Pendahuluan
Serangkaian dengan diskusi bertema
“Sejauh manakah hukum adat Bali dapat mencegah berbagai konflik sosial
yang muncul di masyarakat”, panitia Dies
Natalis Universitas Udayana 2008, meminta saya menyajikan makalah
berjudul “Kajian Hukum Adat untuk Mencegah Konflik Sosial di
Masyarakat”. Untuk memudahkan dalam membahas judul di atas dan mengikuti
uraian selanjutnya, pembahasan akan diawali dengan penjelasan beberapa
istilah dan ungkapan, seperti: “hukum adat”, “konflik sosial” dan
“masyarakat”.
Dimaksud hukum adat dalam hal ini
terbatas pada hukum adat Bali. Demikian pula halnya dengan masyarakat
dalam hal ini maksudnya adalah masyarakat adat di Bali, yang lebih
dikenal dengan desa adat atau desa pakraman. Ada bermacam-macam konflik
yang terjadi di desa pakraman, seperti konflik intern desa pakraman dan
konflik antar desa pakraman dengan institusi lain di luar desa
pakraman. Konflik intern desa pakraman yang paling sering terjadi adalah
konflik yang melibatkan desa pakraman dengan warganya (krama desa)
yang muncul karena pelanggaran adat Bali dan norma agama Hindu. Konflik
ini lebih dikenal dengan konflik adat. Konflik antar desa pakraman
dengan institusi lain di luar desa pakraman yang sering terjadi adalah
konflik antar desa pekraman bertetangga karena soal batas desa, dan
konflik antar desa pakraman dengan investor. Permasalahan yang akan
dikaji dalam makalah singkat ini adalah bagaimana hukum adat Bali dapat
dimanfaatkan untuk mencegah dan menyelesaikan konflik yang melibatkan
desa pakraman dengan warganya maupun dengan institusi lain di luar desa
pakraman.
Konflik di Bali
Desa pakraman sebagai sebuah organisasi
sosial religius, memiliki sistem organisasi kemasyarakatan yang kuat
untuk mewujudkan keharmonisan warganya. Hal ini tampak dari struktur
organisasinya dan awig-awig desa pakraman, baik tertulis maupun tidak tertulis. Dalam menjaga keharmonisan hubungan sesama menusia, desa pakraman juga memiliki sejumlah kearifan lokal atau dalam ungkapan Wales (1948) disebut sebagai local genius yang dapat menyejukkan suasana, seperti paras-paros (bersama dalam suka dan duka), jele melah gelahang bareng (baik dan buruk, hargai sebagai milik bersama), matilesan dewek
(tahu diri), dll. Kearifan lokal ini tercermin dalam kehidupan penduduk
Bali, sehingga Bali menjadi terkenal karena keramahtamahan penduduknya
dan keindahan alamnya. Kenyataan inilah yang mungkin mengilhami Hickman
Powell (1930), seorang wisatawan yang juga penulis Amerika, sehingga
memberikan julukan “The Last Paradise” kepada Pulau Bali. Walaupun
demikian, tidak berarti Bali bebas dari konflik dan
kekerasan. Konflik dan kekerasan muncul ke permukaan karena berbagai
faktor penyebab seperti faktor politik, ekonomi, dan pelanggaran norma
agama Hindu serta adat Bali.
Konflik dan kekerasan di Bali, dikenal dengan istilah biota atau wicara. Pelakunya bukan hanya warga desa pakraman (krama desa), tetapi juga penduduk Bali. Dengan kata lain, setiap orang yang berada di Bali (baik krama desa, krama tamiu maupun tamiu), potensial dapat menimbulkan biota di tanah Bali.
Apabila konflik dan kekerasan itu
muncul karena pelanggaran norma agama Hindu dan adat Bali, dikenal
dengan sebutan “konflik adat”. Konflik adat sebenarnya bukan hal baru,
tetapi sudah terjadi sejak zaman kolonial, berlanjut sampai sekarang
dengan berbagai menifestasi. Sejak tahun 1999 menjadi semakin marak,
karena hembusan ”iklim” reformasi dan otonomi daerah. Penelitian yang
dilakukan selama tujuh tahun terakhir (1999 – 2005), menemukan 112
konflik terjadi di desa pakraman seluruh Bali, seperti tergambar dalam
tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1
Konflik di Desa Pakraman di Bali
Tahun 1999 – 2005
Kabupaten | KAD | KDKD | KDLL | KDP | KDKT | Jumlah |
Karangasem | 5 | 10 | 1 | 1 | - | 17 |
Klungkung | 1 | 4 | 2 | 2 | - | 9 |
Bangli | 1 | 8 | 1 | - | - | 10 |
Gianyar | 13 | 18 | 6 | - | 2 | 39 |
Badung | 2 | 6 | 2 | 1 | - | 11 |
Kodya Dps. | 1 | 1 | - | - | - | 2 |
Tabanan | 5 | 5 | - | 4 | - | 14 |
Buleleng | 4 | 4 | - | - | - | 8 |
Jemberana | - | 1 | 1 | - | - | 2 |
Jumlah | 22 | 57 | 13 | 8 | 2 | 112 |
% | 19,6 % | 50,9 % | 11,6 % | 7,1 % | 1,8 | 100 % |
Sumber: Tabel disusun oleh Wayan Windia, berdasarkan hasil penelitian tentang konflik di Bali, selama tahun 1999-2005.
Keterangan
KAD = Konflik antar Desa Pakraman
KDKD = Konflik Desa Pakraman dengan Krama Desa
KDLL = Konflik Desa Pakraman dengan Lembaga Lain
KDP = Konflik Desa Pakraman dengan Pemerintah
KDKT = Konflik Desa Pakraman dengan Krama Tamiu dan Tamiu
Berdasarkan data pada tabel di atas
dapat diketahui bahwa di antara lima kelompok konflik yang terjadi di
desa pakraman selama 1999 – 2005, konflik desa pakraman dengan krama
desa (KDKD) menempati jumlah terbanyak, yaitu 57 kasus (50,9 %). Disusul
kemudian KAD sebanyak 22 kasus (19,6 %), KDLL 18 kasus (11,6 %), KDP 8
kasus (7,1 %) dan KDKT hanya 2 kasus (1,8 %). Apabila konflik desa
pakramaan dengan krama desa (KDKD) yang pernah terjadi
dikaitkan dengan kabupaten dan kota yang ada di Bali, tampak Kabupaten
Gianyar menempati urutan terbanyak (18 konflik) dan disusul kemudian
Kabupaten Karangasem (10 kasus), sementara yang paling sedikit adalah Kabupaten Jemberana dan Kota Denpasar masing-masing hanya satu kasus.
Tingginya angka konflik di Kabupaten
Gianyar karena perbedaan penghargaan dan ikatan desa pakraman terhadap
krama desa dalam hubungannya dengan aktivitas sosial dan keagamaan.
Penghargaan dan ikatan desa pakraman di Kabupaten Gianyar terhadap
krama desa relatif lebih tinggi dan lebih ketat dibandingkan dengan
penghargaan dan ikatan desa pakraman terhadap krama desa yang ada di
kabupaten yang lainnya. Oleh karena itu, perbuatan tertentu yang oleh
desa pakraman di Kabupaten Gianyar dikatagorikan sebagai pelanggaran
yang patut dikenakan sanksi adat oleh desa pakraman dan cendrung
menimbulkan konflik dengan krama desa, di kabupaten lainnya, seperti
Denpasar dan Jembrana, justru dianggap sebagai perbuatan biasa dan tidak
dikatagorikan sebagai palanggaran.
Tidak semua konflik yang terjadi di desa
adat dapat disebut konflik adat. Perbedaan konflik adat dengan konflik
lain yang bukan konflik adat, dapat diketahui dari faktor penyebab
dan proses penyelesaiannya. Konflik adat muncul
karena ada pelanggaran adat sehingga menyebabkan kedamaian di desa
adat terganggu. Dalam ungkapan Ter Haar (1991:226) disebut
“keguncangan neraca keseimbangan masyarakat”. Dengan maksud
mengembalikan keseimbangan dalam masyarakat sebagai akibat adanya
pelanggaran adat tersebut, pelaku pelanggaran adat dikenakan sanksi
adat oleh desa pakraman yang merasa “terguncang neraca keseimbangannya”.
Berdasarkan hal tersebut, 57 (50,9%) konflik yang terjadi di desa adat
dapat digolongkan konflik adat.
Sanksi yang dikenakan mulai dari yang paling ringan, seperti pamiteket (peringatan), sampai yang terberat berupa kasepekang
(diberhentikan dan dikucilkan) dari pergaulan di desa pakraman. Di
antara 57 konflik yang melibatkan desa pakraman dengan krama desa yang
terjadi di Bali, sebanyak 24 di antaranya merupakan konflik adat yang
berakhir dengan pengenaan sanksi adat kasepekang. Jumlah konflik adat dengan sanksi kasepekang yang terjadi pada masing-masing kabupaten dan kota di Bali, tergambar dalam tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2
Konflik Desa Adat dengan Krama Desa dan
Sanksi Adat Kesepekang di Bali, 1999 – 2005
No | Kabupaten | Konflik Desa Pakraman dengan Krama Desa | Konflik disertai Sanksi Adat Kasepekang | % |
1 | Karangasem | 10 | 4 | 40 % |
2 | Klungkung | 4 | 2 | 50 % |
3 | Bangli | 8 | 3 | 37 % |
4 | Gianyar | 18 | 7 | 39 % |
5 | Badung | 6 | 3 | 50 % |
6 | Kodya Dps. | 1 | - | 0 % |
7 | Tabanan | 5 | 2 | 40 % |
8 | Buleleng | 4 | 3 | 75 % |
9 | Jemberana | 1 | - | 0 % |
Jumlah | 57 | 24 | 42% |
Sumber: Tabel disusun oleh Wayan Windia, berdasarkan hasil penelitian tentang konflik di Bali, selama tahun 1999-2006.
Berdasarkan data pada tabel 2 di atas
dapat diketahui bahwa hampir di semua kabupaten di Bali, pernah terjadi
konflik yang melibatkan desa pakraman dengan krama desa. Demikian pula halnya dengan penjatuhan sanksi adat kasepekang.
Konflik adat paling banyak terjadi di Kabupaten Gianyar, sementara
konflik yang paling sedikit terjadi di Kabupaten Jemberana dan Kodya
Denpasar, masing-masing hanya 1 kasus. Pada kabupaten-kabupaten di mana
terjadi banyak konflik antar desa pakraman dengan krama desa, di sana terdapat penjatuhan sanksi adat kasepekang yang lebih banyak juga. Jumlah konflik antar desa pakraman dengan krama desa terbanyak di Bali, terjadi di Kabupaten Gianyar (18 kasus). Penjatuhan sanksi adat kasepekang
yang terbanyak juga terjadi di Kabupaten Gianyar (7 kasus kasus).
Sementara di Kabupaten Jemberana dan Kondya Denpasar, tidak pernah
terjadi konflik adat yang mengakibatkan dikenakannya sanksi adat kasepekang.
Faktor Penyebab Konflik
Berdasarkan hasil penelitian atas
konflik yang terjadi di Desa Adat Bungaya, Kabupaten Karangasem, dapat
diketahui ada empat faktor penyebab munculnya konflik yaitu: faktor pelanggaran adat, faktor ekonomi, faktor politik, dan faktor perbedaan persepsi mengenai status kasta. Di
antara empat faktor tersebut, dua di antaranya mudah dikenali, yaitu
faktor pelanggaran adat dan perbedaan persepsi mengenai status kasta,
sedangkan faktor ekonomi dan faktor politik tidak tampak seperti halnya
dua faktor lainnya. Walaupun demikian, kepentingan yang didasarkan atas
pertimbangan untung rugi secara ekonomi serta perebutan pengaruh dan
kekuasaan di desa adat, senantiasa dapat dijumpai dalam setiap konflik
adat dan pengenaan sanksi kasepekang. Ini yang menyebabkan
konflik di desa pakraman menjadi semakin kompleks menggurita dan sulit
dimengerti kecuali oleh orang yang secara berkelanjutan menekuni bidang
ini.
Hal lain yang juga berpotensi dapat disebut sebagai faktor penyebab munculnya konflik di desa pakraman adalah: Pertama, warga desa (krama desa) belum memiliki persepsi yang sama mengenai tujuan (patitis)
desa pakraman. Akibatnya, upacara agama yang dilaksanakan sering
melampaui kemampuan desa pakraman penyelenggara, terutama dalam hubungan
dengan dana dan tenaga yang diperlukan. Kedua, sebagian besar institusi
di luar desa pakraman, belum sepenuhnya memahami tugas pokok dan fungsi
(tupoksi) desa pakraman.
Sebagai organisasi sosial religius, desa pakraman dibangun untuk menciptakan kedamaian (kasukertan) desa. Maka dari itu, segala program kerja yang disusun oleh perangkat pimpinan (prajuru)
desa, awig-awig dan sanksi adat yang dibuat, dan upacara agama yang
dilaksanakan di Pura Kayangan Tiga atau Kayangan Desa, sepatutnya
diformat sedemikian rupa, sehingga dapat menciptakan kedamaian desa.
Kalau ada program kerja, awig-awig, dan upacara agama yang melampaui
kondisi ekonomi, sehingga menimbulkan permasalahan bagi warga desa
pakraman, patut ditinjau dan disesuaikan dengan tujuan (patitis) yang ingin dicapai yaitu kedamaian (kasukertan)
desa. Apabila tidak demikian adanya, lama kelamaan warga desa dapat
berubah bentuk menjadi “katak” dan desa pakraman akan menjadi
“tempurungnya”.
Disisi lain, sebagian besar institusi di
luar desa pakraman, belum sepenuhnya memahami tugas pokok dan fungsi
(tupoksi) desa pakraman. Akibatnya, mereka cendrung menganggap desa
pakraman penghambat kemajuan. Atas nama kemajuan, lalu mereka datang ke
desa. Maksud hati menjadi motivator atau investor, yang muncul justru
provokator. Implikasinya, konflik di desa pakraman menjadi semakin
kompleks menggurita. Pertanyaanya, bagaimana hukum adat Bali dapat
dimanfaatkan untuk mencegah dan menyelesaikan konflik yang melibatkan
desa pakraman dengan warganya maupun dengan institusi lain di luar desa
pakraman?
Mencegah dan Menyelesaikan Konflik di Desa Pakraman
Mencegah Konflik
Untuk mencegah munculnya konflik di desa
pakraman, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, sebagai berikut.
Pertama, sanksi adat yang telah terbukti menjadi sorotan berbagai pihak
karena dianggap tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan hak azasi
manusia (HAM) seperti sanksi adat kasepekang, sebaiknya
ditinggalkan dan diganti dengan jenis sanksi lainnya yang lebih menjamin
tercapainya tujuan pengenaan sanksi adat, yaitu mengembalikan
keseimbangan dalam masyarakat dan menciptakan kasukertan sekala niskala
(kedamaian lahir batin). Kedua, prajuru desa perlu mengadakan perubahan
orientasi dalam menegakkan hukum adat (awig-awig desa). Penegakan
awig-awig tidak lagi harus bersikukuh pada interpretasi teks, melainkan
lebih berorientasi pada konteks ruang dan waktu serta manfaat yang
didapat. Dalam hubungan dengan usaha menciptakan kasukertan (kedamaian)
desa, hal ini mengandung arti bahwa dalam mengambil keputusan,
perangkat pimpinan desa pakraman (prajuru desa) tidak semata-mata harus
berpegang pada suara terbanyak (briuk siyu), melainkan patut meperhatikan kepatutan yang berlaku umum.
Menyelesaikan Konflik
Hukum adat memberi peluang untuk
menempuh beberapa jalan dalam menyelesaikan konflik yang melibatkan desa
pakraman. Pertama, diselesaikan sendiri oleh desa pakraman. Kedua, dimintakan bantuan pihak ketiga sebagai penengah. Ketiga, diserahkan kepada pihak yang berwenang (sang rumawos).
Cara paling tradisional dan mudah
dimengerti, untuk menyelesaikan konflik yang melibatkan desa pakraman
adalah diselesaikan sendiri oleh desa pakraman dan pihak-pihak yang
terlibat dalam konflik tersebut. Cara ini dikatakan murah karena memang
tidak membutuhkan biaya dan waktu yang terlalu banyak. Syaratnya,
masing-masing pihak yang terlibat konflik benar-benar memahami hakikat
obyek yang menjadi sumber pemicu konflik dan masing-masing pihak juga
benar-benar bermaksud menciptakan kedamaian bersama. Masalahnya, sering
kali pihak yang terlibat konflik, kurang mengerti hakikat objeknya,
sehingga yang muncul sebenarnya adalah pertarungan gengsi. Kalau
masing-masing kemudian bertahan pada gengsi dan ketidatahuannya, maka
konflik adat yang sebenarnya murah, menjadi tidak mudah diselesaikan.
Kalau cara pertama berakhir buntu,
disebabkan karena para pihak bertahan pada keinginannya masing-masing,
dapat dipilih cara kedua, dimintakan bantuan pihak ketiga sebagai
penengah. Dalam lalu lintas hukum, cara ini dikenal dengan istilah Alternatif Dispute Resolution
(ADR). Pihak ketiga yang mempunyai pengetahuan dan pengalaman sebagai
penengah menyelesaikan konflik, akan mengambil beberapa langkah awal
sebelum memberikan beberapa alternatif penyelesaian. Pertama-tama akan
dijelaskan beberapa termimologi yang berkaitan dengan penyebab munculnya
konflik tersebut. Sesudah para pihak memiliki persepsi yang sama,
barulah diberikan beberapa pilihan untuk menyelesaikannya. Pada
akhirnya yang menentukan pilihan adalah pihak-pihak yang terlibat
konflik. Cara ini memang lebih mudah dari cara pertama, tetapi tidak
murah. Perlu disiapkan sejumlah dana untuk pihak ketiga yang membantu
penyelesaian konflik adat yang dimaksud, sebagai honor atau uang jasa,
terlepas dari kenyataan apakah yang bersangkutan berhasil menyelesaikan
konflik adat tersebut atau tidak.
Cara paling murah dan relatif mudah
untuk menyelesaikan konflik yang melibatkan desa pakraman adalah dengan
cara menyerahkan kepada pihak yang berwenang (sang rumawos).
Yang dimaksud pihak berwenang dalam hal ini adalah pemerintah Kabupaten
di Bali atau pemerintah Provinsi Bali. Selanjutnya, pihak yang berwenang
akan berkoordinasi dengan orang yang ahli dan organisasi lainnya yang
memiliki kewenangan dibidang hukum adat Bali, seperti Majelis Desa
Pakraman (MDP) Bali dan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), dalam
menyelesaikan konflik yang dihadapi, dengan harapan lebih mudah
menemukan penyelesaian yang menyejukkan.
Cara penyelesaian konflik ini mengandung
beberapa keuntungan, antara lain: (1) Dominani desa pakraman dan banjar
pakraman dapat dikurangi, sehingga pemanfaatan suara dominan (suryak siu atau beriuk siuk),
dapat dihindari; (2) memungkinkan untuk memperluas penafsiran terhadap
awig-awig, dengan memperhatikan konteks disamping teks awig-awig; (3)
dapat mengatasi ketidakjelasan hukum acara yang selama ini ada pada
awig-awig desa.
Apabila cara ketiga ini yang dipilih,
berarti segala biaya yang diperlukan (honor, dll), dalam usaha
menyelesaikan konflik yang dihadapi, menjadi tanggungjawab pihak
berwenang. Demikian pula halnya kalau pihak berwenang merasa perlu
memanggil pihak tertentu (yang dianggap ahli) untuk memberikan bantuan,
maka segala biaya yang diperlukan menjadi tanggungjawab pihak berwenang.
Itu sebabnya penyelesaian dengan cara ini dikatakan “murah”.
Pihak-pihak yang terlibat konflik juga
tidak perlu pusing memikirkan alternatif penyelesaiannya. Tugas utama
yang harus dilaksanakan adalah menyerahkan fakta, data, dan daftar
keinginan. Sesudah itu, pihak yang berwenanglah yang memikirkan
penyelesaian terbaik bagi para pihak yang terlibat konflik.
Sesudah konflik diselesaikan dan keputusan ditetapkan, tidak ada hak
bagi pihak yang terlibat dalam konflik tersebut, untuk mendiskusikan
kembali putusan yang telah diambil. Tugas masing-masing pihak hanya
satu, melaksanakan keputusan pihak berwenang secara tulus ihlas dengan
penuh tanggung jawab. Itu sebabnya penyelesaian dengan cara ini
dikatakan “mudah”.
Saran
Hambatan yang biasanya dihadapi dalam
menyelesaikan konflik yang melibatkan desa apkraman antara lain: Pada
umumnya pihak yang terlibat konflik tidak memiliki sikap yang tegas,
mengenai cara mana yang akan dipilih dalam menyelesaikan konflik yang
dihadapi. Apakah mereka akan menyelesaikan sendiri, menggunakan pihak
ketiga sebagai penengah atau menyerahkan kepada pihak yang berwenang.
Selain itu, mereka juga tidak siap menerima konsekwensi yang menyertai
masing-masing cara penyelesian konflik tersebut. Dengan kata lain, sikap
mereka sebenarnya ingin menang sendiri. Inilah yang menyebabkan konflik
yang melibatkan desa pakraman menjadi tidak murah dan tidak mudah
diselesaikan, institusi manapun yang diminta untuk menyelesaikannya.
Oleh karena itu disarankan agar sikap
ingin menang sendiri dalam menyelesaikan konflik, segera diubah menjadi
sikap ingin menang bersama. Dengan demikian diharapkan, Bali yang dulu
pernah dijuluki “The Last Paradise”, tidak berubah menjadi “The Lost
Paradise”. -o0o-
Daftar Referensi
Astiti, TIP, 1997. Pemberdayaan Hakim Perdamaian Desa dalam Menyelesaikan Kasus Adat di Luar Pengadilan.
Pidato Pengenalan Jabatan Guru Besar tetap dalam Bidang Ilmu Hukum
Adat, Fakultas Hukum Universitas Udayana, tanggal 30 Arpil1997.
Ayatrohaedi, 1986. Keperibadian Budaya bangsa (Local Genius). Jakarta, Pustaka Jaya.
Griadhi, I Ketut Wirta, 2005. “Konflik
Adat di Bali Suatu Studi Hukum dan Perubahan Sosial”. Tesis pada Program
Studi Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Powell, Hickman, 1989. The Last Paradise. An American’s ‘discovery’ of Bali in the 1920s. Singapure, Oxford University Press, Oxford, New York.
Ter Haar. 1991. Azas-azas dan Susunan Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita.
Windia, Wayan P, 2000.
“Kasepekang Ditengah-tengah Transformasi Budaya. (Studi Kasus di Desa
Adat Tengkulak Kaja, Gianyar, Bali)”. Tesis pada Program S2 Kajian
Budaya, Unud, Denpasar.
______________, 2008. ”Konflik Adat dan
Sanksi Kasepekang di Desa Adat Bungaya, Kabupaten Karangasem. Perspektif
Kajian Budyaya”. Disertasi pada Program S3 Kajian Budaya, Unud,
Denpasar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar