Senin, 12 Desember 2011

Hukum dan bahasa dalam Arbitrase

Pada dasarnya, hukum yang dipakai untuk menyelesaikan sengketa adalah hukum yang dipilih oleh para pihak. Dalam penyelesaian sengketa secara arbitrase para pihak mempunyai kebebasan untuk menentukan sendiri hukum yang harus dipakai oleh para arbiter dalam menyelesaikan sengketa bersangkutan. Hukum dari negara tertentu yang dipilih oleh para pihak merupakan hukum substantifnya dan bukan kaidah-kaidah hukum perdata internasionalnya. Hukum substantif perdata di Indonesia, misalnya, terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-undang Hukum Dagang.
Jadi, dalam suatu proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase dijumpai dua jenis hukum yang berlaku, yaitu:

a. aturan-aturan dari badan arbitrase yang dipilih oleh para pihak, untuk menentukan prosedur arbitrase (hukum formal); dan
b. aturan-aturan hukum substantif yang dipilih oleh para pihak untuk menentukan hak dan kewajiban mereka (hukum materiil).
Tentang pilihan hukum tersebut, Pasal 56 ayat (2) menyebutkan bahwa: “Para pihak berhak menentukan pilihan hukum yang akan berlaku terhadap pcnyelesaian sengketa yang mungkin atau telah timbul antara para pihak.” Sebelumnya, ditegaskan dalam ayat (1) bahwa: “Arbiter atau majelis arbitrase mengambil keputusan berdasarkan ketentuan hukum, atau berdasarkan keadilan dan kepatutan.”
Jadi, jelaslah bahwa apabila para pihak tidak menentukan sendiri hukum substantif mana yang dipakai, maka arbiter atau para arbiter dapat menentukannya. Dalam memilih hukum mana yang akan digunakan, majelis arbitrase mempertimbangkan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian dan praktik/kebiasaan dalam kegiatan bisnis yang bersangkutan, sedangkan dalam arbitrase internasional majelis perlu pula mempertimbangkan aturan arbitrase setempat dan kaidahkaidah hukum perdata internasional.
Dalam arbitrase internasional dijumpai beberapa rezim hukum yang berlaku, yaitu:
a. hukum yang berlaku bagi penyelesaian sengketa, mcrupakan hukum substantif (substantive law);
b. hukum yang berlaku atas kegiatan arbitrase, disebut hukum dari tempat arbitrase (curial law atau lex arbitri);
c. hukum yang berlaku bagi pelaksanaan putusan arbitrase; dan
d. hukum perdata internasional yang berlaku atas hukum-hukum tersebut (a, b, c).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hukum dan tempat di mana arbitrase berlangsung tidak secara otomatis digunakan dalam penyelesaian sengketa. Misalnya, tempat arbitrase yang dipilih oleh para pihak adalah Tokyo di Jepang, hal ini tidak berarti bahwa hukum Jepanglah yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa. Jadi, hukum apa yang akan berlaku tergantung pada pilihan hukum yang diambil oleh para pihak dalam perjanjian arbitrase mereka.
Demikian pula, mengenai bahasa yang digunakan, para pihak dapat melakukan pilihannya. Apabila para pihak tidak menentukan bahasa yang akan digunakan, majelis arbitraselah yang akan menentukannya dengan memerhatikan keinginan para pihak atau mendasarkan pada bahasa yang digunakan dalam dokumen-dokumen bisnis dan korespondensi dari para pihak yang bersengketa. Dalam Undangundang No. 30/1999, Pasal 28 menyebutkan bahwa: “Bahasa yang digunakan dalam semua proses arbitrase adalah Bahasa Indonesia, kecuali atas persetujuan arbiter atau majelis arbitrase para pihak dapat memilih bahasa lain yang akan digunakan.”
Oleh karena itu, jika para pihak bermaksud menggunakan bahasa Inggris sebagai hahasa bagi arbitrase (applicable language), maka mereka perlu memasukkan dua hal dalam klausul arbitrase, yaitu: pertama, menyebutkan bahasa Inggris sebagai pilihan hahasa dalam semua proses arbitrase; dan kedua, para pihak hanya dapat mengangkat arbiter yang bersedia menggunakan hahasa Inggris sebagai bahasa dalam arbitrase.
Klausul tersebut akan “memaksa” arbiter atau majelis arbitrase untuk memerintahkan agar setiap dokumen atau bukti disertai dengan terjemahannya ke dalam hahasa Inggris. (Bandingkan klausul arbitrase tersebut dengan Pasal 35 UU No. 30/1999, yang menyatakan: “Arbiter atau majelis arbitrase dapat memerintahkan agar setiap dokumen atau bukti disertai terjemahan ke dalam bahasa yang ditetapkan oleh arbiter atau majelis arbitrase.”)
Dari keseluruhan uraian tentang hukum dan hahasa di atas dapat disimpulkan bahwa hukum dan bahasa dan tempat penyelenggaraan arbitrase tidak serta-merta dipakai untuk menyelesaikan sengketa. Misalnya, tempat arbitrase yang dipilih adalah Jakarta, hal ini tidak selalu herarti bahwa hukum dan bahasa Indonesia yang harus digunakan dalam proses pemeriksaan sengketa. Hukum dan hahasa apa yang berlaku tergantung pada pilihan hukum dan pilihan hahasa yang ditentukan para pihak sendiri dalam perjanjian arbitrase mereka. Dengan demilcian, dapat terjadi dalam proses penyelesaian sengketa secara arbitrase, pemeriksaan perkara diselenggarakan di Jakarta (pilihan tempat), dengan menggunakan bahasa Inggris (pilihan bahasa), dan memanfaatkan hukum Jepang (pilihan hukum). Hal ini dimungkinkan karena, misalnya, sengketa tersebut terjadi antara pengusaha Indonesia dan Jepang.

Pustaka
Arbitrase dan mediasi di Indonesia Oleh Gatot P. Soemartono,Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar