A. Klasifikasi
Tindak Pidana Berdasarkan Hukum Pidana Inggris
Klasifikasi
tindak pidana menurut hukum pidana Inggris bertitik tolak dan tergantung dari
hirarki pengadilannya. Terhadap perkara – perkara pidana, terdapat 2 (dua)
pengadilan yang memiliki kewenangan mengadili yang berbeda, yaitu:
a. Crown
Court
b. Magistrate
Court
Crown
Court memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memutus perkara pidana
berat. Sedangkan Magistrate Court memiliki kewenangan memeriksa dan
memutus perkara – perkara pidana ringan. Berdasarkan undang – undang hukum
pidana (Criminal Law Act) 1977, section 14, klasifikasi tindak pidana
adalah:
1.
Offences triable only
on indictment
Dalam praktek
peradilan pidana di Inggris, beberapa perkara tindak pidana yang dapat diadili
berdasarkan “on indictment” adalah, “murder” (pembunuhan), “manslaughter”
(penganiayaan berat), “rape” (perkosaan), “robbery” (perampokan), “causing
grievious bodily harm with intent to rob and blackmail” (menyebabkan luka berat
yang diakibatkan oleh niat untuk melakukan perampokan dan pemerasan).
2) Offences
triable only summarily
Semua tindak
pidana yang digolongkan ke dalam “summary offences” harus diatur dalam undang –
undang. Dengan memasukkan suatu tindak pidana ke dalam “summary offences”
berarti mencegah diberlakukannya peradilan juri terhadap tindak pidana
tersebut.Magistrate court-lah yang memiliki kewenangan mengadili perkara –
perkara tersebut. Beberapa tindak pidana berdasarkan undang – undang hukum
pidana 1977 telah ditetapkan sebagai “summary offences” antara lain,
pelanggaran lalu lintas dengan kadar alkohol dalam darah pengemudi melebihi
batas maksimum yang diperkenankan menurut undang – undang, melakukan kekerasan
fisik terhadap petugas polisi, bertingkah laku buruk dan membahayakan di tempat
– tempat umum. Pertimbangan lain diberlakukannya beberapa tindakan pidana
sebagai “summary offences” adalah agar setiap tertuduh dituntut melakukan
kejahatan berat diperlakukan tidak adil karena harus menunggu atau ditahan
terlalu lama.
3) Offences
triable either way
Perbuatan
pelanggaran yang termasuk dalam kategori ini adalah semua perbuatan yang
terdapat dalam daftar tindak pidana berdasarkan “Judicial Act” 1980. Beberapa
tindak pidana tersebut, yaitu:
a) Theft
Act 1968, kecuali perampokan, pemerasan, penganiayaan dengan maksud
merampok dan mencuri
b) Beberapa
pelanggaran yang disebut dalam “the criminal damage act” 1977, termasuk
pemmbakaran (arson)
c) Beberapa
pelanggara yang dimuat dalam “Perjuri Act” 1911.
d) “The
forgery act” 1913
e) “Sexual
offences act” 1956
2. Berdasarkan
Hukum Pidana Indonesia
a. Kejahatan
dan Pelanggaran
Pembagian delik
atas kejahatan dan pelanggaran ini disebut oleh undang-undang. KUHP buku ke II
memuat delik-delik yang disebut : pelanggarancriterium apakah yang
dipergunakan untuk membedakan kedua jenis delik itu ? KUHP tidak memberi
jawaban tentang hal ini. Ia hanya membrisir atau memasukkan dalam kelompok
pertama kejahatan dan dalam kelompok kedua pelanggaran.
Tetapi ilmu
pengetahuan mencari secara intensif ukuran (kriterium) untuk membedakan kedua
jenis delik itu.
Ada dua pendapat
:
1) Ada
yang mengatakan bahwa antara kedua jenis delik itu ada perbedaan yang bersifat
kwalitatif. Dengan ukuran ini lalu didapati 2 jenis delik, ialah :
a) Rechtdelicten
Ialah yang
perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu
diancam pidana dalam suatu undang-undang atau tidak, jadi yang benar-benar
dirasakan oleh masyarakat sebagai bertentangan dengan keadilan misal :
pembunuhan, pencurian. Delik-delik semacam ini disebut “kejahatan” (mala
perse).
b) Wetsdelicten
Ialah perbuatan
yang oleh umum baru disadari sebagai tindak pidana karena undang-undang
menyebutnya sebagai delik, jadi karena ada undang-undang mengancamnya dengan
pidana. Misal : memarkir mobil di sebelah kanan jalan (mala quia prohibita).
Delik-delik semacam ini disebut “pelanggaran”. Perbedaan secara kwalitatif ini
tidak dapat diterima, sebab ada kejahatan yang baru disadari sebagai delik
karena tercantum dalam undang-undang pidana, jadi sebenarnya tidak segera
dirasakan sebagai bertentangan dengan rasa keadilan. Dan sebaliknya ada
“pelanggaran”, yang benar-benar dirasakan bertentangan dengan rasa keadilan. Oleh
karena perbedaan secara demikian itu tidak memuaskan maka dicari ukuran lain.
2) Ada
yang mengatakan bahwa antara kedua jenis delik itu ada perbedaan yang bersifat
kwantitatif. Pendirian ini hanya meletakkan kriterium pada perbedaan yang
dilihat dari segi kriminologi, ialah “pelanggaran” itu lebih ringan dari pada
“kejahatan”.
Kejahatan ringan
:
Dalam KUHP juga
terdapat delik yang digolongkan sebagai kejahatan-kejahatan misalnya pasal 364,
373, 375, 379, 382, 384, 352, 302 (1), 315, 407.
b. Delik
formil dan delik materiil (delik dengan perumusan secara formil dan delik
dengan perumusan secara materiil)
1) Delik
formil itu adalah delik yang perumusannya dititikberatkan kepada perbuatan yang
dilarang. Delik tersebut telah selesai dengan dilakukannya perbuatan seperti
tercantum dalam rumusan delik.
Misalnya :
penghasutan (pasal 160 KUHP), di muka umum menyatakan perasaan kebencian,
permusuhan atau penghinaan kepada salah satu atau lebih golongan rakyat di
Indonesia (pasal 156 KUHP); penyuapan (pasal 209, 210 KUHP); sumpah palsu
(pasal 242 KUHP); pemalsuan surat (pasal 263 KUHP); pencurian (pasal 362 KUHP).
2) Delik
materiil adalah delik yang perumusannya dititikberatkan kepada akibat yang
tidak dikehendaki (dilarang). Delik ini baru selesai apabila akibat
yang tidak dikehendaki itu telah terjadi. Kalau belum maka paling banyak hanya
ada percobaan.
Misalnya :
pembakaran (pasal 187 KUHP), penipuan (pasal 378 KUHP), pembunuhan (pasal 338
KUHP). Batas antara delik formil dan materiil tidak tajam misalnya pasal
362.
c. Delik commisionis,
delik ommisionis dan delik commisionis per ommisionen commissa
1) Delik commisionis :
delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan, ialah berbuat sesuatu yang
dilarang, pencurian, penggelapan, penipuan.
2) Delik ommisionis :
delik yang berupa pelanggaran terhadap perintah, ialah tidak melakukan sesuatu
yang diperintahkan / yang diharuskan, misal : tidak menghadap sebagai saksi di
muka pengadilan (pasal 522 KUHP), tidak menolong orang yang memerlukan
pertolongan (pasal 531 KUHP).
3) Delik commisionis
per ommisionen commissa : delik yang berupa pelanggaan larangan (dus delik
commissionis), akan tetapi dapa dilakukan dengan cara tidak berbuat. Misal :
seorang ibu yang membunuh anaknya dengan tidak memberi air susu (pasal 338, 340
KUHP), seorang penjaga wissel yang menyebabkan kecelakaan kereta api dengan
sengaja tidak memindahkan wissel (pasal 194 KUHP).
d. Delik
dolus dan delik culpa (doleuse en culpose delicten)
1) Delik
dolus : delik yang memuat unsur kesengajaan, misal : pasal-pasal 187, 197, 245,
263, 310, 338 KUHP
2) Delik
culpa : delik yang memuat kealpaan sebagai salah satu unsur misal : pasal 195,
197, 201, 203, 231 ayat 4 dan pasal 359, 360 KUHP.
e. Delik
tunggal dan delik berangkai (enkelvoudige en samenge-stelde delicten)
1) Delik
tunggal : delik yang cukup dilakukan dengan perbuatan satu kali.
2) Delik
berangkai : delik yang baru merupakan delik, apabila dilakukan beberapa kali
perbuatan, misal : pasal 481 (penadahan sebagai kebiasaan)
f. Delik
yang berlangsung terus dan delik selesai (voordurende en aflopende delicten)
Delik yang
berlangsung terus : delik yang mempunyai ciri bahwa keadaan terlarang itu
berlangsung terus, misal : merampas kemerdekaan seseorang (pasal 333 KUHP).
g. Delik
aduan dan delik laporan (klachtdelicten en niet klacht delicten)
Delik aduan :
delik yang penuntutannya hanya dilakukan apabila ada pengaduan dari pihak yang
terkena (gelaedeerde partij) misal : penghinaan (pasal 310 dst. jo 319 KUHP)
perzinahan (pasal 284 KUHP), chantage (pemerasan dengan ancaman pencemaran, ps.
335 ayat 1 sub 2 KUHP jo. ayat 2). Delik aduan dibedakan menurut sifatnya,
sebagai :
1) Delik
aduan yang absolut,
Misalnya : pasal
284, 310, 332. Delik-delik ini menurut sifatnya hanya dapat dituntut
berdasarkan pengaduan.
2) Delik
aduan yang relativ
Misalnya : pasal
367, disebut relatif karena dalam delik-delik ini ada hubungan istimewa antara
si pembuat dan orang yang terkena.
h. Delik
sederhana dan delik yang ada pemberatannya / peringannya (eenvoudige dan
gequalificeerde / geprevisilierde delicten)
Misalnya :
penganiayaan yang menyebabkan luka berat atau matinya orang (pasal 351 ayat 2,
3 KUHP), pencurian pada waktu malam hari. (pasal 363). Ada delik yang ancaman
pidananya diperingan karena dilakukan dalam keadaan tertentu, misal :
pembunuhan kanak-kanak (pasal 341 KUHP).Delik ini disebut “geprivelegeerd
delict”. Delik sederhana; misal : penganiayaan (pasal 351 KUHP), pencurian
(pasal 362 KUHP).
i. Delik
ekonomi (biasanya disebut tindak pidana ekonomi) dan bukan delik ekonomi
Apa yang disebut
tindak pidana ekonomi itu terdapat dalam pasal 1 UU Darurat No. 7 tahun 1955,
UU darurat tentang tindak pidana ekonomi.
B. Unsur
– unsur Suatu Tindak Pidana
1. Berdasarkan
Hukum Pidana Inggris
Dalam sistem
hukum Inggris, setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap undang – undang
pidana harus memenuhi unsur – unsur sebagai berikut[1]:
a. Tertuduh
telah melakukan suatu perbuatan yang telah dituduhkan atau dikenal dengan
istilah Actus – reus;
b. Tertuduh
melakukan pelanggaran terhadap undang – undang dengan disertai niat jahat atau
dikenal dengan istilah Mens – rea.
Menurut hukum
pidana Inggris, Actus – reus mengandung prinsip bahwa:
a. Perbuatan
yang dituduhkan harus secara langsung dilakukan tertuduh. Pada prinsipnya
seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan orang lain, kecuali
ia membujuk orang lain untuk melakukan perlanggaran undang – undang atau
tertuduh memiliki tujuan yang sama dengan pelaku pelanggaran tersebut.
b. Perbuatan
yang dituduhkan harus dilakukan tertuduh dengan sukarela (tanpa ada paksaan
dari pihak lain); atau perbuatan dan akibatnya memang dikehendaki oleh pihak
tertuduh.
c. Ketidaktahuan
akan undang – undang yang berlaku bukan merupakan alasan pemaaf / yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Unsur Mens – rea dalam
hukum pidana Inggris dijabarkan dan diklasifikasikan menjadi:
a. Intention atau purposely.
Dengan pengertian istilah ini berarti bahwa seseorang tertuduh menyadari
perbuatan dan menghendaki akibatnya.
Contoh: A
membunuh B dengan motif balas dendam dan menghendaki kematian B.
b. Resklessness.
Dengan pengertian istilah ini berarti tertuduh sudah dapat memperkirakan atau
menduga sebelum perbuatan dilaksanakan sebelum akibat yang akan terjadi; akan
tetapi tertuduh sesungguhnya tidak menghendaki akibat itu terjadi.
Contoh: A
mengendarai kendaraan bermotor melebihi batas kecepatan yang diperbolehkan di
dalam kota, dan menabrak pejalan kaki yang mengakibatkan pejalan kaki yang
bersangkutan luka – luka parah.
c. Negligence.
Dengan pengertian ini dimaksudkan bahwa tertuduh tidak menduga akibat yang akan
terjadi, akan tetapi dalam keadaan tertentu undang – undang mensyaratkan bahwa
tertuduh harus sudah dapat menduga akibat – akibat yang akan terjadi dari
perbuatan yang dilakukannya.
Contoh: A menyulut
korek api pada waktu ia berada di sebuah pompa bensin, sehingga mengakibatkan
terbakarnya pompa bensin tersebut dan banyak korban luka bakar atau mati
karenannya.
2. Berdasarkan
Hukum Pidana Indonesia
Unsur-unsur
tindak pidana menurut Moeljatno terdiri dari :
a. Kelakuan
dan akibat
b. Hal
ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan, yang dibagi menjadi :
1) Unsur
subyektif atau pribadi
Yaitu mengenai
diri orang yang melakukan perbuatan, misalnya unsur pegawai negeri yang diperlukan
dalam delik jabatan seperti dalam perkara tindak pidana korupsi. Pasal 418
KUHP jo. Pasal 1 ayat (1) sub c UU No. 3 Tahun 1971 atau pasal 11 UU No. 31
Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang pegawai negeri yang menerima
hadiah. Kalau yang menerima hadiah bukan pegawai negeri maka tidak mungkin
diterapka pasal tersebut
2) Unsur
obyektif atau non pribadi
Yaitu mengenai
keadaan di luar si pembuat, misalnya pasal 160 KUHP tentang penghasutan di muka
umum (supaya melakukan perbuatan pidana atau melakukan kekerasan terhadap
penguasa umum). Apabila penghasutan tidak dilakukan di muka umum maka
tidak mungkin diterapkan pasal ini
Unsur keadaan
ini dapat berupa keadaan yang menentukan, memperingan atau memperberat pidana
yang dijatuhkan.
1) Unsur
keadaan yang menentukan misalnya dalam pasal 164, 165, 531 KUHP
Pasal 164
KUHP :
”barang siapa
mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan tersebut pasal 104,
106, 107, 108, 113, 115, 124, 187 dan 187 bis, dan pada saat kejahatan masih
bisa dicegah dengan sengaja tidak memberitahukannya kepada pejabat kehakiman
atau kepolisian atau kepada yang terancam, diancam, apabila kejahatan jadi
dilakukan, dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda
paling banyak tiga ratus rupiah.”
Kewajiban untuk
melapor kepada yang berwenang, apabila mengetahui akan terjadinya suatu
kejahatan. Orang yang tidak melapor baru dapat dikatakan melakukan perbuatan
pidana, jika kejahatan tadi kemudian betul-betul terjadi. Tentang hal kemudian
terjadi kejahatan itu adalah merupakan unsur tambahan.
Pasal 531
KUHP :
”barang siapa
ketika menyaksikan bahwa ada orang yang sedang menghadapi maut, tidak memberi
pertolongan yang dapat diberikan kepadanya tanpa selayaknya menimbulkan bahaya
bagi dirinya atau orang lain, diancam, jika kemudian orang itu meninggal,
dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak tiga
ratus rupiah”.
Keharusan
memberi pertolongan pada orang yang sedang menghadapi bahaya maut
jika tidak memberi pertolongan, orang tadi baru melakukan perbuatan pidana,
kalau orang yang dalam keadaan bahaya tadi kemudian lalu meninggal dunia.
Syarat tambahan tersebut tidak dipandang sebagai unsur delik (perbuatan pidana)
tetapi sebagai syarat penuntutan.
2) Keadaan
tambahan yang memberatkan pidana
Misalnya
penganiayaan biasa pasal 351 ayat (1) KUHP diancam dengan pidana penjara paling
lama 2 tahun 8 bulan. Apabila penganiayaan tersebut menimbulkan luka berat;
ancaman pidana diperberat menjadi 5 tahun (pasal 351 ayat 2 KUHP), dan jika
mengakibatkan mati ancaman pidana menjad 7 tahun (pasal 351 ayat 3 KUHP). Luka
berat dan mati adalah merupakan keadaan tambahan yang memberatkan pidana
3) Unsur
melawan hukum
Dalam perumusan
delik unsur ini tidak selalu dinyatakan sebagai unsur tertulis. Adakalanya
unsur ini tidak dirumuskan secara tertulis rumusan pasal, sebab sifat melawan
hukum atau sifat pantang dilakukan perbuatan sudah jelas dari istilah atau
rumusan kata yang disebut. Misalnya pasal 285 KUHP : “dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh di luar perkawinan”. Tanpa
ditambahkan kata melawan hukum setiap orang mengerti bahwa memaksa dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan adalah pantang dilakukan atau sudah mengandung
sifat melawan hukum. Apabila dicantumkan maka jaksa harus mencantumkan dalam
dakwaannya dan oleh karenanya harus dibuktikan. Apabila tidak dicantumkan maka
apabila perbuatan yang didakwakan dapat dibuktikan maka secara diam-diam unsure
itu dianggap ada.
Unsur melawan
hukum yang dinyatakan sebagai unsur tertulis misalnya pasal 362 KUHP dirumuskan
sebagai pencurian yaitu pengambilan barang orang lain dengan maksud untuk
memilikinya secara melawan hukum.
C. Pertanggungjawaban
Pidana
1. Berdasarkan
Hukum Inggris
Hukum Pidana Inggris
menysaratkan bahwa pada prinsipnya setiap orang yang melakukan kejahatan dapat
dipertangungjawabkan atas perbuatannya, kecuali ada sebab – sebab yang
meniadakan penghapusan pertanggungjawaban yang bersangkutan atau “exemptions
from liability.”
Pertanggungjawaban
pidana di Inggris berdasarkan pada kesalahan, yaitu:
a. Intent
(Kesengajaan)
b. Recklesness
(Kesembronoan)
c. Negligence
(Kealpaan)
Seseorang tidak
dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana jika:[2]
a. Ia
memperoleh tekanan (fisik atau psikologi) sedemikian rupa sehingga mengurangi
pengendalian diri yang bersangkutan atau membatasi kebebasan pribadinya.
Seperti: gila, atau daya paksa;
Termasuk ke
dalam penghapusan pertanggungjawaban pidana di atas:
1) Insanity atau
gila / sakit jiwa
Isi ketentuan
tentang Insanity / gila (M’ naghten Rule) mengandung makna 3 (tiga)
hal sebahai berikut:
a) Setiap
orang dianggap sehat jiwanya, dan beban pembuktian terletak pada pihak tertuduh
b) Kebodohan
semata – mata tidak merupakan suatu pembelaan yang cukup; harus ada apa yang
disebut “some disease of mind”
c) “irresistible
impulse” bukan suatu pembelaan, akan tetapi jika pembelaan tersebut dapat
membuktikan bahwa tertuduh menderitaabnormalitas pikiran yang
mengakibatkan “diminished responsibility” maka hal ini hanyalah merupakan
faktor yang meringankan hukuman.
2) Automatism atau
gerak refleks
Dalam kasus
gerak refleks ini justru perbuatan tertentu tidak dapat dipidana jika dilakukan
secara tidak sengaja. Sebagai contoh, seorang sopir yang dituntut karena
menjalankan kendaraan dalam keadaan mengantuk dan mengakibatkan seorang pejalan
kaki mati; tidak dapat membela diri bahwa ia tertidur karena gerak refleks,
sebab ia seharusnya berhenti memegang kemudi jika ia mengantuk.
3) Drunkenness atau
mabuk
Alasan mabuk
dalam hukum pidana Inggris dibedakan dalam 2 (dua) macam, yaitu:
a) “involuntary
drunkenness”, yatiu seseorang mabuk disebabkan karena perbuatan orang lain.
Jika hal tersebut dapat dibuktikan maka alasan mabuk merupakan suatu “pembelaan
yang mutlak” (a complete defense)
b) “voluntary
drunkenness”. Pada umumnya tidak diakui sebagai pembelaan yang bersifat mutlak;
kecuali mabuknya itu mengakibatkna “gila” sementara waktu sehingga
menghilangkan unsur niat yang disyaratkan oleh suatu tindak pidana
4) Coercion atau
daya paksa
Hukum Inggris
membedakan “coersion” ini ke dalam 3 (tiga) bagian, yaitu:
a) “coercion
by orders of superior” (daya paksa karena perintah atasan)
b) “coercion
by threats” (daya paksa karena suatu ancaman)
c) “martial
coercion” (daya paksa oleh salah satu pihak dalam satu ikatan perkawinan)
5) Necessity atau
keadaan darurat
“necessity” atau
“keadaan darurat” merupakan suatu upaya bela diri yang bersifat mutlak dalam
hal:
a) Kasus
“self – defense” asal beralasan menurut keadaan tertentu
b) Untuk
mencegah kejahatan dengan kekerasan
6) Mistake
or ignorance of fact atau kekeliruan atas fakta
Mistake atau
kekeliruan atas fakta dapat merupakan pembelaan dalam situasi tertentu jika
kekliruan tersebut beralasan. Sedangkan kekeliruan atas hukum bukan merupakan
pembelaan.
Dalam hukum
pidana Inggris diakui adanya orang – orang tertentu yang memiliki “kekebalan“
atau “immunity” terhadap pertanggungjawaban pidana disebabkan karena status
orang tersebut. Mereka adalah:
a) The
sovereign. Dikenal dengan istilah “the queen can do no wrong”; sehingga
dengan sendirinya seorang ratu di Inggris tidak dapat ditunut.
b) Foreign
Sovereign dan “Diplomat” memiliki “kekebalan” yang sama, akan tetapi
“kekebalan” seorang diplomat dapat dicabut oleh Pemerintah Negara asalnya.
c) Corporation atau
perkumpulan, pada umumnya dalam hal – hal tertentu dapat dipertanggungjawabkan
secara pidana.
d) Anak
– anak di bawah usia 10 tahun tidak dapat dipertanggungjawabkan atas
perbuatannya.
7) Acciden atau
kecelakaan
b. Pelaku
termasuk golongan orang – orang yang tunduk pada peraturan khusus, seperti:
diplomat asing atau anak dibawah umur.
Termasuk ke
dalam penghapusan pertanggungjawaban pidana di atas:
1) Pengusaha
atau yang memegang kekuasaan atau raja yang berdaulat
2) Diploma
asing
3) Perkumpulan
atau badan usaha secara terbatas
4) Anak
dibawah usia (10 tahun)
2. Berdasarkan
Hukum Pidana Indonesia
Pertanggungjawaban
pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya seseorang telah melakukan tindakan
pidana. Moeljatno mengatakan, orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan
(dijatuhi pidana) kalau tidak melakukan perbuatan pidana.[3]Dengan
demikian, pertanggungjawaban pidana pertama-tama tergantung pada dilakukannya
tindak pidana.
Apakah orang
yang telah melakukan perbuatan itu kemudian juga dipidana, tergantung pada
soal, apakah dia dalam melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau tidak.
Apabila orang yang melakukan perbuaan pidana itu memang mempunyai kesalahan,
maka tentu dia akan dipidana. Tetapi, manakala dia tidak mempunyai kesalahan
walaupun dia telah melakukan perbuatan yang terlarang dan tercela, dia tentu
tidak dipidana. Asas yang tidak tertulis “tidak dipidana jika tidak ada
kesalahan” merupakan dasar daripada dipidananya si pembuat. 20Jadi perbuatan
yang tercela oleh masyarakat itu dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya,
artinya celaan yang objektif terhadap perbuatan itu kemudian diteruskan kepada
siterdakwa.
Nyatalah bahwa
hal dipidana atau tidaknya si pembuat bukanlah bergantung pada apakah ada
perbuatan pidana atau tidak, melainkan pada apakah siterdakwa tercela atau
tidak karena tidak melakukan tindak pidana. 21 Oleh karena itu dikatakan bahwa
dasar daripada adanya tindak pidana adalah asas legaliteit, yaitu asas yang
menentukan bahwa sesuatu perbuatan adalah terlarang dan diandam dengan pidana
barangsiapa yang melakukannya, sedangkan dasar daripada dipidannya sipembuat
adalah asas”tidak dipidana jika tidak ada kesalahan.
Dapat dikatakan
orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana kalau tidak
melakukan perbuatan pidana. Tetapi meskipun dia melakukan perbuatan pidana,
tidaklah selalu dia dapat dipidana. Orang yang melakukan tindak pidana akan
dipidana, apabila dia mempunyai kesalahan.
Pertanggungjawaban
pidana ditentukan berdasar pada kesalahan pembuat (liability based on fault),
dan bukan hanya dengan dipenuhinya seluruh unsur suatu tindak pidana. Dengan
demikian, kesalahan ditempatkan sebagai faktor penentu pertanggungjawaban
pidana dan tidak hanya dipandang sekedar unsur mental dalam tindak pidana.
Berpangkal tolak
pada asas tiada pidana tanpa kesalahan, Moeljatno mengemukakan suatu pandangan
yang dalam hukum pidana Indonesia dikenal dengan ajaran dualistis, pada
pokoknya ajaran ini memisahkan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana.
Tindak pidana ini hanya menyangkut persoalan “perbuatan” sedangkan masalah
apakah orang yang melakukannya kemudian dipertanggungjawabkan, adalah persoalan
lain.
Prof. Mr.
Roeslan Saleh mengatakan bahwa orang yang mampu bertanggungjawab itu harus
memenuhi tiga syarat, yaitu:
a. Dapat
menginsyafi makna yang senyatanya dari perbuatannya.
b. Dapat
menginsyafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patur dalam pergaulan
masyarakat.
c. Mampu
untuk menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan perbuatan.
D. Penyertaan
1. Berdasarkan
Hukum Inggris
Sebelum
dikeluarkannya “the criminal law act”, penyertaan terdiri dari:
a. A
principal the first degree
b. A
principal the second degree
c. An
accesories before the
Setelah
keluarnya The Criminal Law Act 1967, participation hanya terdiri dari 3 pihak,
yaitu:
a. Actual
offender (orang yang melakukan perbuatan itu sendiri atau melalui innocent
agent);
b. Aiding
dan abetting (orang yang membantu pada saat atau sewaktu kejahatan sedang
berlangsung);
c. Counselling
or procuring (orang yang menganjurkan).
2. Berdasarkan
Hukum Pidana Indonesia
a. Pembagian
penyertaan menurut KUHP Indonesia adalah :
1) Pembuat/dader
(pasal 55) yang terdiri dari :
a) Pelaku
(pleger)
b) yang
menyuruh lakukan (doenpleger)
c) ang
turut serta (medepleger)
d) Penganjur
(uitlokker)
1) Pembantu
/ mendeplichtige (pasal 56) yang terdiri dari :
a) Pembantu
pada saat kejahatan dilakukan
b) Pembantu
pada saat kejahatan belum dilakukan.
E. Percobaan
1. Berdasarkan
Hukum Pidana Inggris
Percobaan
dalam hukum pidana Inggris dipandang sebagai suatu misdemeanor
(pelanggaran hukum ringan). Untuk dapat dipidananya percobaan diperlukan
pembuktian bahwa terdakwa telah berniat melakukan perbuatan melanggar hukum dan
ia telah melakukan beberapa tindakan yang membentuk actus reus dari percobaan
jahat yang dapat dipidana.
2. Berdasarkan
Hukum Pidana Indonesia
Percobaan
melakukan kejahatan diatur dalam Buku ke satu tentang Aturan Umum, Bab 1V pasal
53 dan 54 KUHP. Adapun bunyi dari pasal 53 dan 54 KUHP berdasarkan terjemahan
Badan Pembina Hukum Nasional Departemen Kehakiman adalah sebagai berikut:
Pasal 53
a. Mencoba
melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya
permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata
disebabkan karena kehendaknya sendiri.
b. Maksimum
pidana pokok terhadap kejahatan, dalam percobaan dikurangi sepertiga.
c. Jika
kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup,
dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
d. Pidana
tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.
Pasal 54
Mencoba
melakukan pelanggaran tidak dipidana.
Kedua pasal
tersebut tidak memberikan defenisi tentang apa yang dimaksud dengan percobaan
melakukan kejahatan (poging), yang selanjutnya dalam tulisan ini disebut
dengan percobaan. Jika mengacu kepada arti kata sehari-hari,
percobaan itu diartikan sebagai menuju ke sesuatu hal, akan tetapi tidak sampai
kepada hal yang dituju itu, atau dengan kata lain hendak berbuat sesuatu, sudah
dimulai tetapi tidak selesai. Misalnya seseorang bermaksud membunuh orang
tetapi orangnya tidak mati, seseorang hendak mencuri barang tetapi tidak sampai
dapat mengambil barang itu,
Satu-satunya
penjelasan yang dapat diperoleh tentang pembentukan Pasal 53 ayat (1) KUHP
adalah bersumber dari MvT yang menyatakan:
“Poging tot
misdrijf is dan de begonnen maar niet voltooide uitvoering van het misdrijf, of
wel de door een begin van uitvoering geopenbaarde wil om een bepaald misdrijf
te plegen.”
(Dengan
demikian, maka percobaan untuk melakukan kejahatan itu adalah pelaksanaan untuk
melakukan suatu kejahatan yang telah dimulai akan tetapi ternyata tidak
selesai, ataupun suatu kehendak untuk melakukan suatu kejahatan tertentu yang
telah diwujudkan di dalam suatu permulaan pelaksanaan).
Pasal 53 KUHP
hanya menentukan bila (kapan) percobaan melakukan kejahatan itu terjadi atau
dengan kata lain Pasal 53 KUHP hanya menentukan syarat-syarat yang harus
dipenuhi agar seorang pelaku dapat dihukum karena bersalah telah melakukan
suatu percobaan. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
a. Adanya
niat/kehendak dari pelaku;
b. Adanya
permulaan pelaksanaan dari niat/kehendak itu;
c. Pelaksanaan
tidak selesai semata-mata bukan karena kehendak dari pelaku.
Oleh karena itu
agar seseorang dapat dihukum melakukan percobaan melakukan kejahatan, ketiga
syarat tersebut harus terbukti ada padanya, dengan akta lain suatu percobaan
dianggap ada jika memenuhi ketiga syarat tersebut.
Percobaan
seperti yang diatur dalam KUHP yang berlaku saat ini menentukan, bahwa yang
dapat dipidana adalah seseorang yang melakukan percobaan suatu delik kejahatan,
sedangkan percobaan terhadap delik pelanggaran tidak dipidana, hanya saja
percobaan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan pidana khusus dapat juga
dihukum. Sebagai contoh seseorang yang melakukan percobaan pelanggaran (mencoba
melakukan pelanggaran) terhadap hal-hal yang telah diatur dalam UU (drt) No. 7
Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, dapat dipidana.
Menurut Loebby
Loqman pembedaan antara kejahatan ekonomi dengan pelanggaran ekonomi ditentukan
oleh apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja atau dengan tidak
sengaja. Dianggap sebagai kejahatan ekonomi jika perbuatan tersebut dilakukan
dengan sengaja, tetapi jika perbuatan tersebut dilakukan karena kelalaian
pelaku maka hal ini dianggap sebagai pelanggaran ekonomi (1996:3).
Selain itu ada
juga beberapa kejahatan yang percobaannya tidak dapat dihukum, misalnya
percobaan menganiaya (Pasal 351 ayat (5)), percobaan menganiaya binatang (Pasal
302 ayat (3), dan percobaan perang tanding (Pasal 184 ayat (5).
DAFTAR PUSTAKA
Moeljatno, Asas-asas
Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, Cet. Ke VII, 2002
Romli
Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, Cet. Ke – Ii, Bandung: C.V. Mandar
Maju, 2000
Romly
Atmasasmita,Perbandingan Hukum Pidana Kontemporer, Jakarta: Fikahati Aneska,
2009
P.A.F.
Lamintang, Dasar – dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: P.T. Citra
Aditya Nakti, 1997
[1] Romli
Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, Cet. Ke – Ii, Bandung: C.V. Mandar
Maju, 2000, Hlm. 56.
[2] Romly
Atmasasmita,Perbandingan Hukum Pidana Kontemporer, Jakarta: Fikahati Aneska,
2009, hlm. 93.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar