Senin, 12 Desember 2011

Kajian Hukum Adat untuk Mencegah Konflik Sosial di Masyarakat


Pendahuluan
Serangkaian dengan diskusi bertema “Sejauh manakah hukum adat Bali dapat mencegah berbagai konflik sosial yang muncul di masyarakat”, panitia Dies Natalis Universitas Udayana 2008, meminta saya menyajikan makalah berjudul “Kajian Hukum Adat untuk Mencegah Konflik Sosial di Masyarakat”. Untuk memudahkan dalam membahas judul di atas dan mengikuti uraian selanjutnya, pembahasan akan diawali dengan penjelasan beberapa istilah dan ungkapan, seperti: “hukum adat”, “konflik sosial” dan “masyarakat”.
Dimaksud hukum adat dalam hal ini terbatas pada hukum adat Bali. Demikian pula halnya dengan masyarakat dalam hal ini maksudnya adalah masyarakat adat di Bali, yang lebih dikenal dengan  desa adat atau desa pakraman. Ada bermacam-macam konflik yang terjadi di desa pakraman, seperti konflik intern desa pakraman dan konflik antar desa pakraman dengan institusi lain di luar desa pakraman. Konflik intern desa pakraman yang paling sering terjadi adalah konflik yang melibatkan desa pakraman dengan warganya (krama desa) yang muncul karena pelanggaran adat Bali dan norma agama Hindu. Konflik ini lebih dikenal dengan konflik adat. Konflik antar desa pakraman dengan institusi lain di luar desa pakraman yang sering terjadi adalah konflik antar desa pekraman bertetangga karena soal batas desa, dan konflik antar desa pakraman dengan investor. Permasalahan yang akan dikaji dalam makalah singkat ini adalah bagaimana hukum adat Bali dapat dimanfaatkan untuk mencegah dan menyelesaikan konflik yang melibatkan desa pakraman dengan warganya maupun dengan institusi lain di luar desa pakraman.
Konflik di Bali
Desa pakraman sebagai sebuah organisasi sosial religius, memiliki sistem organisasi kemasyarakatan yang kuat untuk mewujudkan keharmonisan warganya. Hal ini tampak dari  struktur organisasinya dan awig-awig desa pakraman, baik  tertulis maupun  tidak tertulis. Dalam menjaga  keharmonisan hubungan  sesama  menusia,  desa pakraman juga   memiliki  sejumlah  kearifan lokal atau dalam ungkapan  Wales (1948) disebut sebagai local genius yang  dapat menyejukkan suasana, seperti  paras-paros (bersama dalam suka dan duka), jele melah gelahang bareng (baik dan buruk, hargai sebagai  milik bersama), matilesan dewek (tahu diri), dll. Kearifan lokal ini tercermin dalam kehidupan penduduk Bali, sehingga Bali menjadi terkenal karena keramahtamahan penduduknya dan keindahan alamnya. Kenyataan inilah yang mungkin mengilhami Hickman Powell (1930), seorang  wisatawan yang juga penulis Amerika, sehingga memberikan julukan “The Last Paradise” kepada Pulau Bali. Walaupun demikian, tidak berarti Bali bebas dari  konflik dan kekerasan. Konflik dan kekerasan muncul ke permukaan karena berbagai faktor penyebab seperti faktor politik, ekonomi, dan pelanggaran norma agama Hindu serta adat Bali.
Konflik dan kekerasan di Bali, dikenal dengan istilah biota atau  wicara. Pelakunya bukan hanya warga desa pakraman (krama desa), tetapi juga penduduk Bali. Dengan kata lain, setiap orang yang berada di Bali (baik krama desa, krama tamiu maupun tamiu), potensial dapat menimbulkan biota di tanah Bali.
Apabila   konflik dan kekerasan itu muncul karena pelanggaran norma agama Hindu dan adat Bali, dikenal dengan sebutan “konflik adat”. Konflik adat sebenarnya bukan hal baru, tetapi sudah terjadi sejak zaman kolonial, berlanjut sampai sekarang dengan berbagai menifestasi. Sejak tahun 1999  menjadi semakin marak, karena hembusan ”iklim” reformasi dan otonomi daerah. Penelitian yang dilakukan selama tujuh tahun terakhir (1999 – 2005),  menemukan  112 konflik terjadi di desa pakraman seluruh Bali, seperti tergambar dalam tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1
Konflik di Desa  Pakraman di Bali
Tahun 1999 – 2005
Kabupaten KAD KDKD KDLL KDP KDKT Jumlah
Karangasem 5 10 1 1 - 17
Klungkung 1 4 2 2 - 9
Bangli 1 8 1 - - 10
Gianyar 13 18 6 - 2 39
Badung 2 6 2 1 - 11
Kodya Dps. 1 1 - - - 2
Tabanan 5 5 - 4 - 14
Buleleng 4 4 - - - 8
Jemberana - 1 1 - - 2
Jumlah 22 57 13 8 2 112
% 19,6 % 50,9 % 11,6 % 7,1 % 1,8 100 %
Sumber: Tabel disusun oleh Wayan Windia, berdasarkan hasil penelitian tentang konflik di Bali, selama tahun 1999-2005.
Keterangan
KAD                = Konflik antar Desa Pakraman
KDKD              = Konflik Desa Pakraman dengan Krama Desa
KDLL               = Konflik Desa Pakraman dengan Lembaga Lain
KDP                = Konflik Desa Pakraman dengan Pemerintah
KDKT              = Konflik Desa Pakraman dengan Krama Tamiu dan Tamiu

Berdasarkan data pada tabel di atas dapat diketahui bahwa di antara lima kelompok konflik yang terjadi di desa pakraman selama 1999 – 2005, konflik desa pakraman dengan krama desa (KDKD) menempati jumlah terbanyak, yaitu 57 kasus (50,9 %). Disusul kemudian KAD  sebanyak 22 kasus (19,6 %), KDLL 18 kasus (11,6 %), KDP 8 kasus (7,1 %) dan KDKT  hanya 2 kasus (1,8 %). Apabila konflik desa pakramaan dengan krama desa (KDKD) yang pernah terjadi dikaitkan dengan kabupaten dan kota yang ada di Bali, tampak Kabupaten Gianyar menempati urutan terbanyak (18 konflik) dan disusul kemudian Kabupaten Karangasem (10 kasus), sementara yang paling sedikit adalah Kabupaten Jemberana dan Kota Denpasar masing-masing hanya satu kasus.
Tingginya angka konflik di Kabupaten Gianyar karena perbedaan penghargaan dan ikatan desa pakraman terhadap krama desa dalam hubungannya dengan aktivitas sosial dan keagamaan. Penghargaan dan ikatan desa pakraman  di Kabupaten Gianyar  terhadap krama desa relatif lebih tinggi dan lebih ketat dibandingkan dengan penghargaan dan ikatan  desa pakraman terhadap krama desa yang ada  di kabupaten yang lainnya. Oleh karena itu, perbuatan tertentu yang oleh desa pakraman di Kabupaten Gianyar dikatagorikan sebagai pelanggaran yang patut dikenakan sanksi adat oleh desa pakraman dan cendrung menimbulkan konflik dengan krama desa, di kabupaten lainnya, seperti Denpasar dan Jembrana, justru dianggap sebagai perbuatan biasa dan tidak dikatagorikan sebagai palanggaran.
Tidak semua konflik yang terjadi di desa adat dapat disebut konflik adat. Perbedaan konflik adat dengan konflik lain yang bukan konflik adat, dapat diketahui  dari  faktor  penyebab dan proses penyelesaiannya. Konflik adat muncul  karena  ada pelanggaran adat sehingga  menyebabkan kedamaian di desa adat  terganggu. Dalam ungkapan  Ter Haar (1991:226) disebut “keguncangan neraca keseimbangan masyarakat”. Dengan maksud mengembalikan keseimbangan dalam masyarakat sebagai akibat adanya  pelanggaran adat tersebut,  pelaku pelanggaran adat dikenakan  sanksi adat oleh desa pakraman yang merasa “terguncang neraca keseimbangannya”. Berdasarkan hal tersebut, 57 (50,9%) konflik yang terjadi di desa adat dapat digolongkan konflik adat.
Sanksi yang dikenakan mulai dari yang paling ringan, seperti pamiteket (peringatan),   sampai yang terberat berupa kasepekang (diberhentikan dan dikucilkan) dari  pergaulan di desa pakraman. Di antara 57 konflik  yang melibatkan desa pakraman dengan krama desa yang terjadi di Bali, sebanyak 24 di antaranya merupakan konflik adat yang berakhir dengan pengenaan sanksi adat kasepekang. Jumlah konflik adat dengan sanksi kasepekang yang terjadi pada masing-masing kabupaten dan kota di Bali, tergambar dalam tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2
Konflik Desa Adat dengan Krama Desa dan
Sanksi Adat Kesepekang di Bali,  1999 – 2005
  No   Kabupaten Konflik Desa Pakraman dengan Krama Desa Konflik disertai Sanksi Adat Kasepekang %
1 Karangasem 10 4 40 %
2 Klungkung 4 2 50 %
3 Bangli 8 3 37 %
4 Gianyar 18 7 39 %
5 Badung 6 3 50 %
6 Kodya Dps. 1 - 0 %
7 Tabanan 5 2 40 %
8 Buleleng 4 3 75 %
9 Jemberana 1 - 0 %
Jumlah 57 24 42%
Sumber: Tabel disusun oleh Wayan Windia, berdasarkan hasil penelitian tentang konflik di Bali, selama tahun 1999-2006.

Berdasarkan data pada tabel 2 di atas dapat diketahui bahwa hampir di semua kabupaten di Bali, pernah terjadi  konflik yang melibatkan desa pakraman dengan krama desa. Demikian pula halnya dengan penjatuhan sanksi adat kasepekang. Konflik adat paling banyak terjadi di Kabupaten Gianyar, sementara konflik yang paling sedikit terjadi di Kabupaten Jemberana dan Kodya Denpasar, masing-masing hanya 1 kasus. Pada kabupaten-kabupaten di mana terjadi banyak konflik antar desa pakraman dengan krama desa, di sana terdapat penjatuhan sanksi adat kasepekang yang lebih banyak juga.  Jumlah  konflik antar desa pakraman dengan krama desa terbanyak di Bali, terjadi di Kabupaten Gianyar (18 kasus). Penjatuhan sanksi adat kasepekang yang terbanyak juga terjadi di Kabupaten Gianyar (7 kasus kasus). Sementara di Kabupaten Jemberana dan Kondya Denpasar, tidak pernah terjadi konflik adat yang mengakibatkan dikenakannya sanksi adat kasepekang.     

Faktor Penyebab Konflik
Berdasarkan hasil penelitian atas konflik yang terjadi di Desa Adat Bungaya, Kabupaten Karangasem, dapat diketahui ada empat faktor penyebab munculnya konflik yaitu: faktor pelanggaran adat, faktor ekonomi, faktor politik, dan faktor perbedaan persepsi mengenai status kasta. Di antara empat faktor tersebut, dua di antaranya mudah dikenali, yaitu faktor pelanggaran adat dan perbedaan persepsi mengenai status kasta, sedangkan faktor ekonomi dan faktor politik tidak tampak seperti halnya dua faktor lainnya. Walaupun demikian, kepentingan yang didasarkan atas pertimbangan untung rugi secara ekonomi serta  perebutan pengaruh dan kekuasaan di desa adat,  senantiasa dapat dijumpai dalam setiap konflik adat dan pengenaan sanksi kasepekang. Ini yang menyebabkan konflik di desa pakraman menjadi semakin kompleks menggurita dan sulit dimengerti kecuali oleh orang yang secara berkelanjutan menekuni bidang ini.   
Hal lain yang juga berpotensi dapat disebut sebagai faktor penyebab munculnya konflik di desa pakraman adalah: Pertama, warga desa (krama desa) belum memiliki persepsi yang sama mengenai tujuan (patitis) desa pakraman. Akibatnya, upacara agama yang dilaksanakan sering melampaui kemampuan desa pakraman penyelenggara, terutama dalam hubungan dengan dana dan tenaga yang diperlukan. Kedua, sebagian besar institusi di luar desa pakraman, belum sepenuhnya memahami tugas pokok dan fungsi (tupoksi) desa pakraman.
Sebagai organisasi sosial religius, desa pakraman dibangun untuk menciptakan kedamaian (kasukertan) desa. Maka dari itu, segala program kerja yang disusun oleh perangkat pimpinan (prajuru) desa, awig-awig dan sanksi adat yang dibuat, dan upacara agama yang dilaksanakan di Pura Kayangan Tiga atau Kayangan Desa, sepatutnya diformat sedemikian rupa, sehingga dapat menciptakan kedamaian desa. Kalau ada program kerja, awig-awig, dan upacara agama yang melampaui kondisi ekonomi, sehingga menimbulkan permasalahan bagi warga desa pakraman, patut ditinjau dan disesuaikan dengan tujuan (patitis) yang ingin dicapai  yaitu kedamaian (kasukertan) desa. Apabila tidak demikian adanya, lama kelamaan warga desa dapat berubah bentuk menjadi “katak” dan desa pakraman akan menjadi “tempurungnya”.
Disisi lain, sebagian besar institusi di luar desa pakraman, belum sepenuhnya memahami tugas pokok dan fungsi (tupoksi) desa pakraman. Akibatnya, mereka cendrung menganggap desa pakraman penghambat kemajuan. Atas nama kemajuan, lalu mereka datang ke desa. Maksud hati menjadi motivator atau investor, yang muncul justru provokator. Implikasinya, konflik di desa pakraman menjadi semakin kompleks menggurita. Pertanyaanya, bagaimana hukum adat Bali dapat dimanfaatkan untuk mencegah dan menyelesaikan konflik yang melibatkan desa pakraman dengan warganya maupun dengan institusi lain di luar desa pakraman?

Mencegah dan Menyelesaikan Konflik di Desa Pakraman
Mencegah Konflik
Untuk mencegah munculnya konflik di desa pakraman, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, sebagai berikut. Pertama, sanksi adat yang telah terbukti menjadi sorotan berbagai pihak karena dianggap tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan hak azasi manusia (HAM) seperti  sanksi adat kasepekang, sebaiknya ditinggalkan dan diganti dengan jenis sanksi lainnya yang lebih menjamin tercapainya tujuan pengenaan sanksi adat, yaitu  mengembalikan keseimbangan dalam masyarakat dan menciptakan kasukertan sekala niskala (kedamaian lahir batin). Kedua, prajuru desa perlu mengadakan perubahan orientasi dalam menegakkan hukum adat (awig-awig desa). Penegakan awig-awig tidak lagi harus bersikukuh pada interpretasi teks, melainkan lebih berorientasi pada konteks ruang dan waktu serta manfaat yang didapat. Dalam hubungan dengan usaha menciptakan kasukertan (kedamaian) desa,  hal ini mengandung arti bahwa dalam mengambil keputusan, perangkat pimpinan desa pakraman (prajuru desa) tidak semata-mata harus berpegang pada suara terbanyak (briuk siyu), melainkan patut meperhatikan kepatutan yang berlaku umum.
Menyelesaikan Konflik
Hukum adat memberi peluang untuk menempuh beberapa jalan dalam menyelesaikan konflik yang melibatkan desa pakraman. Pertama, diselesaikan sendiri oleh desa pakraman. Kedua, dimintakan bantuan pihak ketiga sebagai penengah. Ketiga,  diserahkan kepada pihak yang berwenang (sang rumawos).
Cara paling tradisional dan mudah dimengerti, untuk menyelesaikan konflik yang melibatkan desa pakraman adalah diselesaikan sendiri oleh desa pakraman dan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik tersebut. Cara ini dikatakan murah karena memang tidak membutuhkan biaya dan waktu yang terlalu banyak. Syaratnya, masing-masing pihak yang terlibat konflik benar-benar memahami hakikat obyek yang menjadi sumber pemicu konflik dan masing-masing pihak juga benar-benar bermaksud menciptakan kedamaian bersama. Masalahnya, sering kali pihak yang terlibat konflik, kurang mengerti hakikat objeknya, sehingga yang muncul sebenarnya adalah pertarungan gengsi. Kalau masing-masing kemudian bertahan pada gengsi dan ketidatahuannya, maka konflik adat yang sebenarnya murah,  menjadi tidak mudah diselesaikan.
Kalau cara pertama berakhir buntu, disebabkan karena para pihak bertahan pada keinginannya masing-masing, dapat dipilih cara kedua, dimintakan bantuan pihak ketiga sebagai penengah. Dalam lalu lintas hukum, cara ini dikenal dengan istilah Alternatif Dispute Resolution (ADR).  Pihak ketiga yang mempunyai pengetahuan dan pengalaman sebagai penengah menyelesaikan konflik,  akan mengambil beberapa langkah awal sebelum memberikan beberapa alternatif penyelesaian. Pertama-tama akan dijelaskan beberapa termimologi yang berkaitan dengan penyebab munculnya konflik tersebut. Sesudah para pihak memiliki persepsi yang sama, barulah diberikan beberapa pilihan untuk menyelesaikannya.  Pada akhirnya yang menentukan pilihan adalah pihak-pihak yang terlibat konflik. Cara ini memang lebih mudah dari cara pertama, tetapi tidak murah. Perlu disiapkan sejumlah dana untuk pihak ketiga yang membantu penyelesaian konflik adat yang dimaksud, sebagai honor atau uang jasa,  terlepas dari kenyataan apakah yang bersangkutan  berhasil menyelesaikan konflik adat tersebut atau tidak.
Cara paling murah dan relatif mudah untuk menyelesaikan konflik yang melibatkan desa pakraman adalah dengan cara menyerahkan kepada pihak yang berwenang (sang rumawos). Yang dimaksud pihak berwenang dalam hal ini adalah pemerintah Kabupaten di Bali atau pemerintah Provinsi Bali. Selanjutnya, pihak yang berwenang akan berkoordinasi dengan orang yang ahli dan organisasi lainnya yang memiliki kewenangan dibidang hukum adat Bali, seperti Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali dan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), dalam menyelesaikan konflik yang dihadapi, dengan harapan lebih mudah menemukan penyelesaian yang menyejukkan.
Cara penyelesaian konflik ini mengandung beberapa keuntungan, antara lain: (1) Dominani desa pakraman dan banjar pakraman dapat dikurangi, sehingga pemanfaatan suara dominan  (suryak siu atau beriuk siuk), dapat dihindari; (2) memungkinkan untuk memperluas penafsiran terhadap awig-awig, dengan memperhatikan konteks disamping teks awig-awig; (3) dapat mengatasi ketidakjelasan hukum acara yang selama ini ada pada awig-awig desa.
Apabila cara ketiga ini yang dipilih,  berarti segala biaya yang diperlukan (honor, dll), dalam usaha menyelesaikan konflik yang dihadapi, menjadi tanggungjawab pihak berwenang. Demikian pula halnya kalau pihak berwenang merasa perlu memanggil pihak tertentu (yang dianggap ahli) untuk memberikan bantuan, maka segala biaya yang diperlukan menjadi tanggungjawab pihak berwenang. Itu sebabnya penyelesaian dengan cara ini dikatakan “murah”.
Pihak-pihak yang terlibat konflik juga tidak perlu pusing memikirkan alternatif penyelesaiannya. Tugas utama yang harus dilaksanakan adalah menyerahkan fakta, data,  dan daftar keinginan. Sesudah itu, pihak yang berwenanglah yang memikirkan penyelesaian terbaik bagi para pihak yang terlibat konflik.           Sesudah konflik diselesaikan dan  keputusan ditetapkan,  tidak ada hak bagi pihak yang terlibat dalam konflik tersebut, untuk mendiskusikan kembali putusan yang telah diambil. Tugas masing-masing pihak hanya satu, melaksanakan keputusan pihak berwenang secara tulus ihlas dengan penuh tanggung jawab. Itu sebabnya penyelesaian dengan cara ini dikatakan “mudah”.
Saran
Hambatan yang biasanya dihadapi dalam menyelesaikan konflik yang melibatkan desa apkraman antara lain: Pada umumnya pihak yang terlibat konflik tidak memiliki sikap yang tegas, mengenai cara mana yang akan dipilih dalam menyelesaikan konflik yang dihadapi. Apakah mereka akan menyelesaikan sendiri, menggunakan pihak ketiga sebagai penengah atau menyerahkan kepada pihak yang berwenang.  Selain itu,  mereka juga tidak siap menerima konsekwensi yang menyertai masing-masing cara penyelesian konflik tersebut. Dengan kata lain, sikap mereka sebenarnya ingin menang sendiri. Inilah yang menyebabkan konflik yang melibatkan desa pakraman menjadi tidak murah dan tidak mudah diselesaikan, institusi manapun yang diminta untuk menyelesaikannya.
Oleh karena itu disarankan agar sikap ingin menang sendiri dalam menyelesaikan konflik, segera diubah menjadi sikap ingin menang bersama. Dengan demikian diharapkan, Bali yang dulu pernah dijuluki “The Last Paradise”, tidak berubah menjadi “The Lost Paradise”. -o0o-


Daftar Referensi
Astiti, TIP, 1997. Pemberdayaan Hakim Perdamaian Desa dalam Menyelesaikan Kasus Adat di Luar Pengadilan. Pidato Pengenalan Jabatan Guru Besar tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Adat, Fakultas Hukum Universitas Udayana, tanggal 30 Arpil1997.
Ayatrohaedi, 1986. Keperibadian Budaya bangsa (Local Genius). Jakarta, Pustaka Jaya.
Griadhi, I Ketut Wirta, 2005. “Konflik Adat di Bali Suatu Studi Hukum dan Perubahan Sosial”. Tesis pada Program Studi Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Powell, Hickman, 1989. The Last Paradise. An American’s ‘discovery’ of Bali in the 1920s. Singapure, Oxford University Press, Oxford, New York.
Ter Haar. 1991. Azas-azas dan Susunan Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita.
Windia, Wayan P, 2000. “Kasepekang Ditengah-tengah Transformasi Budaya. (Studi Kasus di Desa Adat Tengkulak Kaja, Gianyar, Bali)”. Tesis pada Program S2 Kajian Budaya, Unud, Denpasar.
______________, 2008. ”Konflik Adat dan Sanksi Kasepekang di Desa Adat Bungaya, Kabupaten Karangasem. Perspektif Kajian Budyaya”. Disertasi pada Program S3 Kajian Budaya, Unud, Denpasar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar