 540 menggunakan hewan untuk pekerjaan yang terang melebihi kekuatannya, tidak dicantumkan unsur kesengajaan atau kealpaan. Jika tidak ada unsur kesengajaan atau kealpaan itu, penegakan hukumnya akan sulit, karena bisa saja pelaku menyatakan melakukan hal itu karena tidak mengetahui akan adanya perintah atau pelaku tidak mengetahui bahwa ia tidak wenang.
Dari rumusan yang tidak jelas itu, timbul pertanyaan bagi penulis, apakah pasal-pasal tersebut sengaja dibuat begitu, dengan maksud ke arah pertanggungjawaban terbatas (strict liability)? Kalau dugaan penulis benar, tanpa disadari sebenarnya KUHP kita juga menganut pengecualian terhadap asas kesalahan, terutama terhadap pasal-pasal pelanggaran.
Pernah juga dalam sejarahnya ada pandangan bahwa apabila seseorang melakukan suatu tindak pidana, dia tentu dipidana, dengan tidak menghiraukan apakah padanya ada kesalahan atau tidak.
Pandangan seperti ini juga pernah dikemukakan oleh pembentuk undang-undang ketika membentuk WvS. Pada waktu itu kesalahan diperlukan hanya pada jenis tindak pidana yang disebut kejahatan sehingga tidak pada pelanggaran, sebagaimana dikatakan oleh MvT
(Memorie van Toelichting) berikut ini:
“Pada pelanggaran, hakim tidak perlu untuk mengadakan penyelidikan, apakah ada kesengajaan atau kealpaan”.
Apakah terdakwa telah melakukan sesuatu yang lalu bertentangan dengan undang-undang? Cuma inilah yang perlu diselidiki. Dan dari jawabannya pula tergantung apakah dijatuhkan pidana atau tidak. Pendapat demikian ini dinamakan ajaran feit materiel. Di sini tidak dihiraukan sama sekali tentang syarat kesalahan.
Pandangan itu juga dipraktikkan dalam pengadilan (Hooge Raad 23 Mei 1899; 17 Desember 1908, dan 18 Januari 1915). Dalam pertimbangan Mahkamah itu disebutkan:
Tidaklah menjadi soal, apakah terdakwa itu telah berbuat dengan sengaja atau dengan alpa asal tidak karena daya memaksa (overmach) maka ia melakukan perbuatannya itu.
Pada bagian lain Hooge Raad pernah berpendapat : Adalah cukup untuk menyatakan seseorang itu dapat dipidana karena telah melakukan pelanggaran, apabila orang itu secara
materiel atau secara nyata telah berperilaku seperti dirumuskan di dalam suatu ketentuan pidana, tanpa perlu mempertimbangkan lagi apakah perilaku orang tersebut dapat dipersalahkan kepadanya atau tidak.
Persoalan tersebut di atas telah dinyatakan pula dalam Arrest H.R tnggal 14 Pebruari 1916 tentang “arrest air dan susu” sebagai
berikut :
A.B pengusaha susu menyuruh D melever susu yang ternyata susu tersebut tidak murni karena telah dicampur air . D tidak tahu sama sekali tentang hal itu. Berdasarkan pasal 303a dan 344 Peraturan Polisi Umum, perbuatan itu diancam pidana dan merupakan tindak pidana pelanggaran .Oleh Hooge Raad A.B dijatuhi pidana, dengan pertimbangan telah menyuruh pelayannya (D) melever susu dengan sebutan “susu murni” padahal dicampur dengan air, hal tersebut tidak
diketahui oleh D.
Sehubungan dengan pandangan pembentuk WvS yang diikuti oleh putusan Mahkamah Agung Belanda tersebut, tidak diragukan lagi bahwa pembentuk WvS menghendaki agar terhadap pelanggaran tidak perlu ada unsur kesalahan. Kenyataan seperti itu mengundang pro dan kontra di kalangan ahli hukum. Simons, misalnya, termasuk yang menentang pendapat itu. Pada tahun 1884 ia telah mulai dengan serangan-serangannya terhadap pendapat klasik itu, antara lain, dalam karangannya Schuldbegrip bij overtredingen dan Themis 1884. Sebagai asas pokok yang diajukan adalah: Tidak ada pidana tanpa kesalahan.
Dengan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan pendapat mengenai penerapan ajaran feit materiel. Di satu pihak, penjelasan WvS menyebutkan bahwa untuk pelanggaran tidak diperlukan adanya kesengajaan atau kealpaan, cukup apabila perbuatan pelaku memenuhi rumusan delik sehingga ia dapat dipidana. Pendapat seperti ini diikuti juga oleh pengadilan. Namun di pihak lain, para ahli hukum mempermasalahkan penerapan feit materiel itu yang dirasakan mengandung ketidakadilan. Pola pikir ahli hukum pada waktu itu adalah karena dianutnya doktrin/ajaran tidak tertulis yang berbunyi geen straf zonder schuld yang artinya “tidak ada pidana tanpa kesalahan”.
Dari uraian itu tampak jelas adanya perbedaan pendapat antara penjelasan pembentuk undang-undang (WvS) yang diikuti putusan Hooge Raad di satu pihak, dengan pendapat ahli hukum di
pihak lain. Menurut hemat penulis, melihat kondisi rumusan pasalpasal pelanggaran dalam KUHP, maka penulis cenderung memilih penjelasan WvS yang telah dipraktikkan oleh pengadilan Belanda, yakni terhadap pelanggaran tidak perlu dibuktikan adanya unsure kesalahan baik berupa kesengajaan maupun kealpaan.


Sistem Pertanggungjawaban Pidana Dalam Kajian Perbandingan
Asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (asas culpabilitas atau nulla poena sine culpa pada umumnya diakui sebagai prinsip umum diberbagai negara. Namun tidak banyak KUHP di berbagai Negara yang merumuskan secara tegas asas ini di dalam KUHP nya. Oleh karena itu sebagai bahan kajian perbandingan, mengenai masalah pertanggungjawaban pidana atau kesalahan, berikut ini akan dikemukakan rumusanya dari berbagai KUHP negara lain, sebagai
berikut :
Dalam Rumusan KUHP Uni Soviet
Dalam KUHP Uni Soviet (1958) ada pasal khusus yang merumuskan secara tegas The Basic for Criminal Responsibility (Dasar pertanggungjawaban pidana) ,yaitu pasal 3 sebagai berikut :
“Only a person guilty of the commission of a crime, tha is who has, either deliberately or by negligence, committed any of the socily dangerous acts defined by the criminal laws, is deemed liable to criminal responsibility and to punishement.
(Hanya orang yang bersalah melakukan kejahatan, yaitu orang yang dengan sengaja atau dengan kealpaan melakukan suatu perbuatan yang berbahaya bagi masyarakat yang ditetapkan oleh undang-undang pidana, dapat dipertimbangkan untuk pertanggungjawaban pidana dan dipidana).

Dalam Rumusan KUHP Republik Demokrasi Jerman
Dalam KUHP Republik Demokrasi Jerman (1968) menyatakan dalam pasal II Aturan Umum sebagai berikut :
“… The proper application of criminal law demands that everi criminal ac is detected and thad the guilty person is called to account…”
(Penerapan hukum pidana yang tepat menuntut, bahwa setiap tindak pidana diusut dan orang yang bersalah dipertanggungjawabkan)

Dalam Rumusan KUHP Greenland
Dalam KUHP Greenland (1954) diatur dalam aturan umum mengenai penerapan sanksi. Pasal 86 menyatakan :
“ Upon a finding of guilt the court shall indicate which one or ones of the above sanction shall be imposed”.
(Berdasarkan penemuan kesalahan, pengadilan akan menunjuk/menyatakan mana diantara satu atau beberapa sanksi di atas yang akan dikenakan kepada si pelaku tindak pidana).

Dalam Rumusan KUHP Yugoslavia
Dalam KUHP Yogoslavia (1951) dirumuskan dalam pasal 7 ayat (1) sebagai berikut :
“An offender shall be crinality liable for a criminal offence only when he has committed it intentionally or by negligence”.
(Seorang pelanggar akan dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukannya hanya apabila ia melakukannya dengan sengaja atau dengan kealpaan).
Dalam Rumusan KUHP Thailand
Dalam KUHP Thailand (1956) dirumuskan dalam pasal 59 sebagi berikut :
“A person shall be criminally liable only when he comits an act intentionally,except in the case where the law provides that he must be liable when he commts an act by negligence, or except in the case where the law clearly provides that must be liable even though he commits an act unintentionally”.
(Seseorang hanya akan dipertanggungjawabkan apabila ia melakukan suatu perbuatan dengan sengaja, kecuali dalam hal
a. Undang-undang menetapkan bahwa ia harus dipertanggungjawabkan apabila ia melakukan suatu perbuatan dengan kealpaan ; atau
b. Undang-undang secara jelas menetapkan bahwa ia harus bertanggungjawab walaupun ia melakukan perbuatan tidak dengan sengaja).
Dari perumusan di atas menurut KUHP Thailand pada prinsipnya hanya orang yang melakukan perbuatan dengan sengaja sajalah yang dapat dinyatakan bersalah dan dipidana. Dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan dengan kealpaan atau hanya melakukan perbuatan saja walaupun tidak dengan sengaja, hanya merupakan suatu perkecualian.Perumumusan perkecualian yang digunakan pada poin b menunjukkan dianutnya ajaran Strict Liability
sebagai perkecualian dari asas culpabilitas.
Asas tiada pidana tanpa kesalahan pada umumnya diakui
sebagai prinsip umum di berbagai negara. Namun tidak banyak KUHP di berbagai negara yang merumuskan secara tegas asas ini di dalam KUHP nya. Biasanya perumusan asas ini terlihat dalam perumusan mengenai pertanggungjawaban pidana, khususnya yang berhubungan
dengan masalah kesengajaan dan kealpaan.






D. PENUTUP
A. Simpulan
2. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana nasional yang akan datang menerapkan “asas tiada pidana tanpa kesalahan” yang ditegaskan secara eksplisit dalam Pasal 35 ayat (1) sebagai salah satu asas fundamental, oleh karenanya perlu ditegaskan secara ekspilisit sebagai pasangan dari asas legalitas dan merupakan perwujudan dari ide keseimbangan monodualistik. Akan tetapi dalam perkembangannya asas tersebut tidak dapat lagi digunakan sebagai satu-satunya asas dalam menentukan siapa yang bertanggungjawab terhadap tindak pidana yang terjadi .Oleh karena itu dalam hal-hal tertentu memberi kemungkinan menerapkan asas “strict liability,” “vicarious liability,” “Erfolgshaftung”, “Kesesatan/error”, “Rechterlijk Pardon”, “Culpa In Causa” dan masalah pertanggungjawaban pidana yang berhubungan dengan masalah “subjek tindak pidana” yang berupa “korporasi”, maka,menerapkan pula asas “corporate criminal liability”. Strict liability sering diartikan sebagai pertanggungjawaban pidana ketat/terbatas. Hal itu berarti si pembuat sudah dapat dipidana jika ia telah melakukan perbuatan sebagaimana yang telah dirumuskan dalam undang-undang tanpa melihat kesalahannya. Vicarious liability sering diartikan sebagai pertanggungjawaban pidana pengganti. Hal itu berarti seseorang sudah dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan pidana dan kesalahan yang dilakukan orang lain, Erfolgshaftung adalah pertanggungjawaban terhadap akibat yang tidak dituju/tidak dikehendaki atau tidak disengaja, Kesesatan atau Error dinyatakan bahwa pada prinsipnya pembuat tidak dapat dipertanggungjawabkan kecuali apabila kesesatannya patut dipersalahkan, Rechterlijk Pardon, yaitu kewenangan yang diberikan kepada hakim untuk memberi maaf atau pengampunan kepada sipembuat tanpa menjatuhkan pidana atau tindakan apapun, Culpa In Causa, yaitu memberi kewenangan kepada hakim untuk tetap mempertanggungjawabkan si pelaku tindak pidana walaupun ada alasan penghapus pidana. Sedangkan corporate criminal liability adalah pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi sebagai subjek atau pelaku tindak pidana. Semua asas itu selama ini belum atau tidak diatur dalam KUHP (Wvs).
Asas tiada pidana tanpa kesalahan pada umumnya juga diakui di negara lain. Namun tidak banyak negara yang merumuskan asas tersebut secara tegas dalam KUHP nya. Asas tiada pidana tanpa kesalahan biasanya dirumuskan dalam perumusan mengenai “pertanggungjawaban pidana”, khususnya yang berhubungan dengan masalah kesengajaan dan kealpaan.
B. Saran
1.        KUHP yang merupakan induk sentral dari hukum pidana materiil hendaknya diadakan pembaharuan (walaupun secara parsial) yang merumuskan atau mencantumkan ketentuan secara tegas mengenai perluasan subjek atau pelaku tindak pidana sekaligus pengakuan adanya penyimpangan terhadap asas kesalahan dalam menentukan pertanggungjawaban pidananya.
2.      Di dalam rangka melakukan pembaharuan hukum pidana mengenai masalah sistem pertanggungjawaban pidana hendaknya tidak hanya menyandarkan pada konsep strict liability dan vicarious liability tetapi juga mengacu pada konsep-konsep lain khususnya yang berkaitan dengan sistem pertanggungjawaban korporasi, seperti corporate mens rea atau specific corporate offences.
3.       Penentuan tindak pidana apa saja yang dapat diterapkan asas yang menyimpang dari asas kesalahan hendaknya dirumuskan secara tegas dalam undang-undang.


















DAFTAR PUSTAKA

Arief, Barda Nawawi 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan  Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung.
_______________, 2000,   Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
_______________, 2001,  Masalah Penegakan Hukum & Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Atmasasmita, Romli Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta: Yayasan. Bandung:Angkasa, 1995.
Hatrik, Hamzah Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 1996.
Saleh. Roeslan Pikiran-pikiran tentang Pertanggungjawaban Pidana. Cetakan Pertama. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1982

Tidak ada komentar:

Posting Komentar