Jumat, 06 Januari 2012

PERBANDINGAN HUKUM PIDANA INGGRIS DENGAN INDONESIA



A.    Klasifikasi Tindak Pidana Berdasarkan Hukum Pidana Inggris
Klasifikasi tindak pidana menurut hukum pidana Inggris bertitik tolak dan tergantung dari hirarki pengadilannya. Terhadap perkara – perkara pidana, terdapat 2 (dua) pengadilan yang memiliki kewenangan mengadili yang berbeda, yaitu:
a.   Crown Court
b.   Magistrate Court
Crown Court memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memutus perkara pidana berat. Sedangkan Magistrate Court memiliki kewenangan memeriksa dan memutus perkara – perkara pidana ringan. Berdasarkan undang – undang hukum pidana (Criminal Law Act) 1977, section 14, klasifikasi tindak pidana adalah:
1.      Offences triable only on indictment
Dalam praktek peradilan pidana di Inggris, beberapa perkara tindak pidana yang dapat diadili berdasarkan “on indictment” adalah, “murder” (pembunuhan), “manslaughter” (penganiayaan berat), “rape” (perkosaan), “robbery” (perampokan), “causing grievious bodily harm with intent to rob and blackmail” (menyebabkan luka berat yang diakibatkan oleh niat untuk melakukan perampokan dan pemerasan).
2)      Offences triable only summarily
Semua tindak pidana yang digolongkan ke dalam “summary offences” harus diatur dalam undang – undang. Dengan memasukkan suatu tindak pidana ke dalam “summary offences” berarti mencegah diberlakukannya peradilan juri terhadap tindak pidana tersebut.Magistrate court-lah yang memiliki kewenangan mengadili perkara – perkara tersebut. Beberapa tindak pidana berdasarkan undang – undang hukum pidana 1977 telah ditetapkan sebagai “summary offences” antara lain, pelanggaran lalu lintas dengan kadar alkohol dalam darah pengemudi melebihi batas maksimum yang diperkenankan menurut undang – undang, melakukan kekerasan fisik terhadap petugas polisi, bertingkah laku buruk dan membahayakan di tempat – tempat umum. Pertimbangan lain diberlakukannya beberapa tindakan pidana sebagai “summary offences” adalah agar setiap tertuduh dituntut melakukan kejahatan berat diperlakukan tidak adil karena harus menunggu atau ditahan terlalu lama.
3)      Offences triable either way
Perbuatan pelanggaran yang termasuk dalam kategori ini adalah semua perbuatan yang terdapat dalam daftar tindak pidana berdasarkan “Judicial Act” 1980. Beberapa tindak pidana tersebut, yaitu:
a)      Theft Act 1968, kecuali perampokan, pemerasan, penganiayaan dengan maksud merampok dan mencuri
b)      Beberapa pelanggaran yang disebut dalam “the criminal damage act” 1977, termasuk pemmbakaran (arson)
c)      Beberapa pelanggara yang dimuat dalam “Perjuri Act” 1911.
d)     “The forgery act” 1913
e)      “Sexual offences act” 1956
2.      Berdasarkan Hukum Pidana Indonesia
a.       Kejahatan dan Pelanggaran
Pembagian delik atas kejahatan dan pelanggaran ini disebut oleh undang-undang. KUHP buku ke II memuat delik-delik yang disebut : pelanggarancriterium apakah yang dipergunakan untuk membedakan kedua jenis delik itu ? KUHP tidak memberi jawaban tentang hal ini. Ia hanya membrisir atau memasukkan dalam kelompok pertama kejahatan dan dalam kelompok kedua pelanggaran.
Tetapi ilmu pengetahuan mencari secara intensif ukuran (kriterium) untuk membedakan kedua jenis delik itu.
Ada dua pendapat :
1)      Ada yang mengatakan bahwa antara kedua jenis delik itu ada perbedaan yang bersifat kwalitatif. Dengan ukuran ini lalu didapati 2 jenis delik, ialah :
a)      Rechtdelicten
Ialah yang perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang-undang atau tidak, jadi yang benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai bertentangan dengan keadilan misal : pembunuhan, pencurian. Delik-delik semacam ini disebut “kejahatan” (mala perse).
b)      Wetsdelicten
Ialah perbuatan yang oleh umum baru disadari sebagai tindak pidana karena undang-undang menyebutnya sebagai delik, jadi karena ada undang-undang mengancamnya dengan pidana. Misal : memarkir mobil di sebelah kanan jalan (mala quia prohibita). Delik-delik semacam ini disebut “pelanggaran”. Perbedaan secara kwalitatif ini tidak dapat diterima, sebab ada kejahatan yang baru disadari sebagai delik karena tercantum dalam undang-undang pidana, jadi sebenarnya tidak segera dirasakan sebagai bertentangan dengan rasa keadilan. Dan sebaliknya ada “pelanggaran”, yang benar-benar dirasakan bertentangan dengan rasa keadilan. Oleh karena perbedaan secara demikian itu tidak memuaskan maka dicari ukuran lain.
2)      Ada yang mengatakan bahwa antara kedua jenis delik itu ada perbedaan yang bersifat kwantitatif. Pendirian ini hanya meletakkan kriterium pada perbedaan yang dilihat dari segi kriminologi, ialah “pelanggaran” itu lebih ringan dari pada “kejahatan”.
Kejahatan ringan :
Dalam KUHP juga terdapat delik yang digolongkan sebagai kejahatan-kejahatan misalnya pasal 364, 373, 375, 379, 382, 384, 352, 302 (1), 315, 407.    
b.      Delik formil dan delik materiil (delik dengan perumusan secara formil dan delik dengan perumusan secara materiil)
1)      Delik formil itu adalah delik yang perumusannya dititikberatkan kepada perbuatan yang dilarang. Delik tersebut telah selesai dengan dilakukannya perbuatan seperti tercantum dalam rumusan delik.
Misalnya : penghasutan (pasal 160 KUHP), di muka umum menyatakan perasaan kebencian, permusuhan atau penghinaan kepada salah satu atau lebih golongan rakyat di Indonesia (pasal 156 KUHP); penyuapan (pasal 209, 210 KUHP); sumpah palsu (pasal 242 KUHP); pemalsuan surat (pasal 263 KUHP); pencurian (pasal 362 KUHP).
2)      Delik materiil adalah delik yang perumusannya dititikberatkan kepada akibat yang tidak dikehendaki  (dilarang). Delik ini baru selesai apabila akibat yang tidak dikehendaki itu telah terjadi. Kalau belum maka paling banyak hanya ada percobaan.
Misalnya : pembakaran (pasal 187 KUHP), penipuan (pasal 378 KUHP), pembunuhan (pasal 338 KUHP). Batas antara delik formil dan materiil tidak tajam misalnya pasal 362.  
c.       Delik commisionis, delik ommisionis dan delik commisionis per ommisionen commissa
1)      Delik commisionis : delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan, ialah berbuat sesuatu yang dilarang, pencurian, penggelapan, penipuan.
2)      Delik ommisionis : delik yang berupa pelanggaran terhadap perintah, ialah tidak melakukan sesuatu yang diperintahkan / yang diharuskan, misal : tidak menghadap sebagai saksi di muka pengadilan (pasal 522 KUHP), tidak menolong orang yang memerlukan pertolongan (pasal 531 KUHP).
3)      Delik commisionis per ommisionen commissa : delik yang berupa pelanggaan larangan (dus delik commissionis), akan tetapi dapa dilakukan dengan cara tidak berbuat. Misal : seorang ibu yang membunuh anaknya dengan tidak memberi air susu (pasal 338, 340 KUHP), seorang penjaga wissel yang menyebabkan kecelakaan kereta api dengan sengaja tidak memindahkan wissel (pasal 194 KUHP).
d.      Delik dolus dan delik culpa (doleuse en culpose delicten)
1)      Delik dolus : delik yang memuat unsur kesengajaan, misal : pasal-pasal 187, 197, 245, 263, 310, 338 KUHP
2)      Delik culpa : delik yang memuat kealpaan sebagai salah satu unsur misal : pasal 195, 197, 201, 203, 231 ayat 4 dan pasal 359, 360 KUHP.
e.       Delik tunggal dan delik berangkai (enkelvoudige en samenge-stelde delicten)
1)      Delik tunggal : delik yang cukup dilakukan dengan perbuatan satu kali.
2)      Delik berangkai : delik yang baru merupakan delik, apabila dilakukan beberapa kali perbuatan, misal : pasal 481 (penadahan sebagai kebiasaan)
f.       Delik yang berlangsung terus dan delik selesai (voordurende en aflopende delicten)
Delik yang berlangsung terus : delik yang mempunyai ciri bahwa keadaan terlarang itu berlangsung terus, misal : merampas kemerdekaan seseorang (pasal 333 KUHP).
g.      Delik aduan dan delik laporan (klachtdelicten en niet klacht delicten)
Delik aduan : delik yang penuntutannya hanya dilakukan apabila ada pengaduan dari pihak yang terkena (gelaedeerde partij) misal : penghinaan (pasal 310 dst. jo 319 KUHP) perzinahan (pasal 284 KUHP), chantage (pemerasan dengan ancaman pencemaran, ps. 335 ayat 1 sub 2 KUHP jo. ayat 2). Delik aduan dibedakan menurut sifatnya, sebagai :
1)      Delik aduan yang absolut,
Misalnya : pasal 284, 310, 332. Delik-delik ini menurut sifatnya hanya dapat dituntut berdasarkan pengaduan.
2)      Delik aduan yang relativ
Misalnya : pasal 367, disebut relatif karena dalam delik-delik ini ada hubungan istimewa antara si pembuat dan orang yang terkena.
h.      Delik sederhana dan delik yang ada pemberatannya / peringannya (eenvoudige dan gequalificeerde / geprevisilierde delicten)
Misalnya : penganiayaan yang menyebabkan luka berat atau matinya orang (pasal 351 ayat 2, 3 KUHP), pencurian pada waktu malam hari. (pasal 363). Ada delik yang ancaman pidananya diperingan karena dilakukan dalam keadaan tertentu, misal : pembunuhan kanak-kanak (pasal 341 KUHP).Delik ini disebut “geprivelegeerd delict”. Delik sederhana; misal : penganiayaan (pasal 351 KUHP), pencurian (pasal 362 KUHP).  
i.        Delik ekonomi (biasanya disebut tindak pidana ekonomi) dan bukan delik ekonomi
Apa yang disebut tindak pidana ekonomi itu terdapat dalam pasal 1 UU Darurat No. 7 tahun 1955, UU darurat tentang tindak pidana ekonomi.

B.     Unsur – unsur Suatu Tindak Pidana
1.      Berdasarkan Hukum Pidana Inggris
Dalam sistem hukum Inggris, setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap undang – undang pidana harus memenuhi unsur – unsur sebagai berikut[1]:
a.       Tertuduh telah melakukan suatu perbuatan yang telah dituduhkan atau dikenal dengan istilah Actus – reus;
b.      Tertuduh melakukan pelanggaran terhadap undang – undang dengan disertai niat jahat atau dikenal dengan istilah Mens – rea.
Menurut hukum pidana Inggris, Actus – reus mengandung prinsip bahwa:
a.       Perbuatan yang dituduhkan harus secara langsung dilakukan tertuduh. Pada prinsipnya seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan orang lain, kecuali ia membujuk orang lain untuk melakukan perlanggaran undang – undang atau tertuduh memiliki tujuan yang sama dengan pelaku pelanggaran tersebut.
b.      Perbuatan yang dituduhkan harus dilakukan tertuduh dengan sukarela (tanpa ada paksaan dari pihak lain); atau perbuatan dan akibatnya memang dikehendaki oleh pihak tertuduh.
c.       Ketidaktahuan akan undang – undang yang berlaku bukan merupakan alasan pemaaf / yang dapat dipertanggungjawabkan.
Unsur Mens – rea­ dalam hukum pidana Inggris dijabarkan dan diklasifikasikan menjadi:
a.       Intention atau purposely. Dengan pengertian istilah ini berarti bahwa seseorang tertuduh menyadari perbuatan dan menghendaki akibatnya.
Contoh: A membunuh B dengan motif balas dendam dan menghendaki kematian B.
b.      Resklessness. Dengan pengertian istilah ini berarti tertuduh sudah dapat memperkirakan atau menduga sebelum perbuatan dilaksanakan sebelum akibat yang akan terjadi; akan tetapi tertuduh sesungguhnya tidak menghendaki akibat itu terjadi.
Contoh: A mengendarai kendaraan bermotor melebihi batas kecepatan yang diperbolehkan di dalam kota, dan menabrak pejalan kaki yang mengakibatkan pejalan kaki yang bersangkutan luka – luka parah.
c.       Negligence. Dengan pengertian ini dimaksudkan bahwa tertuduh tidak menduga akibat yang akan terjadi, akan tetapi dalam keadaan tertentu undang – undang mensyaratkan bahwa tertuduh harus sudah dapat menduga akibat – akibat yang akan terjadi dari perbuatan yang dilakukannya.
Contoh: A menyulut korek api pada waktu ia berada di sebuah pompa bensin, sehingga mengakibatkan terbakarnya pompa bensin tersebut dan banyak korban luka bakar atau mati karenannya.
2.      Berdasarkan Hukum Pidana Indonesia
Unsur-unsur tindak pidana menurut Moeljatno terdiri dari :
a.       Kelakuan dan akibat
b.      Hal ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan, yang dibagi menjadi :
1)      Unsur subyektif atau pribadi
Yaitu mengenai diri orang yang melakukan perbuatan, misalnya unsur pegawai negeri yang diperlukan dalam delik jabatan seperti dalam perkara tindak pidana korupsi. Pasal 418 KUHP jo. Pasal 1 ayat (1) sub c UU No. 3 Tahun 1971 atau pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang pegawai negeri yang menerima hadiah. Kalau yang menerima hadiah bukan pegawai negeri maka tidak mungkin diterapka pasal tersebut
2)      Unsur obyektif atau non pribadi
Yaitu mengenai keadaan di luar si pembuat, misalnya pasal 160 KUHP tentang penghasutan di muka umum (supaya melakukan perbuatan pidana atau melakukan kekerasan terhadap penguasa umum). Apabila penghasutan tidak dilakukan di muka umum maka tidak mungkin diterapkan pasal ini
Unsur keadaan ini dapat berupa keadaan yang menentukan, memperingan atau memperberat pidana yang dijatuhkan.
1)      Unsur keadaan yang menentukan misalnya dalam pasal 164, 165, 531 KUHP
Pasal 164 KUHP :
”barang siapa mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan tersebut pasal 104, 106, 107, 108, 113, 115, 124, 187 dan 187 bis, dan pada saat kejahatan masih bisa dicegah dengan sengaja tidak memberitahukannya kepada pejabat kehakiman atau kepolisian atau kepada yang terancam, diancam, apabila kejahatan jadi dilakukan, dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.”
Kewajiban untuk melapor kepada yang berwenang, apabila mengetahui akan terjadinya suatu kejahatan. Orang yang tidak melapor baru dapat dikatakan melakukan perbuatan pidana, jika kejahatan tadi kemudian betul-betul terjadi. Tentang hal kemudian terjadi kejahatan itu adalah merupakan unsur tambahan.
Pasal 531 KUHP :
”barang siapa ketika menyaksikan bahwa ada orang yang sedang menghadapi maut, tidak memberi pertolongan yang dapat diberikan kepadanya tanpa selayaknya menimbulkan bahaya bagi dirinya atau orang lain, diancam, jika kemudian orang itu meninggal, dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah”.
Keharusan memberi pertolongan pada orang yang sedang menghadapi  bahaya maut jika tidak memberi pertolongan, orang tadi baru melakukan perbuatan pidana, kalau orang yang dalam keadaan bahaya tadi kemudian lalu meninggal dunia. Syarat tambahan tersebut tidak dipandang sebagai unsur delik (perbuatan pidana) tetapi sebagai syarat penuntutan.
2)      Keadaan tambahan yang memberatkan pidana
Misalnya penganiayaan biasa pasal 351 ayat (1) KUHP diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan. Apabila penganiayaan tersebut menimbulkan luka berat; ancaman pidana diperberat menjadi 5 tahun (pasal 351 ayat 2 KUHP), dan jika mengakibatkan mati ancaman pidana menjad 7 tahun (pasal 351 ayat 3 KUHP). Luka berat dan mati adalah merupakan keadaan tambahan yang memberatkan pidana
3)      Unsur melawan hukum
Dalam perumusan delik unsur ini tidak selalu dinyatakan sebagai unsur tertulis. Adakalanya unsur ini tidak dirumuskan secara tertulis rumusan pasal, sebab sifat melawan hukum atau sifat pantang dilakukan perbuatan sudah jelas dari istilah atau rumusan kata yang disebut. Misalnya pasal 285 KUHP : “dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh di luar perkawinan”. Tanpa ditambahkan kata melawan hukum setiap orang mengerti bahwa memaksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan adalah pantang dilakukan atau sudah mengandung sifat melawan hukum. Apabila dicantumkan maka jaksa harus mencantumkan dalam dakwaannya dan oleh karenanya harus dibuktikan. Apabila tidak dicantumkan maka apabila perbuatan yang didakwakan dapat dibuktikan maka secara diam-diam unsure itu dianggap ada.
Unsur melawan hukum yang dinyatakan sebagai unsur tertulis misalnya pasal 362 KUHP dirumuskan sebagai pencurian yaitu pengambilan barang orang lain dengan maksud untuk memilikinya secara melawan hukum.  

C.    Pertanggungjawaban Pidana
1.      Berdasarkan Hukum Inggris
Hukum Pidana Inggris menysaratkan bahwa pada prinsipnya setiap orang yang melakukan kejahatan dapat dipertangungjawabkan atas perbuatannya, kecuali ada sebab – sebab yang meniadakan penghapusan pertanggungjawaban yang bersangkutan atau “exemptions from liability.”
Pertanggungjawaban pidana di Inggris berdasarkan pada kesalahan, yaitu:
a.       Intent (Kesengajaan)
b.      Recklesness (Kesembronoan)
c.       Negligence (Kealpaan)
Seseorang tidak dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana jika:[2]
a.       Ia memperoleh tekanan (fisik atau psikologi) sedemikian rupa sehingga mengurangi pengendalian diri yang bersangkutan atau membatasi kebebasan pribadinya. Seperti: gila, atau daya paksa;
Termasuk ke dalam penghapusan pertanggungjawaban pidana di atas:
1)      Insanity atau gila / sakit jiwa
Isi ketentuan tentang Insanity / gila (M’ naghten Rule) mengandung makna 3 (tiga) hal sebahai berikut:
a)      Setiap orang dianggap sehat jiwanya, dan beban pembuktian terletak pada pihak tertuduh
b)      Kebodohan semata – mata tidak merupakan suatu pembelaan yang cukup; harus ada apa yang disebut “some disease of mind”
c)      “irresistible impulse” bukan suatu pembelaan, akan tetapi jika pembelaan tersebut dapat membuktikan bahwa tertuduh menderitaabnormalitas pikiran yang mengakibatkan “diminished responsibility” maka hal ini hanyalah merupakan faktor yang meringankan hukuman.
2)      Automatism atau gerak refleks
Dalam kasus gerak refleks ini justru perbuatan tertentu tidak dapat dipidana jika dilakukan secara tidak sengaja. Sebagai contoh, seorang sopir yang dituntut karena menjalankan kendaraan dalam keadaan mengantuk dan mengakibatkan seorang pejalan kaki mati; tidak dapat membela diri bahwa ia tertidur karena gerak refleks, sebab ia seharusnya berhenti memegang kemudi jika ia mengantuk.
3)      Drunkenness atau mabuk
Alasan mabuk dalam hukum pidana Inggris dibedakan dalam 2 (dua) macam, yaitu:
a)      “involuntary drunkenness”, yatiu seseorang mabuk disebabkan karena perbuatan orang lain. Jika hal tersebut dapat dibuktikan maka alasan mabuk merupakan suatu “pembelaan yang mutlak” (a complete defense)
b)      “voluntary drunkenness”. Pada umumnya tidak diakui sebagai pembelaan yang bersifat mutlak; kecuali mabuknya itu mengakibatkna “gila” sementara waktu sehingga menghilangkan unsur niat yang disyaratkan oleh suatu tindak pidana
4)      Coercion atau daya paksa
Hukum Inggris membedakan “coersion” ini ke dalam 3 (tiga) bagian, yaitu:
a)      “coercion by orders of superior” (daya paksa karena perintah atasan)
b)      “coercion by threats” (daya paksa karena suatu ancaman)
c)      “martial coercion” (daya paksa oleh salah satu pihak dalam satu ikatan perkawinan)
5)      Necessity atau keadaan darurat
“necessity” atau “keadaan darurat” merupakan suatu upaya bela diri yang bersifat mutlak dalam hal:
a)      Kasus “self – defense” asal beralasan menurut keadaan tertentu
b)      Untuk mencegah kejahatan dengan kekerasan
6)      Mistake or ignorance of fact atau kekeliruan atas fakta
Mistake atau kekeliruan atas fakta dapat merupakan pembelaan dalam situasi tertentu jika kekliruan tersebut beralasan. Sedangkan kekeliruan atas hukum bukan merupakan pembelaan.
Dalam hukum pidana Inggris diakui adanya orang – orang tertentu yang memiliki “kekebalan“ atau “immunity” terhadap pertanggungjawaban pidana disebabkan karena status orang tersebut. Mereka adalah:
a)      The sovereign. Dikenal dengan istilah “the queen can do no wrong”; sehingga dengan sendirinya seorang ratu di Inggris tidak dapat ditunut.
b)      Foreign Sovereign dan “Diplomat” memiliki “kekebalan” yang sama, akan tetapi “kekebalan” seorang diplomat dapat dicabut oleh Pemerintah Negara asalnya.
c)      Corporation atau perkumpulan, pada umumnya dalam hal – hal tertentu dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.
d)     Anak – anak di bawah usia 10 tahun tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.
7)      Acciden atau kecelakaan
b.      Pelaku termasuk golongan orang – orang yang tunduk pada peraturan khusus, seperti: diplomat asing atau anak dibawah umur.
Termasuk ke dalam penghapusan pertanggungjawaban pidana di atas:
1)      Pengusaha atau yang memegang kekuasaan atau raja yang berdaulat
2)      Diploma asing
3)      Perkumpulan atau badan usaha secara terbatas
4)      Anak dibawah usia (10 tahun)
2.      Berdasarkan Hukum Pidana Indonesia
Pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya seseorang telah melakukan tindakan pidana. Moeljatno mengatakan, orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau tidak melakukan perbuatan pidana.[3]Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana pertama-tama tergantung pada dilakukannya tindak pidana.
Apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu kemudian juga dipidana, tergantung pada soal, apakah dia dalam melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila orang yang melakukan perbuaan pidana itu memang mempunyai kesalahan, maka tentu dia akan dipidana. Tetapi, manakala dia tidak mempunyai kesalahan walaupun dia telah melakukan perbuatan yang terlarang dan tercela, dia tentu tidak dipidana. Asas yang tidak tertulis “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan” merupakan dasar daripada dipidananya si pembuat. 20Jadi perbuatan yang tercela oleh masyarakat itu dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya, artinya celaan yang objektif terhadap perbuatan itu kemudian diteruskan kepada siterdakwa.
Nyatalah bahwa hal dipidana atau tidaknya si pembuat bukanlah bergantung pada apakah ada perbuatan pidana atau tidak, melainkan pada apakah siterdakwa tercela atau tidak karena tidak melakukan tindak pidana. 21 Oleh karena itu dikatakan bahwa dasar daripada adanya tindak pidana adalah asas legaliteit, yaitu asas yang menentukan bahwa sesuatu perbuatan adalah terlarang dan diandam dengan pidana barangsiapa yang melakukannya, sedangkan dasar daripada dipidannya sipembuat adalah asas”tidak dipidana jika tidak ada kesalahan.
Dapat dikatakan orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana kalau tidak melakukan perbuatan pidana. Tetapi meskipun dia melakukan perbuatan pidana, tidaklah selalu dia dapat dipidana. Orang yang melakukan tindak pidana akan dipidana, apabila dia mempunyai kesalahan.
Pertanggungjawaban pidana ditentukan berdasar pada kesalahan pembuat (liability based on fault), dan bukan hanya dengan dipenuhinya seluruh unsur suatu tindak pidana. Dengan demikian, kesalahan ditempatkan sebagai faktor penentu pertanggungjawaban pidana dan tidak hanya dipandang sekedar unsur mental dalam tindak pidana.
Berpangkal tolak pada asas tiada pidana tanpa kesalahan, Moeljatno mengemukakan suatu pandangan yang dalam hukum pidana Indonesia dikenal dengan ajaran dualistis, pada pokoknya ajaran ini memisahkan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana ini hanya menyangkut persoalan “perbuatan” sedangkan masalah apakah orang yang melakukannya kemudian dipertanggungjawabkan, adalah persoalan lain.
Prof. Mr. Roeslan Saleh mengatakan bahwa orang yang mampu bertanggungjawab itu harus memenuhi tiga syarat, yaitu:
a.       Dapat menginsyafi makna yang senyatanya dari perbuatannya.
b.      Dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patur dalam pergaulan masyarakat.
c.       Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan perbuatan.

D.    Penyertaan
1.      Berdasarkan Hukum Inggris
Sebelum dikeluarkannya “the criminal law act”, penyertaan terdiri dari:
a.       A principal the first degree
b.      A principal the second degree
c.       An accesories before the
Setelah keluarnya The Criminal Law Act 1967, participation hanya terdiri dari 3 pihak, yaitu:
a.       Actual offender (orang yang melakukan perbuatan itu sendiri atau melalui innocent agent);
b.      Aiding dan abetting (orang yang membantu pada saat atau sewaktu kejahatan sedang berlangsung);
c.       Counselling or procuring (orang yang menganjurkan).
2.      Berdasarkan Hukum Pidana Indonesia
a.       Pembagian penyertaan menurut KUHP Indonesia adalah :
1)      Pembuat/dader (pasal 55) yang terdiri dari :
a)      Pelaku (pleger)
b)      yang menyuruh lakukan (doenpleger)
c)      ang turut serta (medepleger)
d)     Penganjur (uitlokker)
1)      Pembantu / mendeplichtige (pasal 56) yang terdiri dari :
a)      Pembantu pada saat kejahatan dilakukan
b)      Pembantu pada saat kejahatan belum dilakukan.

E.     Percobaan
1.      Berdasarkan Hukum Pidana Inggris
Percobaan dalam hukum pidana Inggris dipandang sebagai suatu misdemeanor (pelanggaran hukum ringan). Untuk dapat dipidananya percobaan diperlukan pembuktian bahwa terdakwa telah berniat melakukan perbuatan melanggar hukum dan ia telah melakukan beberapa tindakan yang membentuk actus reus dari percobaan jahat yang dapat dipidana.
2.      Berdasarkan Hukum Pidana Indonesia
Percobaan melakukan kejahatan diatur dalam Buku ke satu tentang Aturan Umum, Bab 1V pasal 53 dan 54 KUHP. Adapun bunyi dari pasal 53 dan 54 KUHP berdasarkan terjemahan Badan Pembina Hukum Nasional Departemen Kehakiman adalah sebagai berikut:
Pasal 53
a.       Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.
b.      Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam percobaan dikurangi sepertiga.
c.       Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
d.      Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.
Pasal 54
Mencoba melakukan pelanggaran tidak dipidana.
Kedua pasal tersebut tidak memberikan defenisi tentang apa yang dimaksud dengan percobaan melakukan kejahatan (poging), yang selanjutnya dalam tulisan ini disebut dengan percobaan.  Jika mengacu kepada arti kata sehari-hari, percobaan itu diartikan sebagai menuju ke sesuatu hal, akan tetapi tidak sampai kepada hal yang dituju itu, atau dengan kata lain hendak berbuat sesuatu, sudah dimulai tetapi tidak selesai. Misalnya seseorang bermaksud membunuh orang tetapi orangnya tidak mati, seseorang hendak mencuri barang tetapi tidak sampai dapat mengambil barang itu,
Satu-satunya penjelasan yang dapat diperoleh tentang pembentukan Pasal 53 ayat (1) KUHP adalah bersumber dari MvT yang menyatakan:
“Poging tot misdrijf is dan de begonnen maar niet voltooide uitvoering van het misdrijf, of wel de door een begin van uitvoering geopenbaarde wil om een bepaald misdrijf te plegen.”
(Dengan demikian, maka percobaan untuk melakukan kejahatan itu adalah pelaksanaan untuk melakukan suatu kejahatan yang telah dimulai akan tetapi ternyata tidak selesai, ataupun suatu kehendak untuk melakukan suatu kejahatan tertentu yang telah diwujudkan di dalam suatu permulaan pelaksanaan).
Pasal 53 KUHP hanya menentukan bila (kapan) percobaan melakukan kejahatan itu terjadi atau dengan kata lain Pasal 53 KUHP hanya menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar seorang pelaku dapat dihukum karena bersalah telah melakukan suatu percobaan. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
a.       Adanya niat/kehendak dari pelaku;
b.      Adanya permulaan pelaksanaan dari niat/kehendak itu;
c.       Pelaksanaan tidak selesai semata-mata bukan karena kehendak dari pelaku.
Oleh karena itu agar seseorang dapat dihukum melakukan percobaan melakukan kejahatan, ketiga syarat tersebut harus terbukti ada padanya, dengan akta lain suatu percobaan dianggap ada jika memenuhi ketiga syarat tersebut.
Percobaan seperti yang diatur dalam KUHP yang berlaku saat ini menentukan, bahwa yang dapat dipidana adalah seseorang yang melakukan percobaan suatu delik kejahatan, sedangkan percobaan terhadap delik pelanggaran tidak dipidana, hanya saja percobaan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan pidana khusus dapat juga dihukum. Sebagai contoh seseorang yang melakukan percobaan pelanggaran (mencoba melakukan pelanggaran) terhadap hal-hal yang telah diatur dalam UU (drt) No. 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, dapat dipidana.
Menurut Loebby Loqman pembedaan antara kejahatan ekonomi dengan pelanggaran ekonomi ditentukan oleh apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja atau dengan tidak sengaja. Dianggap sebagai kejahatan ekonomi jika perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja, tetapi jika perbuatan tersebut dilakukan karena kelalaian pelaku maka hal ini dianggap sebagai pelanggaran ekonomi (1996:3).
Selain itu ada juga beberapa kejahatan yang percobaannya tidak dapat dihukum, misalnya percobaan menganiaya (Pasal 351 ayat (5)), percobaan menganiaya binatang (Pasal 302 ayat (3), dan percobaan perang tanding (Pasal 184 ayat (5).






                                       DAFTAR PUSTAKA
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, Cet. Ke VII, 2002
Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, Cet. Ke – Ii, Bandung: C.V. Mandar Maju, 2000
Romly Atmasasmita,Perbandingan Hukum Pidana Kontemporer, Jakarta: Fikahati Aneska, 2009
P.A.F. Lamintang, Dasar – dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: P.T. Citra Aditya Nakti, 1997



[1] Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, Cet. Ke – Ii, Bandung: C.V. Mandar Maju, 2000, Hlm. 56.
[2] Romly Atmasasmita,Perbandingan Hukum Pidana Kontemporer, Jakarta: Fikahati Aneska, 2009, hlm. 93.
[3] Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, Cet. Ke VII, 2002, hlm. 155.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar