Rabu, 08 Juni 2011

INTEGRITAS DAN PROFESIONALISME HAKIM DALAM SISTEM PENEGAKAN HUKUM



A. LATAR BELAKANG
Penegakkan supremasi hukum yang menjadi salah satu amanat reformasihingga saat ini sedang dalam proses sebagaimana yang diharapkan oleh semua pihak. Hal ini terjadi mengingat dalam kurun waktu tiga puluh tahun terakhir akibat sistem kekuasaan yang represif telah mengakibatkan wajah hukum dan praktek peradilan kita menjadi tidak sehat. Tentu ini menjadi tugas berat bagi jajaran kekuasaan kehakiman untuk membangun kembali citra peradilan menjadi bermartabat dan dihormati masyarakat. Terlepas dari kekurangan yang ada, terjadinya kekurang-percayaan publik terhadap lembaga peradilan tercermin dari banyaknya kritik dan berbagai bentuk ketidakpuasan masyarakat. Tentu yang menjadi sorotan terkait dengan masalah penegakkan hukum ini salah satunya adalah aparat peradilan (hakim).
Rekruitmen Pada Masa Lalu Hakim adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang. Sebagai pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman, ia harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional dan berpengalaman di bidang hukum. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim wajib menjaga kemandirian peradilan.
Kegagalan sistem yang ada dalam menciptakan peradilan yang lebih baik pada masa lalu telah mendorong timbulnya pemikiran kearah pembentukan suatu lembaga pengawas eksternal (external auditors) yang bernama Komisi Yudisial. Komisi ini oleh Undang-Undang Dasar 1945 diberi sifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai kewenangan dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. Bagian kedua dari wewenang tersebut, dijabarkan lebih lanjut oleh Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 menjadi “menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat, dan menjaga perilaku hakim“. Pemberian kewenangan pengawasan kepada badan yang berada diluar Mahkamah Agung tersebut, diharapkan agar pengawasan lebih efektif dan pada akhirnya akan mendorong terciptanya peradilan yang lebih efektif serta terciptanya peradilan yang lebih baik.


B. PERMASALAHAN
  1. Bagaimanakah hakim dalam mengemban integritas dan profesionalisme hakim?
  2. Sebatas manakah kebebasan hakim dalam sistem penegakan hukum?


C. PEMBAHASAN

1. PENGEMBANGAN INTEGRITAS DAN PROFESIONALISME HAKIM

Hakim dalam semua tingkatan menduduki posisi sentral dalam proses peradilan. Dalam posisi sentral itulah diharapkan dapat menegakkan hukum dan keadilan. Hanya hakim yang baik yang dapat diharapkan dapat menghasilkan putusan yang mencerminkan rasa keadilan, yang sesuai dengan hukum yang berlaku. Terdapat banyak pandangan tentang kriteria hakim baik antara lain, memiliki kemampuan hukum (legal skill), berpengalaman yang memadai, memiliki integritas, memiliki kesehatan yang baik, mencerminkan keterwakilan masyarakat, memiliki nalar yang baik, memiliki visi yang luas, memiliki kemampuan berbahasa dan menulis, mampu menegakkan hukum negara dan bertindak independen dan imparsial, dan memiliki kemampuan administratif dan efisien.
Hakim yang baik sebagaimana disebut diatas hanya lahir dari suatu sistem yang baik. Sistem yang baik yang dapat melahirkan hakim yang baik tersebut, sebagaimana dikatakan oleh Menteri Kehakiman Belanda Odette Buitendam, yaitu melalui suatu rekruitmen, seleksi dan pelatihan yang baik. Unsur integritas dan profesionalisme merupakan dua unsur yang terkandung dalam pengertian hakim yang baik, bukan unsur yang dibawa sejak lahir, melainkan unsur-unsur yang didapat dari rekruitmen, seleksi dan pelatihan yang baik pula.

A.. Hakim yang Baik dan Pengalaman
Rekruitmen Pada Masa Lalu Hakim adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang. Sebagai pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman, ia harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional dan berpengalaman di bidang hukum. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim wajib menjaga kemandirian peradilan. Dari ketentuan-ketentuan tersebut diatas dapatlah dirinci bahwa unsur-unsur hakim yang baik itu adalah hakim yang memiliki : (1) integritas, (2) kepribadian, (3) jujur, (4) adil, (5) profesional, (6) berpengalaman dan (7) menjaga kemandirian peradilan. Sebagaimana telah dikemukakan diatas, dalam rangka mendapatkan hakim yang memiliki integritas dan profesionalisme hanya didapat melalui rekrutmen dan seleksi. Rekruitmen dan seleksi tersebut dilaksanakan dengan mengedepankan prinsip-prinsip transparansi, partisipasi, akuntabilitas, right man on the right place dan objektif. Kegagalan penerapan prinsip-prinsip tersebut diatas dapat dilacak pada masa Orde Baru maupun pada masa Reformasi, terutama pada rekruitmen calon Hakim Agung. Proses rekruitmen calon Hakim Agung pada masa Orde Baru menunjukkan beberapa kelemahan, terutama pada aspek mekanisme dan penentuan kriteria antara lain tidak ada parameter yang objektif untuk mengukur kualitas dan integritas, adanya dropping nama, adanya indikasi jaringan, pertemanan dan hubungan keluarga.
Reformasi tahun 1998 dimana kekuatan politik begeser dari executive heavy ke legislative heavy, praktis DPR mengambil alih dominasi pemerintah dan Mahkamah Agung dalam rekruitmen dan seleksi Hakim Agung. Pada masa itu DPR melakukan Fit and Proper Test yang relatif memenuhi prinsip transparansi, namun demikian tetap memiliki kelemahan yaitu pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada calon kurang tepat dan kurang berkualitas. Disamping itu sebagian anggota DPR memilih calon Hakim Agung hanya berdasarkan selera pribadi atau partai bahkan suap tanpa memperhatikan integritas, pemahaman hukum dan visi, misi calon hakim agung.
Disamping itu data lain memperlihatkan ketika Komisi Yudisial melaksanakan rekruitmen dan seleksi pertama tahun 2006 untuk memilih 18 calon Hakim Agung, hampir sebagian besar calon Hakim Agung yang berasal dari sistem karir tidak lolos dalam mengikuti Profile Assesment. Faktor penyebab dari kejatuhan calon Hakim Agung dari sistem karir adalah kesalahan sistem rekruitmen pada penerimaan calon hakim pada masa lalu yang di dominasi oleh faktor pertemanan, keluarga, sehingga kurang mengedepankan faktor profesionalitas dan integritas.


B. Pengembangan Integritas Hakim
Walaupun unsur integritas dari seseorang (calon hakim) didapat melalui rekrutmen dan seleksi yang baik namun integritas itu harus dikembangkan melalui pendidikan dan latihan. Integritas merupakan suatu sifat, mutu atas keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan, kejujuran. Jika seorang Hakim memiliki integritas, dengan sendirinya ia memiliki potensi, kemampuan yang pada akhirnya akan melahirkan kewibawaan dan kejujuran sebagai suatu profesi, jabatan hakim memiliki kode etik yang harus dijadikan dasar perilaku/tindakan profesi hakim. Kode etik tersebut dibuat oleh mereka sendiri dengan maksud untuk melakukan pembinaan dan pembentukan karakter serta untuk mengawasi tingkah laku hakim. Dengan demikian jika karakter telah terbentuk dan perilaku hakim yang didasarkan pada patokan, diharapkan akan menumbuhkan kepercayaan masyarakat pada lembaga peradilan. Komisi Yudisial juga telah membuat rancangan Pedoman Etika Perilaku Hakim, yang didasarkan pada The Bangalore Principle of Judicial Conduct, mengartikan prinsip integritas itu sebagai sikap dan kepribadian yang utuh, berwibawa, jujur dan tidak tergoyahkan.
Rancangan Pedoman Perilaku Hakim tersebut merupakan sumbangan atau masukan kepada Mahkamah Agung. Pengembangan prinsip integritas perlu dilakukan terus menerus. Pengembangan tersebut terlihat pada penerapannya antara lain ; (1) hakim berperilaku tidak tercela, (2) menghindari konflik kepentingan, (3) mengundurkan diri jika terjadi konflik kepentingan dan (4) menghindari pemberian hadiah dari pemerintah daerah walaupun pemberian tersebut tidak mempengaruhi tugas-tugas yudisial.
Mahkamah Agung juga telah mengembangkan prinsip integritas ini, yang diterapkan dalam 17 (tujuh belas) butir perilaku yang pada intinya agar hakim mempunyai kepribadian untuk tak tergoyahkan, berani menolak godaan dan intervensi dan selalu berusaha melaksanakan tugas dengan cara-cara terbaik untuk mencapai tujuan yang bai. Namun. demikian sebaik apapun pedoman pedoman perilaku jika tidak diterapkan secara konsistem ia hanya bernilai hukum yang dicita-citakan (ideal norm). Penerapan secara konsekuen dan konsisten pedoman perilaku hakim, diharapkan akan mendorong timbul integritas yang tinggi.

C. Pengembangan Profesionalisme
Pengembangan profesionalisme hakim sangat dipengaruhi paling sedikit oleh dua hal yaitu (1) model pendidikan dan latihan dan (2) sistem pendidikan hakim secara umum. Pendidikan tinggi hukum di Indonesia yang menganut civil law, masuk dalam kategori undergraduate program, menghasilkan produk yang memiliki kesenjangan dengan kualifikasi di tingkatan praktek. Keadaan ini berakibat bahwa lulusan S1 hukum dari fakultas baik negeri maupun swasta yang diterima sebagai hakim memerlukan pendidikan dan pelatihan lebih lanjut. Ini berarti memerlukan alokasi dana, waktu dan tenaga untuk mengembangkan profesionalisme hakim tersebut sebelum ia diterjunkan memeriksa dan mengadili suatu perkara. Pekerjaan tersebut berarti turut mengatasi permasalahan yang seharusnya diselesaikan oleh fakultas-fakultas hukum. Pendidikan tinggi hukum pada umumnya mengambil materi Ilmu-Ilmu Hukum atau Teori Hukum dan jarang sekali mengkaji putusan-putusan hakim, dakwaan jaksa, atau pledoi para advokat. Ini tentu dapat dimaklumi, karena pendidikan tinggi hukum adalah pendidikan keilmuan. Namun demikian sekarang mulai disadari bahwa pendidikan tinggi hukum untuk mempersiapkan praktisi hukum dimasa depan. Oleh sebab itu kita dapat menyaksikan pendidikan hukum telah memberi proporsi waktu bagi pelatihan keterampilan profesional baik melalui program pendidikan teknis maupun perubahan metode perkuliahan konvensional.
Kita juga bisa menyaksikan bahwa pada umumnya Fakultas Hukum telah memiliki laboratorium hukum yang antara lain menyelenggarakan pendidikan latihan kemahiran hukum (PLKH). Akan tetapi walaupun telah masuknya materi-materi baru sebagaimana disebut diatas, tetap belum dapat menjamin keluaran yang profesional dan siap pakai. Ini berarti pendidikan dan pelatihan bagi calon hakim masih tetap memerlukan pendidikan dan pelatihan tambahan. Pengembangan ke arah profesionalisme bagi mahasiswa hukum haruslah didukung oleh penetapan prinsip keterbukaan putusan pengadilan dan putusan itu tidak hanya dapat diakses oleh pihak yang berkepentingan tetapi juga dapat diakses semua pihak termasuk mahasiswa. Dengan demikian mahasiswa memiliki kesempatan untuk mendiskusikan secara terbuka putusan-putusan pengadilan. Manfaat yang didapat ialah mahasiswa dapat berargumen secara logis, menganalisa secara akurat permasalahan hukum yang berkembang, memahami prinsip-prinsip hukum dan penerapannya dalam praktek. Dampak prinsip keterbukaan putusan hakim tersebut juga mendorong hakim lebih berhati-hati dalam membuat putusan, sebab hasil kerjanya akan menjadi bahan diskusi dan perdebatan akademisi. Jika prinsip telah dapat dilaksanakan pada peradilan di Indonesia, sudah barang tentu diharapkan mendorong hakim memutus perkara lebih profesional.

2. KEBEBASAN HAKIM DALAM SISTEM PENEGAKAN HUKUM
Kebebasan Hakim yang didasarkan pada kemandirian Kekuasaan Kehakiman di Indonesia dijamin dalam Konstjtusi Indonesia yaitu Undang-undang Dasar 1945, yang selanjutnya di implementasikan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor : 35 Tahun 1999. Independensi diartikan sebagai bebas dari pengaruh eksekutif maupun segala Kekuasaan Negara lainnya dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang dating dari pihak-pihak extra judisiil, kecuali dalam hal-hal yang diizinkan oleh Undang-Undang. Demjkian juga meliputi kebebasan dari pengaruh -pengaruh internal judisiil didalam menjatuhkan putusan. Dalam melakukan kekuasaan kehakiman dikenal adanya 4 (empat) lingkungan peradilan yaitu :
1. Peradilan Umum
2. Peradilan Agama
3. Peradilan Militer
4. Peradilan Tata Usaha Negara
(Vide Pasal 24 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945) Salah satu pasal dahulu dalam Undang-Undang tentang Pokok- Pokok Kekuasaan Kehakiman Nomor 14 Tahun 1970 tersebut yang dapat mengganggu independensi badan-badan pengadilan, yaitu Pasal 11 yang menentukan secara organisatoris, administratif dan finansiil badan-badan
1 Makalah disampaikan dalam Seminar Hukum Nasional VIII yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional di Denpasar pada tanggal 14 -18 Juli 2003. peradilan berada dibawah Departemen yang terkait (eksekutif), sedangkan dilain pihak Pasal 10 menentukan bahwa peradilan tertinggi adalah Mahkamah Agung Yang melakukan pengawasan maupun kasasi dan peninjauan kembali terhadap putusan-putusan badan peradilan tersebut.
Dengan perkataan lain, ada dualisme pembinaan hakim yaitu pembinaan teknis oleh Mahkamah Agung dan pembinaan administratif oleh Departemen (eksekutif) yang bersangkutan.
Keadaan inilah yangl lazim disebut dengan adanya sistem dua atap dalam badan-badan peradilan, yang akan segera diakhiri dengan penerapan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999. Undang-Undang ini merupakan implementasi dari Ketetapan MPR Nomor X Tahun 1998 yang berkaitan dengan pemisahan yang tegas antara fungsi-fungsi judikatif dan eksekutif.
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tersebut, maka peralihan kewenangan Departemen (eksekutif) terhadap badanbadanperadilan sehingga menjadi  dibawah satu atap di Mahkamah Agung dilaksanakan secara bertahap dalam tempo 5 tahun sejak Undang-Undang tersebut diundangkan, yang berarti antara tahun 1999 s/d tahun 2004.
Sehjngga dengan demikian sudah tidak akan ada lagi dualisme dalam pembinaan badan-badan peradilan, melainkan akan menjadi satu pembinaan dibawah kewenangan Mahkamah Agung, baik meliputi pembinaan teknis maupun administratlif, organisatoris dan finansiil.
Oleh karenanya salah satu aspek dari Legal Reform di Indonesia dalam kaitannya dengan independensi Kekuasaan Kehakiman adalah antara lain pengalihan atau transfer kewenangan dari eksekutif (dalam hal ini Departemen Kehakiman dan HAM serta departemen-departemen lain yang terkait kepada Mahkamah Agung sebagai puncak dalam Kekuasaan Kehakiman.
Dengan diadakannya revisi atau amandemen dalam waktu dekat terhadap berbagai perundang-undangan yang berkaitan dengan badan peradilan,
yaitu antara lain :
- Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan
   Kehakiman
- Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum
- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
   Negara
- Dan lain-lain
Apakah memang benar bahwa Kekuasaan Kehakiman itu mandiri atau independen dalam arti sebebas-bebasnya, Independensi Kekuasaan Kehakiman atau badan-badan kehakiman/ peradilan merupakan salah satu dasar untuk terselenggaranya pemerintah yang demokratis dibawah Rule of Law sebagaimana pemikiran mengenai Negara Hukum modern yang pernah di cetuskan dalam konferensi oleh International Commission of Jurists di Bangkok pada tahun 1965.
Dalam pertemuan konferensi tersebut ditekankan pemahaman tentang apa yang disebut sebagai "the dynamic aspects of the Rule of Law in the modern age" (aspek-aspek dinamika Rule of Law dalam abad modern). Dikatakan bahwa ada 6 (enam) syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintah yang demokratis dibawah Rule of Law, yaitu :
1. Perlindungan Konstitusjonal
2. Peradilan atau badan-badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak
3. Pemilihan Umum yang bebas
4. Kebebasan menyatakan pendapat
5. Kebebasan berserikat / berorganisasi dan beroposisi
6. Pendidikan kewarganegaraan
Dari syarat-syarat tersebut jelaslah bahwa independensi Kekuasaan Kehakiman
merupakan salah satu pilar yang pokok, yang apabila komponen tersebut tidakada maka  kita tidak bisa berbicara lagi tentang Negara Hukum.
Selain ketentuan konstitusi di negara kita yaitu Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 dengan segala implementasinya tersebut diatas, arti pentingnya independensi badan-badan peradilan dan Kekuasan Kehakiman tersebut secara universal telah diterima dan ditekankan dalam berbagai instrument hukum internasional, yaitu antara lain dalam :
1. Universal Declaration of Human Rights Pasal10
2. International Covenant of Civil and Political Rights Pasal14
3. Vienna Declaration and Programme for Action tahun 1993 paragraf 27
4. International Bar Association Code of Minimum Standards of Judicial
    Independence tahun 1982 di New Delhi
5. Universal Declaration on the Independence tahun 1983 di Montreal,
    Canada
6. Beijing Statement of Principles of the Independence of Judiciary in the Law
    Asia Region tahun 1995
Demikianlah jelas bahwa secara nasional maupun internasional atau universal, independensi badan-badan peradilan dijamin.
Menjadi pertanyaan bagi kita sekarang apakah hakekat independensi Kekuasaan Kehakiman itu memang harus mandiri dan merdeka dalam arti sebebas-bebasnya tanpa ada batasnya secara absolut? Menurut hemat saya tidak demikian, sebab tidak ada kekuasaan atau kewenangan di dunia ini yang tidak tak-terbatas, atau tanpa batas, kecuali kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa di dunia ini maupun di akhirat. Kekuasaan Kehakiman, yang dikatakan independensi atau mandiri itu pada hakekatnya diikat dan dibatasi oleh rambu-rambu tertentu, sehingga dalam konferensi International Commission of Jurists dikatakan bahwa :
"Independence does not mean that the judge is entitled to act in an arbitrary manner”.
Batasan atau rambu-rambu yang harus diingat dan diperhatikan dalam implementasi kebebasan itu adalah terutama aturan-aturan hukum itu sendiri. Ketentuan-ketentuan hukum, baik segi prosedural maupun substansial / materiil, itu sendiri sudah merupakan batasan bagi Kekuasaan “Kehakiman agar dalam melakukan independensinya tidak melanggar hukum, dan bertindak sewenang-wenang. Hakim adalah "subordinated” pada Hukum dan tidak dapatbertindak "contra legem".
Selanjutnya, harus disadari bahwa kebebasan dan independensi tersebut diikat pula dengan pertanggungan-jawab atau akuntabilitas, yang kedua-duanya itu, independensi dan akuntabilitas pada dasarnya merupakan kedua sisi koin mata uang saling melekat.  Tidak ada kebebasan mutlak tanpa tanggung jawab. Dengan perkataan lain dapat dipahami bahwa dalam konteks kebebasan hakim (independency of judiciary) haruslah diimbangi dengan pasangannya yaitu akuntabilitas peradilan (Judicial accountability). Dalam memasuki era globalisalsi sekarang ini, menjadi kewajiban bagi kita semua yang bergerak di pemerintahan dan penegakan hukum, baik kalangan teoritisi / akademisi maupun praktisi untuk mengkaji secara serius dan mendalam mengenai pengertian "judicial accountability" tersebut sebagai pasangan dari “independency of judiciary".
Bentuk tanggung jawab ada dan bisa dalam mekanisme yang berbagai macam, dan salah satu yang perlu disadari adalah "social accountability” (pertanggungan jawab pada masyarakat), karena pada dasarnya tugas badan-badan kehakiman atau peradilan adalah melaksanakan public service di bidang memberikan keadilan bagi masyarakat pencari keadilan. Secara teoritis, di samping social atau public accountability tersebut dikenal pula : political accountability / legal accountability of state, dan personal accountability of the judge. Sisi lain dari rambu-rambu akuntabilitas tersebut adalah adanya integritas dan sjfat transparansi dalam penyelenggaraan dan proses memberikan keadilan tersebut, hal mana harus diwujudkan dalam bentuk publikasi putusanputusan badan pengadilan serta akses publik yang lebih mudah untuk mengetahui dan membahas putusan-putusan badan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sehingga karenanya putusan-putusan tersebut dapat menjadi obyek kajian hukum dalam komunitas hukum. Adalah suatu langkah reformasi juga dibidang peradilan, manakala dikembangkan wacana perlunya publiikasi pendapat yang berbeda (publication of dissenting opinion) diantara hakim-hakim didalam proses pemutusan perkara jika tidak terdapat kesepakatan yang  bulat diantara mereka. Pada hakekatnya justru melalui mekanisme "publication of dissenting opinion" itulah independensi hakim sebagai penegak hukum dijamin dalam menyampaikan dan mempertahankan argumentasi yuridisnya masing-masing pada waktu musyawarah putusan. Contoh dari sudah diterimanya asas ini dalam perundang-undangan kita adalah dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, dan telah dipraktekkan pula di Pengadilan Niaga dalam perkara-perkara kepailitan. Konsekuensi lebih lanjut dari adanya akuntabilitas tersebut diatas, adalah adanya pengawasan atau kontrol terhadap kinerja badan-badan peradilanbaik mengenai jalannya  peradilan maupun termasuk perilaku para aparatnya, agar kemandirian dan kebebasan Kekuasaan Kehakiman tidak disalah gunakan sehingga dikawatirkan dapat menjadi " tirani Kekuasaan Kehakiman ". Banyak bentuk dan mekanisme pengawasan yang dapat dipikirkan dan dilaksanakan,dan salah satu bentuk adalah kontrol atau pengawasan melalui mass-media termasuk pers. Jadi dengan demikian, aspek akuntabilitas, integritas dan aspek transparansi, maupun aspek pengawasan merupakan 4 (empat) rambu-rambu yang menjadi pelengkap dari diakuinya kebebasan dan independiensi Kekuasaan Kehakiman. Dengan demikian kebebasan Hakim yang merupakan personifikasi dari  kemandirian kekuasaan Kehakiman, tidaklah berada dalam ruang hampa tetapi ia dibatasi oleh rambu-rambu berikut :
- Akuntabilitas
- Integritas moral dan etika
- Transparansi
- Pengawasan (kontrol)
Dalam hubungan dengan tugasnya sebagai hakim, maka independensi Hakim masih harus dilengkapi lagi dengan sikap impartialitas dan profesionalisme dalam bidangnya. Oleh karenanya kebebasan Hakim sebagai penegak hukum haruslah dikaitkan dengan :
- Akuntabiltas
- Integritas moral dan etika
- Transparansi
- Pengawasan (kontrol)
- Profesionalisme dan impartialitas
Tetapi sebaliknya, independensi Kekuasaan Kehakiman itu juga mengandung makna perlindungan pula bagi Hakim sebagai penegak hokum untuk bebas dari pengaruh-pengaruh dan direktiva yang dapat berasal dari antara lain :
a. Lembaga-Iembaga di luar badan-badan peradilan, baik eksekutif mapun legislatif, dan         lain-Iain
b. Lembaga-Iembaga internal didalam jajaran Kekuasaan Kehakiman sendiri
c. Pengaruh-pengaruh pihak yang berperkara
d. Pengaruh tekanan-tekanan masyarakat, baik nasional maupun internasional
e. Pengaruh-pengaruh yang bersifat "trial by the press"
Lazimnya perlindungan-perlindungan tersebut dikaitkan dengan larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang bersifat "Contempt of Court' atau pelecehan / penghinaan terhadap peradilan.
Dalam kaitan dengan peranan dan fungsi pers ini, haruslah kita pahami bahwa memang dalam penegakan Negara Hukum dibutuhkan adanya pilar atau komponen pers yang bebas tetapi yang juga harus berada dalam rambu-rambu akuntabilitas dan transparansi. Seperti halnya Kekuasaan Kehakiman yang independen, pers juga harus dilindungi terhadap segala macam pengaruh yang dapat mengkerdil-kan fungsi pers itu sendiri, sehingga menghalangi kebebasan menyatakan pendapat. Peranan dan fungsi pers sebagai
salah satu lembaga kontrol atau pengawasan merupakan sarana yang strategis didalam proses mewujudkan Negara Hukum, sebab melalui kekuatannya pers dapat dan mampu meningkatkan kepedulian masyarakat sehingga "social control” dapat terlaksana dengan baik. Bahkan dapat dikatakan bahwa secara langsung pers mempunyai peranan yang besar dan berpengaruh terhadap implementasi dari independensi Kekuasaan Kehakiman. Melalui pemberitaan pers-Iah masyarakat memperoleh informasi apakah jalannya proses peradilan telah dilaksanakan sebaik-baiknya dan sebagaimana seharusnya. Oleh karena itu, kebebasan pers itu membawa implikasi sebagai lembaga kontrol tapi juga sekaligus sebagai lembaga yang memberi informasi secara benar, akurat dan tidak berpihak pada masyarakat tentang kinerja badan-badan peradilan. Batasan atau rambu-rambu yang harus
diperhatikan adalah bahwa pemberitaan-pemberitaan pers haruslah bersifat informatif dan sekalipun mengandung analitis, haruslah dihindari pemberitaan yang sudah bersifat dan mengarah kepada "trial by the press". Dengan demikian maka dialektika dan interaksi antara Kekuasaan Kehakiman dan dunia pers menjadi kinerja yang saling menghargai satu sama lain melalui peningkatan integritas dan profesionalitas aparatur masing-masing, baik jajaran aparat Kekuasaan Kehakiman sendiri maupun insan pers dalam memberikan
pemberitaan yang bertanggung jawab dari pers itu sendiri.
Memang dari pemberitaan-pemberitaan dalam pers maupun dalam kenyataan praktek di lapangan menunjukan bahwa kebebasan Hakim sebagai penegak hukum masih sering disimpangi, halmana disebabkan oleh pengaruh pengaruh yang disebutkan diatas dan juga oleh karena kelemahan pribadi sang Hakim sendiri yang tidak dapat bersikap tegar terhadap pengaruh-pengaruh tersebut atas dirinya. Maka dalam hal demikian, fungsi pengawasan terhadap tugas dan kinerja Hakim yang harus bekerja secara efektif, konsisten dan tegas.
Pengawasan tersebut dapat bersifat internal maupun eksternal, yang preventif maupun represif, yang harus dioptimalkan dan diberdayakan. Harapan ditujukan pada pembentukan Komisi Yudisial yang dalam konstitusi (Pasal 24 B Undang-Undang Dasar 1945) telah ditentukan bahwa Komisi Yudisial ini bersifat mandiri.
Komisi Yudisial berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung, dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.Bagian yang terakhir inilah yang penting untuk menjaga agar kebebasan Hakim sebagai penegak hukum benar-benar dapat diterapkan sesuai dengan idealisme dan hakekat kebebasan tersebut.



D. KESIMPULAN
Salah satu faktor yang berpengaruh dalam menciptakan peradilan yang lebih baik ialah terdapat hakim yang memiliki integritas dan profesional. Hakim yang berintegritas dan profesional hanya didapat melalui rekruitmen dan seleksi serta pelatihan. Rekruitmen dan seleksi dalam rangka mendapatkan hakim yang baik harus mengutamakan prinsip-prinsip keterbukaan, partisipasi akuntabilitas, right man on the right place dan objektif. Walaupun sistem rekruitmen dan seleksi telah berhasil mendapat hakim yang memiliki integritas dan profesionalitas, tetapi kedua unsur itu tetap perlu dikembangkan. Keberhasilan pengembangan kedua sifat itu diharapkan akan memberi kontribusi dalam menciptakan peradilan yang lebih baik dimasa yang akan datang.

kemandirian kekuasaan Kehakiman, tidaklah berada dalam ruang hampa tetapi ia dibatasi oleh rambu-rambu berikut :
- Akuntabilitas
- Integritas moral dan etika
- Transparansi
- Pengawasan (kontrol)
Tetapi sebaliknya, independensi Kekuasaan Kehakiman itu juga mengandung makna perlindungan pula bagi Hakim sebagai penegak hokum untuk bebas dari pengaruh-pengaruh dan direktiva yang dapat berasal dari antara lain :
a. Lembaga-Iembaga di luar badan-badan peradilan, baik eksekutif mapun legislatif, dan         lain-Iain
b. Lembaga-Iembaga internal didalam jajaran Kekuasaan Kehakiman sendiri
c. Pengaruh-pengaruh pihak yang berperkara
d. Pengaruh tekanan-tekanan masyarakat, baik nasional maupun internasional
e. Pengaruh-pengaruh yang bersifat "trial by the press"
Lazimnya perlindungan-perlindungan tersebut dikaitkan dengan larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang bersifat "Contempt of Court' atau pelecehan / penghinaan terhadap peradilan.




























DAFTAR PUSTAKA
http://resources.unpad.ac.id  19 mei 2011
ihsa.0fees.net/mappi/index.php?p=show_detail&id=1792 21 mei 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar