Rabu, 08 Juni 2011

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ILLEGAL LOGGING DALAM PERPEKTIF PENERAPAN SANKSI PIDANA




A. LATAR BELAKANG
Salah satu bagian pembangunan nasional adalah pembangunan dibidang hukum, yang dikenal dengan istilah pembaharuan hukum (law reform). Pembaharuan hukum nasional sebagai bagian dari rangkaian pembangunan nasional ini dilakukan secara menyeluruh dan terpadu baik hukum pidana, hukum perdata maupun hukum administrasi, dan meliputi juga hukum formil maupun hukum materielnya.
Dalam rangka membangun kerangka dasar hukum nasional, maka perlu dipahami dan dihayati agar setiap membentuk hukum dan perundang-undangan selalu berlandaskan moral, jiwa dan hakikat yang terdapat dalam pandangan hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila dan UUD 1945 serta harus pula disesuaikan dengan tuntutan kemajuan zaman, khususnya sejalan dengan tuntutan reformasi dibidang hukum. Oleh karena itu hukum harus mampu mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Hukum bisa berfungsi untuk mengendalikan masyarakat dan bisa juga menjadi sarana untuk melakukan perubahan-perubahan dalam masyarakat.
Menurut Barda Nawawi Arief, pembaharuan hukum pidana tidak hanya menyangkut masalah substansinya saja, akan tetapi selalu berkaitan dengan nilai-nilai yang ada. Untuk itu dalam pandangannya beliau menyatakan :
“ Pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilainilai sosio politik, sosio filosofik dan sosio kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia.”
Nawawi Arief bersubstansikan pada 3 (tiga) masalah pokok dari hukum pidana (maksudnya hukum pidana materiel) terletak pada masalah mengenai yang saling
berkait, yaitu  :
  1. perbuatan apa yang sepatutnya dipidana ;
  2. syarat apa yang seharusnya dipenuhi untuk mempersalahkan/mempertanggungjawabkan seseorang melakukan perbuatan itu; dan
  3. sanksi/pidana apa yang sepatutnya dikenakan pada orang tersebut ;
Seiring dengan perkembangan kehidupan masyarakat modern dalam menghadapi globalisasi serta adanya proses industrialisasi dan modernisasi akan menumbuhkan perubahan proses sosial dalam tata kehidupan masyarakat. Proses industrialisasi dan modernisasi dan terutama industrialisasi kehutanan telah berdampak besar pada kelangsungan hutan sebagai penyangga hidup dan kehidupan mahluk didunia. Hutan merupakan sumber daya yang sangat penting tidak hanya sebagai sumber daya kayu, tetapi lebih sebagai salah satu komponen lingkungan hidup.
Seiring dengan semangat reformasi kegiatan penebangan kayu dan pencurian kayu dihutan menjadi semakin marak apabila hal ini dibiarkan berlangsung secara terus menerus kerusakan hutan Indonesia akan berdampak pada terganggunya kelangsungan ekosistem, terjadinya banjir, erosi/tanah longsor, disfungsinya hutan sebagai penyangga keseimbangan alam serta dari sisi pendapatan Negara pemerintah Indonesia mengalami kerugian yang dihitung dari pajak dan pendapatan yang seharusnya masuk ke kas Negara.
Aktifitas penebangan kayu dan pencurian kayu pembalakan kayu yang diambil dari kawasan hutan dengan tidak sah tanpa ijin yang sah dari pemerintah kemudian berdasarkan hasil beberapa kali seminar dikenal dengan istilah illegal logging.
Dalam beberapa hasil temuan modus yang biasa dilakukan dalam illegal logging adalah pengusaha melakukan penebangan di bekas areal lahan yang dimilikinya maupun penebangan diluar jatah tebang, serta memanipulasi isi dokumen SKSHH ataupun dengan membeli SKSHH untuk melegalkan kayu yang diperoleh dari praktek illegal logging.
Dalam mengantisipasi upaya penanggulangan tindak pidana Illegal Logging ini menjadi sangat penting untuk melakukan suatu kebijakan hukum pidana khususnya kebijakan legislatif, yaitu bagaimana memformulasikan suatu perbuatan yang dianggap sebagai tindak pidana illegal Logging, syarat apa saja yang harus dipenuhi untuk mempersalahkan/mempertanggungjawabkan seseorang melakukan perbuatan illegal logging dan sanksi/pidana apa yang sepatutnya dikenakan serta bagaimana dalam menerapkan kebijakan legislatif tersebut oleh badan yudikatif. 
B. PERUMUSAN MASALAH       
  1. Bagaimanakah kebijakan formulasi tindak pidana illegal logging dan penerapan sanksi pidana yang berlaku sekarang ?
  2. Bagaimanakah perumusan kebijakan formulasi tindak pidana illegal logging dan penerapan sanksi pidana yang akan datang ?







C. PEMBAHASAN

  1. kebijakan formulasi tindak pidana illegal logging dan penerapan sanksi pidana yang berlaku sekarang

a. Kebijakan Formulasi Tindak Pidana Illegal Logging
Tindak pidana illegal logging menurut Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dirumuskan dalam Pasal 50 dan ketentuan pidana diatur dalam Pasal 78. Yang menjadi dasar adanya perbuatan illegal logging adalah karena adanya kerusakan hutan.
Dapat disimpulkan unsur-unsur yang dapat dijadikan dasar hukum untuk penegakan hukum pidana terhadap kejahatan illegal logging yaitu sebagai berikut :
(1). Setiap orang pribadi maupun badan hukum dan atau badan usaha
(2). Melakukan perbuatan yang dilarang baik karena sengaja maupun karena kealpaannya
(3) Menimbulkan kerusakan hutan, dengan cara-cara yakni :
  1. Merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan
  2. Kegiatan yang keluar dari ketentuan perizinan sehingga merusak hutan.
  3. Melanggar batas-batas tepi sungai, jurang, dan pantai yang ditentukan Undang undang.
  4.  Menebang pohon tanpa izin.
  5.  Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga sebagai hasil hutan illegal.
  6.  Mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan tanpa SKSHH.
  7.  Membawa alat-alat berat dan alat-alat lain pengelolaan hasil hutan tanpa izin.
Disamping ketentuan pidana sebagaimana disebutkan dalam rumusan pasal 78, kepada pelaku dikenakan pula pidana tambahan berupa ganti rugi dan sanksi administratif berdasarkan pasal 80 ;
Melihat dari ancaman pidananya maka pemberian sanksi ini termasuk kategori berat, dimana terhadap pelaku dikenakan pidana pokok berupa 1). Pidana penjara 2) denda dan pidana tambahan perampasan barang semua hasil hutan dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya.
Undang-undang No. 5 Tahun 1990 ini, mengatur dua macam perbuatan pidana yaitu kejahatan dan pelanggaran, sedangkan sanksi pidana ada tiga macam yaitu pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda. Sanksi pidana terhadap kejahatan diatur dalam Pasal 40 ayat (1) dan (2) dan sanksi pidana terhadap pelanggaran diatur dalam Pasal 40 ayat (3) dan (4) No.5 Tahun 1990, sedangkan unsur-unsur perbuatan pidananya diatur dalam Pasal 19, 21 dan Pasal 33 ;
Melihat dari rumusan ketentuan pidana dalam undang-undang tersebut maka dapat dipahami bahwa pasal-pasalnya hanya secara khusus terhadap kejahatan dan pelanggaran terhadap kawasan hutan tertentu dan jenis tumbuhan tertentu, sehingga untuk diterapkan terhadap kejahatan illegal logging hanya sebagai instrumen pelengkap yang hanya dapat berfungsi jika unsur-usur tersebut terpenuhi.
Tindak pidana terhadap kehutanan adalah tindak pidana khusus yang diatur dengan ketentuan pidana. Ada dua kriteria yang dapatmenunjukan hukum pidana khusus itu, yaitu pertama, orang-orangnya atau subjeknya yang khusus, dan kedua perbuatannya yang khusus (bijzonder lijk feiten)9. Hukum pidana khusus yang subjeknya khusus maksudnya adalah subjek atau pelakunya yang khusus seperti hukum pidana militer yang hanya untuk golongan militer. Dan kedua hukum pidana yang perbuatannya yang khusus maksudnya adalah perbuatan pidana yang dilakukan khusus dalam bidang tertentu seperti hukum fiskal yang hanya untuk delik-delik fiskal. Kejahatan illegal logging merupakan tindak pidana khusus yang dalam kategori hukum pidana yang perbuatannya khusus, yaitu untuk delik-delik kehutanan yang menyangkut pengelolaan hasil hutan kayu.
Pada dasarnya kejahatan illegal logging, secara umum kaitannya dengan unsur-unsur tindak pidana umum dalam KUHP, dapat dikelompokan ke dalam beberapa bentuk kejahatan secara umum yaitu :
1. Pengrusakan (Pasal 406 sampai dengan pasal 412).
   Unsur pengrusakan terhadap hutan dalam kejahatan illegal logging berangkat dari pemikiran tentang konsep perizinan dalam sistem pengeloalaan hutan yang mengandung fungsi pengendalian dan pengawasan terhadap hutan untuk tetap menjamin kelestarian fungsi hutan. Illegal logging pada hakekatnya merupakan kegiatan yang menyalahi ketentuan perizinan yang ada baik tidak memiliki izin secara resmi maupun yang memiliki izin namun melanggar dari ketentuan yang ada dalam perizinan itu seperti over atau penebangan diluar areal konsesi yang dimiliki.
2. Pencurian (pasal 362 KUHP)
   Kegiatan penebangan kayu dilakukan dengan sengaja dan tujuan dari kegiatan itu adalah untuk mengambil manfaat dari hasil hutan berupa kayu tersebut (untuk dimiliki). Akan tetapi ada ketentuan hukum yang mangatur tentang hak dan kewajiban dalam pemanfaatan hasil hutan berupa kayu, sehingga kegiatan yang bertentangan dengan ketentuan itu berarti kegiatan yang melawan hukum. Artinya menebang kayu di dalam areal hutan yang bukan menjadi haknya menurut hukum.
3. Penyelundupan
   Hingga saat ini, belum ada peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang penyelundupan kayu, bahkan dalam KUHP yang merupakan ketentuan umum terhadap tindak pidana pun belum mengatur tentang penyelundupan. Selama ini kegiatan penyelundupan sering hanya dipersamakan dengan delik pencurian oleh karena memiliki persamaan unsur yaitu tanpa hak mengambil barang milik orang lain. Berdasarkan pemahaman tersebut, kegiatan penyelundupan kayu (peredaran kayu secara illegal) menjadi bagian dari kejahatan illegal logging dan merupakan perbuatan yang dapat dipidana.
Namun demikian, Pasal 50 (3) huruf f dan h UU No. 41 Tahun 1999, yang mengatur tentang membeli, menjual dan atau mengangkut hasil hutan yang dipungut secara tidak sah dapat diinterpretasikan sebagaisuatu perbuatan penyelundupan kayu. Akan tetapi ketentuan tersebut tidak jelas mengatur siapa pelaku kejahatan tersebut. Apakah pengangkut/sopir/nahkoda kapal atau pemilik kayu. Untuk tidak menimbulkan kontra interpretasi maka unsur-unsur tentang penyelundupan ini perlu diatur tersendiri dalam perundang-undangan tentang ketentuan pidana kehutanan.
4. Pemalsuan (pasal 261-276 KUHP)
Pemalsuan surat atau pembuatan surat palsu menurut penjelasan Pasal 263 KUHP adalah membuat surat yang isinya bukan semestinya atau membuat surat sedemikian rupa, sehingga menunjukkan seperti aslinya. Surat dalam hal ini adalah yang dapat menerbitkan : suatu hal, suatu perjanjian, pembebasan utang dan surat yang dapat dipakai sebagai suatu eterangan perbuatan atau peristiwa. Ancaman pidana terhadap pemalsuan surat menurut pasal 263 KUHP ini adalah penjara paling lama 6 tahun, dan Pasal 264 paling lama 8 tahun.
Dalam praktik-praktik kejahatan illegal logging, salah satu modus operandi yang sering digunakan oleh pelaku dalan melakukan kegiatannya adalah pemalsuan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH), pemalsuan tanda tangan, pembuatan stempel palsu, dan keterangan Palsu dalam SKSHH. Modus operandi ini belum diatur secara tegas dalam Undang-undang kehutanan.
5.    Penggelapan (pasal 372 – 377KUHP)
Kejahatan illegal logging antara lain : seperti over cutting yaitu penebangan di luar areal konsesi yang dimiliki, penebangan yang melebihi target kota yang ada (over capsity), dan melakukan penebangan sistem terbang habis sedangkan ijin yang dimiliki adalah sistem terbang pilih, mencantuman data jumlah kayu dalam SKSH yang lebih kecil dari jumlah yang sebenarnya.
6.     Penadahan (pasal 480 KUHP)
Dalam KUHP penadahan yang kata dasarnya tadah adalah sebutan lain dari perbuatan persengkokolan atau sengkongkol atau pertolongan jahat. Penadahan dalam bahasa asingnya “heling” (Penjelasan Pasal 480 KUHP). Lebih lanjut dijelaskan oleh R. Soesilo10, bahwa perbuatan itu dibagi menjadi, perbuatan membeli atau menyewa barang yang dietahui atau patut diduga hasil dari kejahatan, dan perbuatan menjual, menukar atau menggadaikan barang yang diketahui atau patut diduga dari hasil kejahatan. Ancaman pidana dalam Pasal 480 itu adalah paling lama 4 tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 900 (sembilan ratus rupiah).
Modus ini banyak dilakukan dalam transaksi perdagangan kayu illegal baik di dalam maupun diluar negeri, bahkan terdapat kayu-kayu hasil illegal logging yang nyata-nyata diketahui oleh pelaku baik penjual maupun pembeli. Modus inipun telah diatur dalam Pasal 50 ayat (3) huruf f UU No. 41 Tahun 1999.

b. penerapan kebijakan formulasi tindak pidana illegal logging dan sanksi    pidana yang berlaku sekarang
Terhadap kebijakan formulasi tindak pidana dibidang kehutanan berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dapat dikemukakan beberapa catatan sebagai berikut :
-          Kebijakan kriminalisasi dari Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tampaknya tidak terlepas dari tujuan dibuatnya undang-undang yakni penyelenggaraan kehutanan ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan, oleh karena itu semua perumusan delik dalam undang-undang Kehutanan ini terfokus pada segala kegiatan atau perbuatan yang menimbulkan kerusakan hutan.
-          Perumusan Tindak Pidana Illegal logging dalam Undang-undang No. 41 Tahun 1999 pasal 78 selalu diawali dengan kata-kata “Barangsiapa” yang menunjuk pada pengertian “orang”. Namun dalam pasal 78 ayat ( 14) ditegaskan bahwa “Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan” Dengan demikian dapat menunjukkan bahwa orang dan korporasi (badan hukum atau badan usaha) dapat menjadi subjek Tindak Pidana illegal logging dan dapat dipertanggungjawabkan.
-          Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh korporasi (badan hukum atau badan usaha, maka menurut UU No. 41 Tahun 1999 (Pasal 78 ayat (14) pertanggungjawaban pidana (penuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.
Masalah kualifikasi Tindak Pidana,
-        Undang-undang Kehutanan ini menyebutkan/menegaskan kualifikasi tindak     pidana yakni dengan ”kejahatan” dan ”pelanggaran”
-          Kejahatan yakni Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Pasal 78 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (9), ayat (10) dan ayat (11)
-          Pelanggaran adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dan ayat (12)
Masalah Perumusan sanksi Pidana,
-          UU No. 41 tahun 1999 merumuskan adanya 2 (dua) jenis sanksi yang dapat dikenakan kepada pelaku yaitu :
  1. Sanksi pidana
Jenis sanksi pidana yang digunakan adalah pidana pokok berupa : pidana penjara dan pidana denda serta pidana tambahan berupa perampasan hasil kejahatan dan alat yang dipakai untuk melakukan kejahatan.
  • Terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh dan atau badan hukum atau badan usaha (korporasi) dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana sebagaimana tersebut dalam pasal 78 ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan, dan berdasar pasal 80 kepada penanggung jawab perbuatan diwajibkan pula untuk membayar ganti rugi sesuai dengan tingkat kerusakan atau akibat yang ditimbulkan kepada negara untuk biaya rehabilitasi, pemulihan kondisi hutan dan tindakan lain yang diperlukan.
  1. Sanksi Administratif
  • Sanksi administratif dikenakan kepada pemegang izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hutan, atau izin pemungutan hasil hutan yang melanggar ketentuan pidana sebagaimana dirumuskan dalam pasal 78
  • Sanksi Administratif yang dikenakan antara lain berupa denda, pencabutan, penghentian kegiatan dan atau pengurangan areal.
Sanksi pidana dalam undang-undang ini dirumuskan secara kumulatif, dimana pidana penjara dikumulasikan dengan pidana denda. Hal ini dapat menimbulkan masalah karena perumusan bersifat imperatif kumulatif.
Sanksi pidana dirumuskan secara kumulatif bersifat imperatif kaku yakni pidana pokok berupa pidana penjara dan denda yang cukup besar serta pidana tambahan berupa dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran. Dirampas untuk negara. Hal ini menimbulkan kekawatiran tidak efektif dan menimbulkan masalah karena ada ketentuan bahwa apabila denda tidak dibayar dikenakan pidana kurungan pengganti. Ini berarti berlaku ketentuan umum dalam KUHP (pasal 30) bahwa maksimum pidana kurungan pengganti adalah 6 (enam) bulan atau dapat menjadi maksimum 8 (delapan) bulan apabila ada pemberatan (recidive/concursus).
Dengan demikian kemungkinan besar ancaman pidana denda yang besar itu tidak akan efektif, karena kalau tidak dibayar paling-paling hanya terkena pidana kurungan pengganti 6 (enam) bulan atau 8 (delapan) bulan.
Terutama adalah terhadap pelaku tindak pidana kehutanan yang dilakukan oleh korporasi meskipun pasal 78 ayat (14) menyatakan apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha (korporasi), tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendirisendiri maupun bersama, dengan adanya pidana kurungan pengganti terhadap denda tinggi yang tidak dibayar maka kurungan tersebut dapat dikenakan kepada pengurusnya Pasal 78 ayat (14) tergantung pada bentuk badan usaha perseroan terbatas, perseroan komanditer, firma, koperasi dan sejenisnya. Namun sayangnya tidak ada perbedaan jumlah minimal/maksimal denda untuk perorangan dan untuk korporasi.
Bagi terpidana pidana kurungan pengganti denda itu mungkin tidak mempunyai pengaruh karena sekiranya terpidana membayar denda, ia pun tetap menjalani pidana penjara yang dijatuhkan secara kumulasi.
  1. Masalah Ancaman Pidana Maksimal
Ancaman maksimal pidana yang tertuang dalam undangundang ini termasuk tinggi. Ancaman pidana penjara dan denda terhadap tindak pidana kejahatan ayat (1), ayat (2), ayat (3) ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (9), ayat (10) dan ayat (11) lebih berat dari pada tindak pidana pelanggaran ayat (8) dan ayat (9) meski untuk pelanggaran sendiri ancaman yang diberikan sudah dianggap tinggi.

2. kebijakan formulasi tindak pidana illegal logging dan penerapan sanksi pidana dimasa yang akan datang
a.  kebijakan formulasi tindak pidana
Dilihat dari perspektif hukum pidana, maka upaya penanggulangan tindak pidana dapat dilihat dari berbagai aspek antara lain aspek kebijakan kriminalisasi (formulasi tindak pidana) dan aspek pertanggungjawaban pidana (kesalahan) serta Aspek pemidanaan
1. Aspek Kebijakan Kriminalisasi atau Formulasi Tindak Pidana
Kebijakan kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana (tidak dipidana) menjadi suatu tindak pidana (perbuatan yang dapat dipidana). Jadi pada hakekatnya kebijakan kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy) dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal policy), khususnya kebijakan formulasi.
Kebijakan formulasi tindak pidana illegal logging harus memperhatikan harmonisasi internal dengan sistem hukum pidana atau aturan pemidanaan umum yang berlaku saat ini. Tidaklah dapat dikatakan harmonisasi/sinkronisasi apabila kebijakan formulasi berada diluar sistem.
Oleh karena itu kebijakan formulasi hukum pidana tindak pidana illegal logging harus berada dalam sistem hukum pidana yang berlaku saat ini. Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) ialah :
  1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana ; dan
  2. sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada sipelanggar
Kebijakan kriminalisasi adalah kebijakan menetapkan/ merumuskan/memformulasikan perbuatan apa yang dapat dipidana dan selanjutnya diberikan sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada si pelanggar. Perbuatan pidana adalah perbuatan yang bertentangan dengan tata tertib atau ketertiban yang dikehendaki oleh hukum.
Salah satu unsur utama tindak pidana yang bersifat obyektif adalah sifat melawan hukum. Hal ini dikaitkan pada asas legalitas yang tersirat dalam pasal 1 ayat(1) KUHP. Pembuat undang-undang karena berbagai alasan terkadang merumuskan secara umum, singkat dan jelas tingkah laku atau keadaan yang dimaksudkan dengan suatu tindak pidana. Untuk itu dikenal dengan beberapa ajaran sifat melawan hukum yakni :
  1. Ajaran Sifat melawan Hukum Formal
Sifat melawan hukun formal memenuhi rumusan delik undang-undang. Sifat melawan hukum formal merupakan syarat untuk dapat dipidananya perbuatan.
Secara singkat ajaran sifat melawan hukum formal mengatakan apabila suatu perbuatan telah memenuhi semua unsure yang termuat dalam rumusan tindak pidana perbuatan tersebut adalah tindak pidana. Jika ada alasan-alasan pembenar maka alasan-alasan tersebut harus juga disebutkan secara tegas dalam undang-undang.
Menurut ajaran ini dengan berpegang pada asas legalitas apabila perbuatan diancam dengan pidana dan dirumuskan sebagai suatu delik dalam undangundang yang tertulis maka perbuatan tersebut bersifat melawan hukum. Kalaupun ada hal-hal yang menghapuskan sifat melawan hukumnya sehingga pelakunya tidak dapat dijatuhi pidana hal-hal tersebut harus pula berdasar pada ketentuan undang-undang tertulis.
Ajaran ini diikuti oleh Simons, yang mengatakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum tidak mutlak bersifat melawan hukum tetapi bila terdapat pengecualian alasan pengecualian itu harus diambil dari hukum positif dan tidak boleh dari luar hukum positif.
  1. Ajaran Sifat Melawan Hukum Material
Pendukung ajaran ini menyatakan, melawan hukum atau tidaknya suatu perbuatan tidak hanya hanya terdapat didalam suatu undang (yang tertulis), tetapi harus dilihat berlakunya asas-asas hukum yang tidak tertulis juga. Sifat melawan hukum itu dapat dihapuskan berdasar ketentuan undangundang maupun aturan-aturan tidak tertulis.
Ajaran ini juga menyatakan disamping memenuhi syarat-syarat formal, yaitu memenuhi semua unsur rumusan delik, perbuatan itu juga harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela. Karena ajaran ini mengakui alasan-alasan pembenar diluar undang-undang.
Pada umumnya sifat ajaran sifat melawan hukum formal telah ditinggalkan dunia pengadilan kita, akan tetapi dipihak lain ajaran sifat melawan hukum material itu sendiri belum sepenuhnya disepakati. Alasan keberatan-keberatan tersebut adalah  :
  • kepastian hukum akan goyah atau dikorbankan ;
  •  secara eksterm hal ini memberikan kesempatan kepada hakim
untuk bertindak sewenang-wenang atau hakim akan mempunyai tugas yang berat untuk mempertimbangkan rasa keadilan dan keyakinan masyarakat mengenai ketentuan hukum yang tidak tertulis.
Dalam merumuskan perbuatan pidana dapat ditempuh dengan berbagai cara, antara lain menyebutkan unsur-unsurnya saja, atau menyebutkan unsur dan kualifikasinya, atau menyebutkan kualifikasinya saja.
Pendapat Mudzakir sebagaimana dikutip oleh Teguh Prasetyo, yang terpenting dalam merumuskan suatu perbuatan adalah:
Pertama ditentukan rumusan perbuatan pidana (satu pasal) yang mengatur mengenai aspek tertentu yang hendak dilindungi oleh hukum pidana dalam bab tertentu dengan menyebutkan unsur-unsur dan kualifikasinya. Rumusan perbuatan pidana ini menjadi dasar atau payokan yang berfungsi sebagai pedoman perumusan pasal-pasal lain dalam bab tersebut. Delik genus tersebut menjadi standar (dalam keadaan normal) dalam pengancaman pidana.
Kedua, delik genus tersebut menjadi pedoman dalam membuat perumusan perbuatan lainnya yang bersifat memberatkan atau memperingan ancaman pidana cukup dengan kualifikasinya saja tanpa mengulangi penyebutan unsur-unsurnya.
Cara perumusan demikian akan memudahkan pemahaman masyarakat terhadap peraturan hukum pidana atau perbuatan yang dilarang.
Sedangkan faktor-faktor yang dapat dijadikan pertimbangan pertimbangan memberatkan dan meringankan ancaman pidana dari delik genus antara lain :
  1. sikap batin pelaku (kesengajaan atau kealpaan) ;
  2.  faktor akibat dari perbuatan pelaku terhadap masyarakat dan korban
  3. objek/sasaran dilindungi oleh hukum ;
4. nilai yang hendak ditegakkan oleh hukum ;
5. alat yang dipakai untuk melakukan kejahatan ;
6. cara melakukan kejahatan ;
7. situasi dan kondisi pada saat perbuatan dilakukan ;
Menurut Barda Nawawi Arief sebagaimana dikutip Teguh Prasetya dan Abdukl Halim Barkatullah. Bila dihubungkan dengan pengertian kejahatan (kriminal) sebagai suatu konsep yang relatif, dinamis, serta bergantung pada ruang dan waktu maka sumber bahan dalam kebijakan kriminalisasi harus didasarkan pada hal-hal sebagai berikut :
  1. Masukan berbagai penemuan ilmiah.
  2. Masukan dari beberapa hasil penelitian dan pengkajian mengenai
perkembangan delik-delik khusus dalam masyarakat dan perkembangan iptek.
- Masukan dari pengkajian dan pengamatan bentuk-bentuk serta dimensi baru kejahatan dalam pertemuan/kongres internasional.
- Masukan dari konvensi internasional.
- Masukan dari pengkajian perbandingan berbagai KUHP asing
Sesuai dengan prinsip subsidaritas maka dalam menentukan perbuatan pidana, harus selektif dalam memproses perkara, dan selektif pula dalam memilih ancaman pidana.
Apabila bisa diselesaikan dengan cara lain, sebaiknya tidak perlu menggunakan hukum pidana (ultimum remidium) dan apabila dengan pidana percobaan atau denda dipandang cukup, pidana penjara harus dihindari. Jika sekiranya terpaksa menggunakan pidana penjara, harus dipilih lama pidana paling ringan dan memberi manfaat kepada terdakwa.
b. Penerapan sanksi pidana Illegal logging di masa yang akan datang
Mengacu pada uraian tentang perkembangan kejahatan illegal logging dan melihat dampak yang dapat ditimbulkan oleh praktik-praktik illegal logging yang bukan hanya terkait dengan aspek ekonomi akan tetapi juga terkait dengan aspek ekologi, sosial, dan budaya. Demikian juga penegakan hukum terhadap kejahatan illegal logging ini, tidak hanya diarahkan kepada penegakan keadilan hukum, tetapi juga harus diarahkan pada penegakan keadilan sosial dan ekonomi secara simultan. Artinya bahwa tidak hanya memberikan hukuman/sanksi pidana kepada pelaku dengan sanksi yang seberat-beratnya, melainkan juga agar kerugian negara yang
diakibatkan oleh perbuatan pelaku kejahatan itu dapat kembali seperti semula dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Memperhatikan rumusan pemberian sanksi pidana dalam UU No. 41 tahun 1999 pada pasal 78 terfokus pada subyek tindak pidana berupa orang dengan dimungkinkannya korporasi menjadi subyek tindak pidana maka diperlukan juga jenis sanksi-sanksi pidana/tindakan untuk korporasi.
Beberapa jenis sanksi untuk korporasi (bukan pengurusnya) yang melakukan/terlibat tindak pidana illegal logging antara lain : denda ; pencabutan izin usaha/hak keuntungan (seluruhnya/sebagian) ; pembayaran uang pengganti; penutupan perusahaan/korporasi (seluruhnya/sebagian), sedangkan pidana tambahan (yang bersifat fakultatif dan tidak mandiri) dapat berupa : perampasan barang atau pengumunan putusan hakim
Memperhatikan rumusan pasal 78 UU No. 41 tahun 1999 Pengenaan sanksi yang dikenakan terhadap pelaku kejahatan kehutanan berupa :
1). pidana penjara
2). Denda
3). Perampasan semua hasil hutan dan alat-alat yang dipergunakan untuk kejahatan,
hal ini menunjukkan pengenaan pidana dijatuhkan secara kumulatif, mengingat dampak akibat dari tindak pidana illegal logging ini merugikan keuangan negara, ekonomi dan sosial maka hendaknya pemberian hukuman tidak hanya sebuah hukuman/sanksi pidana kepada pelaku dengan sanksi yang seberat-beratnya melainkan juga harus diperhatikan kerugian negara dengan memberikan sanksi ”tindakan tata tertib berupa” :
1). Mengembalikan akibat kejahatan seperti semula dalam waktu yang tidak terlalu lama ;
2). Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana ;
3). Penutupan perusahaan (seluruhnya/sebagian) ;
4). Mewajibkan mengerjakan apa yang dilakukan tanpa hak ;
5). Meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak
6) Menempatkan perusahaan dibawah pengampuan paling lama 3 (tiga) bulan ;
Untuk memenuhi perasaan keadilan hendaknya perumusan sanksi pidana illegal logging yang dilakukan oleh pegawai negeri atau aparat pemerintah terutama kepada pejabat yang mempunyai kewenangan dalam bidang kehutanan yang berpotensi meningkatkan intensitas kejahatan illegal logging diatur dan dirumuskan secara khusus yang tentu saja perumusan sanksi pidananya tidak sama dengan sanksi pidana yang dilakukan terhadap orang/pribadi.



D. KESIMPULAN
Tindak pidana terhadap kehutanan adalah tindak pidana khusus yang diatur dengan ketentuan pidana. Ada dua kriteria yang dapatmenunjukan hukum pidana khusus itu, yaitu pertama, orang-orangnya atau subjeknya yang khusus, dan kedua perbuatannya yang khusus (bijzonder lijk feiten)9. Hukum pidana khusus yang subjeknya khusus maksudnya adalah subjek atau pelakunya yang khusus seperti hukum pidana militer yang hanya untuk golongan militer. Dan kedua hukum pidana yang perbuatannya yang khusus maksudnya adalah perbuatan pidana yang dilakukan khusus dalam bidang tertentu seperti hukum fiskal yang hanya untuk delik-delik fiskal. Kejahatan illegal logging merupakan tindak pidana khusus yang dalam kategori hukum pidana yang perbuatannya khusus, yaitu untuk delik-delik kehutanan yang menyangkut pengelolaan hasil hutan kayu.
Memperhatikan rumusan pasal 78 UU No. 41 tahun 1999 Pengenaan sanksi yang dikenakan terhadap pelaku kejahatan kehutanan berupa :
1). pidana penjara
2). Denda
3). Perampasan semua hasil hutan dan alat-alat yang dipergunakan untuk kejahatan,
hal ini menunjukkan pengenaan pidana dijatuhkan secara kumulatif, mengingat dampak akibat dari tindak pidana illegal logging ini merugikan keuangan negara, ekonomi dan sosial maka hendaknya pemberian hukuman tidak hanya sebuah hukuman/sanksi pidana kepada pelaku dengan sanksi yang seberat-beratnya melainkan juga harus diperhatikan kerugian negara dengan memberikan sanksi ”tindakan tata tertib berupa” :
1). Mengembalikan akibat kejahatan seperti semula dalam waktu yang tidak terlalu lama ;
2). Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana ;
3). Penutupan perusahaan (seluruhnya/sebagian) ;
4). Mewajibkan mengerjakan apa yang dilakukan tanpa hak ;
5). Meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak
6) Menempatkan perusahaan dibawah pengampuan paling lama 3 (tiga) bulan ;
Untuk memenuhi perasaan keadilan hendaknya perumusan sanksi pidana illegal logging yang dilakukan oleh pegawai negeri atau aparat pemerintah terutama kepada pejabat yang mempunyai kewenangan dalam bidang kehutanan yang berpotensi meningkatkan intensitas kejahatan illegal logging diatur dan dirumuskan secara khusus yang tentu saja perumusan sanksi pidananya tidak sama dengan sanksi pidana yang dilakukan terhadap orang/pribadi.
E. SARAN
  1.  Definisi illegal logging perlu dirumuskan secara tegas dalam undang-undang, terhadap subyek hukum tindak pidana illegal logging sebaiknya perlu juga dirumuskan terhadap pejabat atau pegawai negeri yang mempunyai kewenangan dalam bidang kehutanan yang berpotensi meningkatkan intensitas kejahatan illegal logging, terhadap sanksi pidana sebaiknya dirumuskan secara alternatif yang dilengkapi dengan aturan khusus yang ditujukan kepada korporasi mengenai pidana pengganti denda yang tidak dibayar.
  2. Terhadap pengenaan sanksi pidana disamping dijatuhkan hukuman secara kumulatif, mengingat dampak /akibat dari tindak pidana illegal logging ini merugikan keuangan negara, ekonomi dan sosial maka hendaknya pemberian hukuman tidak hanya sebuah hukuman/sanksi pidana kepada pelaku dengan sanksi yang seberat-beratnya melainkan juga harus diperhatikan kerugian negara dengan memberikan sanksi ”tindakan tata tertib.“ Dan untuk memenuhi perasaan keadilan hendaknya perumusan sanksi pidana illegal logging yang dilakukan oleh pegawai negeri atau aparat pemerintah terutama kepada pejabat yang mempunyai kewenangan dalam bidang kehutanan yang berpotensi meningkatkan intensitas kejahatan illegal logging diatur dan dirumuskan secara khusus yang tentu saja perumusan sanksi pidananya tidak sama dengan sanksi pidana yang dilakukan terhadap orang/pribadi.














DAFTAR PUSTAKA
Arief, Barda Nawawi, Beberapa Aspek Kebijakan Hukum Pidana, PT CitraAditya Bakti, Bandung, 1996.
——————-, Beberapa aspek kebijakan Penegakan Hukum dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra aditya Bakti, Bandung, 2005.
——————, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003
Kasus Illegal Logging, Makalah disampaikan dalam Pelatihan Hakim Penegakan Hukum Lingkungan, Jakarta, 2003.
Koeswadji, Hukum Pidana Lingkungan Hidup, Citra Aditya, Bandung 1993.
Marjono, Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI, Jakarta, 1997.
Soesilo, R, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentarnya, Politeia, Bogor, 1983.
Sunarso, Siswanto, Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian Sengketa, Rineka Cipta, Jakarta, 2005.
Supardjaja, Komariah Emong, Ajaran Sifat melawan Hukum Materiel dan Hukum Pidana Indonesia, Alumni, Bandung, 2002.
Editorial Staff, St Paul Minn, west Publisher co, 1973.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1995.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar