Pada
dasarnya, hukum yang dipakai untuk menyelesaikan sengketa adalah hukum
yang dipilih oleh para pihak. Dalam penyelesaian sengketa secara
arbitrase para pihak mempunyai kebebasan untuk menentukan sendiri hukum
yang harus dipakai oleh para arbiter dalam menyelesaikan sengketa
bersangkutan. Hukum dari negara tertentu yang dipilih oleh para pihak
merupakan hukum substantifnya dan bukan kaidah-kaidah hukum perdata
internasionalnya. Hukum substantif perdata di Indonesia, misalnya,
terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-undang
Hukum Dagang.
Jadi, dalam suatu proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase dijumpai dua jenis hukum yang berlaku, yaitu:
a. aturan-aturan dari badan arbitrase yang dipilih oleh para pihak, untuk menentukan prosedur arbitrase (hukum formal); dan
b. aturan-aturan hukum substantif yang dipilih oleh para pihak untuk menentukan hak dan kewajiban mereka (hukum materiil).
Jadi, dalam suatu proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase dijumpai dua jenis hukum yang berlaku, yaitu:
a. aturan-aturan dari badan arbitrase yang dipilih oleh para pihak, untuk menentukan prosedur arbitrase (hukum formal); dan
b. aturan-aturan hukum substantif yang dipilih oleh para pihak untuk menentukan hak dan kewajiban mereka (hukum materiil).
Tentang
pilihan hukum tersebut, Pasal 56 ayat (2) menyebutkan bahwa: “Para
pihak berhak menentukan pilihan hukum yang akan berlaku terhadap
pcnyelesaian sengketa yang mungkin atau telah timbul antara para pihak.”
Sebelumnya, ditegaskan dalam ayat (1) bahwa: “Arbiter atau majelis
arbitrase mengambil keputusan berdasarkan ketentuan hukum, atau
berdasarkan keadilan dan kepatutan.”
Jadi, jelaslah bahwa apabila
para pihak tidak menentukan sendiri hukum substantif mana yang dipakai,
maka arbiter atau para arbiter dapat menentukannya. Dalam memilih hukum
mana yang akan digunakan, majelis arbitrase mempertimbangkan
ketentuan-ketentuan dalam perjanjian dan praktik/kebiasaan dalam
kegiatan bisnis yang bersangkutan, sedangkan dalam arbitrase
internasional majelis perlu pula mempertimbangkan aturan arbitrase
setempat dan kaidahkaidah hukum perdata internasional.
Dalam arbitrase internasional dijumpai beberapa rezim hukum yang berlaku, yaitu:
a. hukum yang berlaku bagi penyelesaian sengketa, mcrupakan hukum substantif (substantive law);
b. hukum yang berlaku atas kegiatan arbitrase, disebut hukum dari tempat arbitrase (curial law atau lex arbitri);
c. hukum yang berlaku bagi pelaksanaan putusan arbitrase; dan
d. hukum perdata internasional yang berlaku atas hukum-hukum tersebut (a, b, c).
a. hukum yang berlaku bagi penyelesaian sengketa, mcrupakan hukum substantif (substantive law);
b. hukum yang berlaku atas kegiatan arbitrase, disebut hukum dari tempat arbitrase (curial law atau lex arbitri);
c. hukum yang berlaku bagi pelaksanaan putusan arbitrase; dan
d. hukum perdata internasional yang berlaku atas hukum-hukum tersebut (a, b, c).
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hukum dan tempat di mana
arbitrase berlangsung tidak secara otomatis digunakan dalam penyelesaian
sengketa. Misalnya, tempat arbitrase yang dipilih oleh para pihak
adalah Tokyo di Jepang, hal ini tidak berarti bahwa hukum Jepanglah yang
digunakan untuk menyelesaikan sengketa. Jadi, hukum apa yang akan
berlaku tergantung pada pilihan hukum yang diambil oleh para pihak dalam
perjanjian arbitrase mereka.
Demikian pula, mengenai bahasa yang
digunakan, para pihak dapat melakukan pilihannya. Apabila para pihak
tidak menentukan bahasa yang akan digunakan, majelis arbitraselah yang
akan menentukannya dengan memerhatikan keinginan para pihak atau
mendasarkan pada bahasa yang digunakan dalam dokumen-dokumen bisnis dan
korespondensi dari para pihak yang bersengketa. Dalam Undangundang No.
30/1999, Pasal 28 menyebutkan bahwa: “Bahasa yang digunakan dalam semua
proses arbitrase adalah Bahasa Indonesia, kecuali atas persetujuan
arbiter atau majelis arbitrase para pihak dapat memilih bahasa lain yang
akan digunakan.”
Oleh karena itu, jika para pihak bermaksud
menggunakan bahasa Inggris sebagai hahasa bagi arbitrase (applicable
language), maka mereka perlu memasukkan dua hal dalam klausul arbitrase,
yaitu: pertama, menyebutkan bahasa Inggris sebagai pilihan hahasa dalam
semua proses arbitrase; dan kedua, para pihak hanya dapat mengangkat
arbiter yang bersedia menggunakan hahasa Inggris sebagai bahasa dalam
arbitrase.
Klausul tersebut akan “memaksa” arbiter atau majelis
arbitrase untuk memerintahkan agar setiap dokumen atau bukti disertai
dengan terjemahannya ke dalam hahasa Inggris. (Bandingkan klausul
arbitrase tersebut dengan Pasal 35 UU No. 30/1999, yang menyatakan:
“Arbiter atau majelis arbitrase dapat memerintahkan agar setiap dokumen
atau bukti disertai terjemahan ke dalam bahasa yang ditetapkan oleh
arbiter atau majelis arbitrase.”)
Dari keseluruhan uraian tentang
hukum dan hahasa di atas dapat disimpulkan bahwa hukum dan bahasa dan
tempat penyelenggaraan arbitrase tidak serta-merta dipakai untuk
menyelesaikan sengketa. Misalnya, tempat arbitrase yang dipilih adalah
Jakarta, hal ini tidak selalu herarti bahwa hukum dan bahasa Indonesia
yang harus digunakan dalam proses pemeriksaan sengketa. Hukum dan hahasa
apa yang berlaku tergantung pada pilihan hukum dan pilihan hahasa yang
ditentukan para pihak sendiri dalam perjanjian arbitrase mereka. Dengan
demilcian, dapat terjadi dalam proses penyelesaian sengketa secara
arbitrase, pemeriksaan perkara diselenggarakan di Jakarta (pilihan
tempat), dengan menggunakan bahasa Inggris (pilihan bahasa), dan
memanfaatkan hukum Jepang (pilihan hukum). Hal ini dimungkinkan karena,
misalnya, sengketa tersebut terjadi antara pengusaha Indonesia dan
Jepang.
Pustaka
Arbitrase dan mediasi di Indonesia Oleh Gatot P. Soemartono,Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar