Rabu, 08 Juni 2011

ASAS LEGALITAS DALAM PERSPEKTIF IUS CONSTITUENDUM DALAM RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA TAHUN 2008





             Asas legalitas sebagaimana diterangkan konteks di atas (baca lebih detail tulisan asas legalitas dalam perspektif hukum pidana Indonesia dan kajian perbandingan hukum dalam web ini), merupakan asas yang paling penting dalam hukum pidana sebagaimana diucapkan oleh Dupont. Dikaji dari perspektif hukum positif (ius constitutum) maka asas legalitas diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP. Pada RUU KUHP, dikaji dari perspektif ius constituendum maka asas legalitas diatur pula dalam ketentuan Pasal 1 RUU KUHP yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:  
(1)    Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.
(2)    Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi.
(3)    Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.
(4)    Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.
         Kemudian penjelasan pasal demi pasal terhadap ketentuan Pasal 1 RUU KUHP tersebut diperinci sebagai berikut:
Ayat (1)
        Ayat ini mengandung asas legalitas. Asas ini menentukan bahwa suatu perbuatan hanya merupakan tindak pidana apabila ditentukan oleh atau didasarkan pada undang-undang. Dipergunakannya asas tersebut, oleh karena asas legalitas merupakan asas pokok dalam hukum pidana. Oleh karena itu peraturan perundang-undangan pidana atau yang mengandung ancaman pidana harus sudah ada sebelum tindak pidana dilakukan. Hal ini berarti bahwa ketentuan pidana tidak berlaku surut demi mencegah kesewenang-wenangan penegak hukum dalam menuntut dan mengadili seseorang yang dituduh melakukan suatu tindak pidana.
Ayat (2)
        Larangan penggunaan penafsiran analogi dalam menetapkan adanya tindak pidana merupakan konsekuensi dari penggunaan asas legalitas. Penafsiran analogi berarti bahwa terhadap suatu perbuatan yang pada waktu dilakukan tidak merupakan suatu tindak pidana, tetapi terhadapnya diterapkan ketentuan pidana yang berlaku untuk tindak pidana lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama, karena kedua perbuatan tersebut dipandang analog satu dengan yang lain. Dengan ditegaskannnya larangan penggunaan analogi maka perbedaan pendapat yang timbul dalam praktik selama ini dapat dihilangkan.
Ayat (3)
       Adalah suatu kenyataan bahwa dalam beberapa daerah tertentu di Indonesia masih terdapat ketentuan hukum yang tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat dan berlaku sebagai  hukum di daerah tersebut. Hal yang demikian terdapat juga dalam lapangan hukum pidana yaitu yang biasanya disebut dengan tindak pidana adat. Untuk memberikan dasar hukum yang mantap mengenai berlakunya hukum pidana adat, maka hal tersebut mendapat pengaturan secara tegas dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini. Ketentuan pada ayat ini merupakan pengecualian dari asas bahwa ketentuan pidana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Diakuinya tindak pidana adat tersebut untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat tertentu.
Ayat (4)
         Ayat ini mengandung pedoman atau kretaria atau rambu-rambu dalam menetapkan sumber hukum materiel (hukum yang hidup dalam masyarakat) yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum (sumber legalitas materiil). Pedoman pada ayat ini berorientasi pada nilai nasional dan internasional.
        Ada beberapa catatan substansial terhadap eksistensi asas legalitas sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 RUU KUHP tersebut. Pertama, asas legalitas dalam ketentuan Pasal 1 RUU KUHP merupakan asas legalitas yang diperluas yaitu dikenal eksistensi asas legalitas formal dan asas legalitas materiel. Pada RUU KUHP asas legalitas formal diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) sedangkan asas legalitas materiel diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3).  Pada asas legalitas formal, dasar patut dipidana suatu perbuatan adalah Undang-undang yang sudah ada sebelum perbuatan tersebut dilakukan. Kemudian asas legalitas materiel menentukan bahwa dasar patut dipidana suatu perbuatan adalah hukum yang hidup dalam masyarakat yaitu hukum tidak tertulis atau hukum adat. Kedua, dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang mempergunakan analogi (Pasal 1 ayat (2) RUU KUHP).  Penjelasan Pasal demi Pasal ketentuan Pasal 1 ayat (2) RUU KUHP menyebutkan bahwa, “larangan penggunaan penafsiran analogi dalam menetapkan adanya tindak pidana merupakan konsekuensi dari penggunaan asas legalitas. Penafsiran analogi berarti bahwa terhadap suatu perbuatan yang pada waktu dilakukan tidak merupakan suatu tindak pidana, tetapi terhadapnya diterapkan ketentuan pidana yang berlaku untuk tindak pidana lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama, karena kedua perbuatan tersebut dipandang analog satu dengan yang lain. Dengan ditegaskannnya larangan penggunaan analogi maka perbedaan pendapat yang timbul dalam praktik selama ini dapat dihilangkan”. Dalam kepustakan hukum hakikat penafsiran analogi dimaksudkan apabila suatu perbuatan pada saat perbuatan bukan merupakan tindak pidana, kemudian diterapkan ketentuan hukum pidana yang berlaku untuk tindak pidana lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama dengan perbuatan tersebut, sehingga kedua perbuatan itu dipandang analog satu dengan lainnya. Andi Hamzah menyebut bentuk analogi menjadi dua yaitu gesetz analogi yaitu analogi terhadap perbuatan yang sama sekali tidan terdapat dalam ketentuan pidana, dan recht analogi yaitu analogi terhadap perbuatan yang mempunyai kemiripan dengan perbuatan yang dilarang dalam ketentuan hukum pidana. Herman Mannheim mengemukakan adanya dua macam analogi. Pertama, analogi undag-undang atau gesetzes analogie. Kedua, analogi hukum atau rechtsanalogie. Dalam penerapan hukum pidana analogi yang diperbolehkan adalah analogi undang-undang dan bukan analogi hukum. Kendatipun demikian, sulit dibedakan antara analogi undang-undang dan analogi hukum. M. Cherif Bassiouni, membagi ada tiga katagori analogi. Pertama, analogi untuk menciptakan perbuatan pidana baru yang sudah diduga tetapi tidak dirumuskan oleh pembentuk undang-undang.  Kedua, analogi yang diterapkan apabila bunyi Undang-undang tidak cukup jelas atau gagal merumuskan unsur-unsur dari suatu tindak pidana. Ketiga, analogi yang diterapkan terhadap pemidanaan yang tidak didifinisikan oleh pembentuk Undang-undang. Pada sistem dengan pendekatan positivisme yang ketat, asas legalitas membolehkan analogi terhadap pemidanaan, asalkan masih dalam batasan-batasan yang telah ditentukan oleh pembentuk undang-undang. Akan tetapi, pada sistem hukum yang menerapkan asas legalitas yang sangat ketat, penggunaan analogi sepenuhnya dilarang, dengan mengingat klausula aturan favor reo. Artinya, hakim harus menjatuhkan putusan yang meringankan terdakwa.
             Pada hakikatnya, penerapan penafsiran analogi dalam hukum pidana menimbulkan perdebatan panjang. Ada kelompok yang menerima analogi, kelompok yang menentang penafsiran analogi dan ada kelompok yang tidak secara tegas menolak dan menerima analogi. Kelompok yang menyetujui penerapan analogi argumentasinya karena perkembangan masyarakat relatif cepat sehingga hukum pidana harus berkembang sesuai perkembangan masyarakat. Sebagian besar negara Eropa melarang penggunaan analogi, terkecuali Negara Denmark dan Inggris yang memperbolehkan penerapan analogi. Kemudian kelompok yang menentang penerapan penafsiran analogi dikarenakan penerapan analogi dianggap berbahaya karena dapat menyebabkan ketidakpastian hukum dalam masyarakat. Taverne, Roling, Pompe dan Jonkers menerima penerapan analogi dan Scholten, van Hattum, van Bemmelen, Moeljatno dan Jan Remmelink menentang penerapan analogi dalam hukum pidana serta Hazewinkel Suringa dan Vos yang tidak secara tegas menolak dan menerima analogi. Dalam praktik peradilan pada tahun 1921 penerapan penafsiran analogi diterapkan dalam kassus pencurian listrik dengan memperluas pengertian “barang” (goed) termasuk aliran listrik. Praktik peradilan Indonesia lewat Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor: 144/Pid/1983/PT. Mdn telah menafsirkan Pasal 378 KUHP yang memperluas pengertian benda termasuk juga “kegadisan seorang wanita”.
            Lebih lanjut Eddy O.S. Hiariej mengatakan bahwa ketentuan mengenai larangan menerapkan analogi merupakan suatu contradictio interminis bila dihubungkan dengan ayat (3) di mana seseorang dapat dipidana meskipun perbuatannya tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. Sebab, untuk memidana suatu perbuatan yang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, mau tidak mau, hakim harus menggunakan analogi atau setidak-tidaknya interpretasi ekstensif. Padahal, pada hakekatnya tidak terdapat perbedaan prinsip antara interprestasi ekstensif dengan analogi.Ketiga, asas legalitas formal dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP tidak dapat diberlakukan secara mutlak/absolut atau imperatif karena adanya pengecualian sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3), (4) RUU KUHP. Eksistensi dan konsekuensi adanya ketentuan Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP dijelaskan bahwa, “adalah suatu kenyataan bahwa dalam beberapa daerah tertentu di Indonesia masih terdapat ketentuan hukum yang tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat dan berlaku sebagai  hukum di daerah tersebut. Hal yang demikian terdapat juga dalam lapangan hukum pidana yaitu yang biasanya disebut dengan tindak pidana adat. Untuk memberikan dasar hukum yang mantap mengenai berlakunya hukum pidana adat, maka hal tersebut mendapat pengaturan secara tegas dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini. Ketentuan pada ayat ini merupakan pengecualian dari asas bahwa ketentuan pidana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Diakuinya tindak pidana adat tersebut untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat tertentu”
         Konklusi dasar dari ketentuan Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP dengan diakuinya hukum yang hidup dalam masyarakat yang merupakan hukum tidak tertulis membawa konsekuensi logis bahwa pembentuk RUU KUHP menarik hukum tidak tertulis menjadi hukum formal. Implikasi adanya aspek ini membuat penegakan hukum yang hidup dalam masyarakat akan dilakukan oleh negara melalui sub sistem peradilan pidana. Hal ini dapat dimengerti oleh karena polarisasi pemikiran pembentuk RUU KUHP bertitik tolak dari keseimbangan monodualistik yaitu asas keseimbangan antara kepentingan/perlindungan individu dengan kepentingan/perlindungan masyarakat, keseimbangan antara kretaria formal dan materiel, dan keseimbangan antara kepastian hukum dengan keadilan. Nilai/ide keseimbangan dalam RUU KUHP dilanjutkan dalam menentukan suatu tindak pidana adalah selalu melawan hukum dengan dianutnya sifat melawan hukum materiel. Ketentuan Pasal 11 ayat (2) RUU KUHP menentukan, “untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat” dan ayat (3) berbunyi bahwa, “setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar”. Polarisasi pemikiran pembentuk undang-undang dalam menentukan dapat dipidana harus memperhatikan keselarasan dengan perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat. Konklusinya, perbuatan tersebut nantinya tidak hanya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan tetapi juga akan selalu bertentangan dengan hukum. Perbuatan yang bertentangan dengan hukum adalah perbuatan yang dinilai oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut dilakukan. Ditentukannya syarat bertentangan dengan hukum, didasarkan pada pertimbangan bahwa menjatuhkan pidana pada seseorang yang melakukan suatu perbuatan yang tidak bersifat melawan hukum dinilai tidak adil. Oleh karena itu untuk dapat menjatuhkan pidana, hakim selain harus menentukan apakah perbuatan yang diakukan itu secara formil dilarang oleh peraturan perundang-undangan dan apakah perbuatan tersebut secara materiil juga bertentangan dengan hukum, dalam arti kesadaran hukum masyarakat. Hal ini wajib dipertimbangkan dalam putusan. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP mengimbangi ketentuan Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP. Tegasnya, asas legalitas formal diimbangi dengan ketentuan asas legalitas materiel.
        Kemudian berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (4) RUU KUHP dijelaskan berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa. Kemudian penjelasan Pasal tersebut menyebutkan bahwa, “ayat ini mengandung pedoman atau kretaria atau rambu-rambu dalam menetapkan sumber hukum materiel (hukum yang hidup dalam masyarakat) yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum (sumber legalitas materiil). Pedoman pada ayat ini berorientasi pada nilai nasional dan internasional.” Pada hakikatnya, pedoman dalam ayat ini berorientasi pada nilai nasional dan internasional. Apabila dijabarkan, aspek ini sesuai dengan nilai nasional (Pancasila) artinya sesuai dengan nilai/paradigma moral religius, nilai/paradigma kemanusian/humanis, nilai/paradigma kebangsaan, nilai/paradigma demokrasi (kerakyatan) dan nilai/paradigma keadilan sosial. Kemudian rambu-rambu yang berbunyi, “sesuai dengan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa, bersumber pada “The general principle of law recognized by community of nations” yang terdapat dalam ketentuan Pasal 15 ayat (2) ICCPR (International Covenant on Civil and Political Right). Adanya rambu-rambu tersebut, hukum yang hidup (hukum pidana ada) mendapat landasan untuk dapat diadili maupun sanksi adat setempat yang dapat dijatuhkan oleh pengadilan adalah sesuai nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat internasional. Keempat, adanya pembatasan bahwa asas legalitas formal tidak diterapkan secara absolut dan adanya keseimbangan monodualistik maka polarisasi pemikiran pembentuk RUU KUHP menganut pula secara implisit ajaran melawan hukum materiil dalam fungsi yang positif.  Dalam kepustakaan ilmu hukum dan praktik peradilan ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsi positif diartikan bahwa meskipun suatu perbuatan tidak memenuhi rumusan delik dalam undang-undang, hakim dapat menjatuhkan pidana apabila perbuatan tersebut dianggap tercela, bertentangan dengan keadilan dan norma-norma sosial lainnya dalam kehidupan masyarakat. ***
         





Tidak ada komentar:

Posting Komentar