Kamis, 05 Januari 2012

PENGINTEGRASIAN KEBIJAKAN KRIMINAL TERHADAP KORUPSI DI INDONESIA TAHUN 2008




A. PENDAHULUAN
Tindak pidana korupsi menjadi salah satu penyebab krisis multidimensional di Indonesia. Meskipun pada akhir tahun 2007 ranking korupsi di Indonesia menurun, tetapi sampai pada triwulan pertama tahun 2008, posisi Indonesia tetap termasuk dalam “the big ten”, dalam bidang korupsi. Korupsi merupakan sebuah bentuk kejahatan yang merugikan masyarakat dan negara, baik kerugian materiel maupun kerugian immateriel. Penyebab orang melakukan tindak pidana korupsi terdiri atas faktor internal dan eksternal. Faktor penyebab tersebut bersifat kompleks dan motivasi antara satiu orang dengan orang lainnya belum tentu sama. Karena itu, multiple-factor theory dapat digunakan sebagai alat telaah untuk memahami kriminogen suatu tindak pidana. Rasionalitas pelaku dalam melakukan tindak pidana korupsi juga dapat dipahami dari teori netralisasi, terutama dalam kaitannya dengan kehendak “mau menang sendiri” dan “serakah”. Selain sebagai persoalan masyarakat, korupsi merupakan persoalan moral dan budaya. Bahkan, berdasarkan Konvensi Anti-Ko­rupsi tahun 2003 telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006, secara tegas diatur bahwa korupsi merupakan salah satu kejahatan yang terorganisasi dan bersi­fat lintas batas teritorial (trans-nasio­nal), disamping pencucian uang, perda­gangan manusia, penyelundupan migran dan penyelundupan senjata api.

Ketentuan hukum pidana yang mengatur tindak pidana korupsi di Indonesia tidak sesederhana yang dibanyangkan dan dipahami oleh sebagian orang, yaitu seolah-olah tindak pidana korupsi hanyalah kejahatan yang berkaitan dengan Pegawai Negeri dan beberapa perbuatan menggelapkan uang negara, atau perbuatan-perbuatan yang ujung-ujungnya merugikan negara. Mengenai apa yang dianggap oleh sebagian orang itu, sebenarnya hanya sebagian kecil saja dari ketentuan pidana korupsi. Pengertian tindak pidana korupsi telah jelas diatur dalam 13 pasal dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (LN Tahun 2001 Nomor 134; TLN No. 4150). Berdasarkan 13 pasal tersebut, terdapat 30 rumusan tentang tindak pidana korupsi. Dari 30 rumusan tindak pidana tersebut, dapat dikelompokkan menjadi menjadi 7 kelompok, yaitu Kerugian Keuangan Negara, Suap Menyuap, Pemerasan, Penggelapan dalam Jabatan, Perbuatan Curang, Benturan Kepentingan dalam Pengadaan (conflick of interest), serta Gratifikasi. Romli Atmasasmita mengungkapkan, BPKP melakukan penelitian pada sekitar tahun 1999-an dan menemukan 14 (empat belas) jenis korupsi di Indonesia, yaitu berbentuk pemerasan pajak, pembayaran fiktif, manipulasi perjalanan dinas, pelelangan proforma, manipulasi tanah, manipulasi kredit, penetapan harga kontrak yang terlalu tinggi (mark-up), kelebihan pembayaran, ke-tekor-an kas, penggunaan dana yang tidak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, uang komisi, penggelapan uang negara, pemalsuan dokumen, dan pungutan liar (Pungli).
Istilah korupsi berasal dari kata Bahasa Latin “coruptio” atau “corruptus”, berarti kerusakan atau kebobrokan. Tindakan korupsi selalu dikaitkan dengan ketidakjujuran seseorang di bidang keuangan. Pendapat lain mengemukakan, bahwa kata "korupsi" berasal dari bahasa Inggris, yaitu corrupt, yang berasal dari perpaduan dua kata dalam bahasa latin yaitu com yang berarti bersama-sama dan rumpere yang berarti pecah atau jebol. Istilah "korupsi" juga bisa dinyatakan sebagai suatu perbuatan tidak jujur atau penyelewengan yang dilakukan karena adanya suatu pemberian.
Dalam Webster’s New American Dictionary’, istilah ‘corruption’ diartikan sebagai decay berarti lapuk, contamination berarti kemasukan sesuatu yang merusak, dan impurity berarti tidak murni. Sedangkan istilah ‘corrupt’ diartikan sebagai ”to become rotten or putrid” yang berarti menjadi busuk, lapuk, amat tidak menyenangkan, juga ”to induce decay in something originally clean and sound” diartikan, memasukkan sesuatu yang lapuk atau busuk ke dalam sesuatu yang semula berisi bersih dan bagus. Sedangkan dalam ‘Black’s Law Dictionary’ istilah ‘corrupt’ diartikan “having an unlawful or depraved motive; esp., influenced by bribery; to change (a person’s morals or principles) from good to bad”. Sedangkan istilah ‘corruption’ berarti “depravity, perversion, or taint; an impairment of integrity, virtue, or moral principle; esp., the impairment of a public official’s duties by bribery”. Hal ini berarti “The act of doing something with an intent to give some advantage inconsistent with official duty and the rights of others; a fiduciary’s or official’s use of a station or office to procure some benefit either personally or for someone else, contrary to the rights of others”. Dalam ‘The Contemporary Inglish-Indonesian Dictionary’, istilah ‘corrupt’ diartikan tidak jujur, busuk, menyuap, menyogok, membusukkan, merusakkan, merusakkan moral. Sedangkan istilah ‘corruption’ diartikan sebagai penyuapan, pembusukan, kerusakan moral. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, istilah ‘korup’ diartikan buruk, rusak; suka menerima uang sogok; memakai kekuasaannya untuk kepentingan pribadi. Sedangkan istilah ‘korupsi’ diartikan, penyelenggaraan atau penggelapan uang negara untuk kepentingan pribadi. Dalam terminologi Hukum istilah ‘corrupt’ diartikan sebagai berlaku immoral; memutarbalikkan kebenaran. Istilah ‘corruption’, berarti menyalahgunakan wewenang, untuk menguntungkan dirinya sendiri.
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut di atas dapat diketahui bahwa pengertian korupsi adalah penyelahgunaan wewenang demi kepentingannya sendiri. Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam istilah–istilah tersebut tidak mempunyai efek yuridis sama sekali, sebelum dituangkan dalam peraturan perundang-undangan, karena korupsi merupakan kejahatan dalam arti yuridis.
Tindak pidana korupsi harus diberantas. Karena itu pemerintah bersama-sama masyarakat perlu mengambil langkah-Iangkah pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi secara sistematis dan berkesinarnbungan. Tindak pidana korupsi tidak lagi merupakan masalah lokal, akan tetapi merupakan fenomena transnasional yang mempengaruhi seluruh masyarakat dan perekonomian sehingga penting adanya kerja sama internasional untuk pencegahan dan pemberantasannya termasuk pemulihan atau pengembalian aset-aset hasil tindak pidana korupsi. Kerja sama internasional dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi perlu didukung oleh integritas, akuntabilitas, dan manajemen pemerintahan yang baik. Pada era reformasi ini, Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) sudah melakukan tugas, namun sampai saat ini korupsi di Indonesia tetap merajalela bahkan telah merembes ke hampir semua sektor kehidupan. Karena itu, pers asing selalu menjuluki Indonesia sebagai the sick man of Asia karena korupsi telah menggurita ke berbagai sektor pembangunan.
Lembaga survei yang berbasis di Berlin, Jerman ini menetapkan IPK Indonesia tahun 2007 sebesar 2,3 dan berada di urutan 143 dari 180 negara yang disurvei. Posisi Indonesia berada satu level dengan Rusia, Gambia, dan Togo. Sementara jika dibanding negara lain di Kawasan ASEAN, Indonesia berada dalam posisi paling korup ketiga setelah Myanmar (indeks 1,4) dan Kamboja (2,0). Sedangkan Filipina masih sedikit lebih bersih dengan indeks 2,5, Vietnam (2,6), Timor Leste (2,6), Thailand (3,3), Malaysia (5,1), dan Singapura (9,1). Tahun 2007, Denmark, Finlandia, dan Selandia Baru menempati urutan pertama, kedua, dan ketiga sebagai negara yang nyaris tanpa korupsi dengan indeks 9,4. Dalam konteks Indonesia, inkonsistensi pemerintah dalam pemberantasan korupsi disebut-sebut sebagai faktor utama turunnya IPK Indonesia. Selain itu, menurut Ketua Dewan Pengurus Transparency International Indonesia, Todung Mulya Lubis, juga disebabkan oleh masih banyaknya nama-nama koruptor kelas kakap yang belum tersentuh. Juga ada kesan tebang pilih dalam pemberantasan korupsi. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang diharapkan dapat memimpin langsung gerakan pemberantasan korupsi juga masih jauh panggang dari api.
Data tentang kasus korupsi yang dilakukan oleh anggota DPRD di Indonesia antara lain sebagai berikut.
1. Taufukarhman Ruki mengungkapkan, dari catatan KPK diketahui sekitar 1.000 anggota dewan telah menggerogoti uang rakyat yang bukan haknya. Jumlah itu meliputi 700 wakil rakyat di kabupaten/kota, dan 300 anggota dewan di tingkat provinsi (http://www.indomedia.com/bpost.htm)
2. Kapuspenkum Kejaksaan Agung (Kejakgung), Kemas Yahya Rahman, menyebutkan adanya kasus 23 anggota DPRD Kendari. Kasus-kasus yang menjerat para anggota dewan itu beraneka ragam, antara lain korupsi biaya perjalanan dinas, politik uang, penyalahgunaan dana kredit usaha tani, penerbitan dokumen kayu ilegal, gaji ganda, penyalahgunaan dana operasional dewan, dan penyalahgunaan APBD. Jumlah kasus yang paling mencolok terdapat di Sumatra Barat. Menurut data Kejakgung, di DPRD provinsi kasus korupsi melibatkan 44 orang, DPRD Padang 41 orang, DPRD Solok 41 orang, DPRD Sijunjung 35 orang, dan DPRD Painan satu orang. Berdasarkan catatan Republika, kasus di DPRD Provinsi Sumbar telah sampai pada vonis bagi 43 orang anggotanya, namun berlanjut dengan banding. Dari 30 kejaksaan tinggi di seluruh Indonesia, 19 di antaranya melaporkan kasus korupsi anggota DPRD, yakni NTB, Sumsel, Sulut, Riau, Kalbar, Jambi, Kalteng, Kaltim, Jateng, Jabar, Sumbar, NAD, Sumut, Bengkulu, Kalsel, Lampung, Sulsel, Sultra, dan Jatim. Sedangkan 11 lainnya menyatakan tak memiliki kasus, yakni Papua, Maluku Utara, DIY, Maluku, Bali, NTT, Sulteng, Gorontalo, Banten, DKI Jakarta, dan Bangka Belitung. (Republika, 323 Anggota DPRD Tersangka Korupsi).
3. Berdasarkan data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) dari bulan Januari hingga Desember 2004 mengenai kasus korupsi yang melibatkan anggota DPRD sebanyak 102 kasus dari total 239 kasus korupsi yang muncul di sebagian besar wilayah di Indonesia. Data di atas sekaligus hendak menunjukkan bahwa aktor korupsi yang menempati urutan terbesar adalah anggota DPRD. Data ini paralel dengan hasil survei Transparansi Internasional Indonesia (TII) pada 2004 yang menempatkan partai politik sebagai lembaga yang dianggap paling korup. Dengan demikian, terdapat korelasi yang masuk akal antara kondisi partai politik yang buruk dan perilaku anggota Dewan yang korup. Putusan Pengadilan Tinggi Sumatera Barat telah menguatkan putusan Pengadilan Negeri Padang yang memutus bersalah atas 43 anggota DPRD Provinsi Sumatera Barat. Bahkan Pengadilan Tinggi Sumatera Barat memutuskan bahwa dakwaan primer atas tuduhan korupsi 43 anggota DPRD Provinsi Sumatera Barat terbukti (Koran Tempo, 7 Januari 2004). Pada 2 Agustus 2005 MA yang dipimpin Parman Suparman telah memvonis bersalah 33 anggota DPRD Sumbar periode 1999-2004 karena melanggar PP 110/2000 Kedudukan Keuangan DPRD. Selanjutnya, Putusan MA No 536K/Pid/2005 yang membebaskan 10 anggota DPRD Sumbar itu merupakan bentuk ketidakkonsistenan dan pelanggaran terhadap asas similia silibus( perkara yang sama diputus sama). Sebab,ke 43 anggota DPRD didakwa bersama-sama dan bersekutu melakukan perbuatan pidana (http://www.media-indonesia.com/berita.).
4. Ketua DPRD Kabupaten Kediri periode 1999-2004 yang kini menjadi anggota Fraksi PKB DPRD setempat, Zainal Musthofa ditahan dalam kasus korupsi Anggaran Rumah Tangga Dewan (ARTD) tahun 2001-2004 senilai Rp10,5 miliar (http://www.kapanlagi.com/h/0000216604.html)
5. Tujuh mantan angota dprd kampar riau korupsi 210 juta dana bantuan partai, kasasi mereka ditolak. Masing masing diputus 1 tahun kurungan (PT), di PN 2th penjara (http://www.detiknews.com/index.php)
6. Sebanyak 19 dari 20 anggota DPRD Kabupaten Talaud, Sulawesi Utara ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi. Mereka diduga meminjam uang kepada Pemerintah Kabupaten Talaud Rp 4,5 miliar tanpa prosedur dan tidak tertera dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Talaud. (http://www.liputan6.com/view)
7. Pengadilan Negeri Donggala menjatuhkan menjatuhkan pidana penjara selama 6 tahun dan denda 200 juta kepada anggota DPRD, Awaluddin Husen Arep, karena terbukti melakukan korupsi sebesar 4 miliar (http://www.beritapalu.com/index.php
8. Kasus dugaan korupsi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Banyumas senilai Rp 1 milyar lebih yang melibatkan sejumlah anggota DPRD setempat memasuki babak baru. Delapan orang mantan anggota DPRD periode 1999-2004, Rabu (20/2) ditahan oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Purwokerto. Penahanan tersebut bersamaan dengan penyerahan tersangka beserta barang bukti dari Polres Banyumas ke kejaksaan. (http://www.purbalinggakab.go.id/index.)
9. Sebanyak 11 orang anggota DPRD Sulawesi Tenggara (Sultra) periode 2004 - 2009 diperiksa tim jaksa penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) karena diduga terlibat dalam kasus korupsi senilai Rp 20,6 miliar.
(http://www.tempointeractive.com/hg/nusa/sulawesi)
10. Keterlibatan 967 orang “wakil rakyat” itu, berdasarkan data dihimpun dari Kejaksaan Tinggi di seluruh Indonesia, dengan jumlah kasus mencapai 265 kasus korupsi dan ditangani proses hukumnya oleh 29 Kejati.
11. Kasus korupsi melibatkan kepala daerah mencapai 46 kasus dengan jumlah bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota menjadi tersangka, terdakwa atau telah divonis bersalah sebagai terpidana sebanyak 61 orang. Korupsi melibatkan para kepala daerah itu ditangani kejaksaan Kejati  sebanyak 43 kasus dan Kejaksaan Agung tiga kasus (http://beritasore.com/2007/05/31/967-anggota-dprd-dan-61-kepala-daerah-terlibat-korupsi)
12. Lima anggota DPRD Provinsi Banten periode 2001-2004 terbukti mengorupsi dana tunjangan perumahan anggota Dewan senilai Rp 14 miliar. Atas perbuatannya itu, Pengadilan Negeri Serang menjatuhkan vonis 12 hingga 15 bulan penjara. Kelimanya juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 130 hingga 135 juta. Dalam putusan yang dibacakan Ketua Majelis Hakim PN Serang Suhartanto, empat anggota DPRD yakni Effendi Yusuf Sagala, Malik Komet, Dahmir Tampubolon, dan Rudi Korua divonis 15 bulan penjara. Sedangkan Aap Aptadi divonis 12 bulan penjara. Vonis ini lebih rendah dari tuntutan jaksa yang menuntut masing-masing dua tahun enam bulan. (http://www.liputan6.com/view/2,141285,1,0,1179879521)
13. Dua petinggi di DPRD Kab Nganjuk divonis penjara oleh hakim dalam kasus korupsi senilai Rp6,8 miliar. Lagi-lagi, majelis hakim menjatuhkan vonis lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Kejaksaan Negeri (Kejari) Madiun terus mengembangkan penyelidikan kasus dugaan korupsi dana reses dan jaring asmara APBD, untuk pos DPRD Kabupaten Madiun tahun 2006. Nilainya mencapai Rp630 juta (http://news.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/02/07/1/81567
14. Imron merupakan terpidana setahun penjara kasus dugaan korupsi DPRD Sidoarjo periode 1999–2004 senilai Rp21 miliar. Perkara Imron dinyatakan final setelah majelis hakim di Mahkamah Agung (MA) menolak kasasinya. Sebelumnya, dia divonis setahun penjara oleh Pengadilan Negeri (PN) Sidoarjo. Dalam sidang banding, hakim Pengadilan Tinggi Jatim menguatkan putusan PN Sidoarjo. Imron lantas mengajukan kasasi. Pada 22 Mei lalu, Kejari mengeksekusi Imron.Namun, upaya itu gagal lantaran terpidana itu mendadak jatuh pingsan di ruang kerja Kasi Pidsus Kejari Sidoarjo Suwito. http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/jawa-timur/hari-ini-imron-dieksekusi.html
Berdasarkan data di atas dapat dekatuhui sebagai berikut.
1. Jumlah tindak pidana korupsi di Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun, dan tersebar hampir di seluruh Indonesia.
2. Jumlah pelaku tindak pidana korupsi yang berstatus anggota DPRD menduduki ranking paling banyak.
3. Jumlah kerugian negara akibat tindak pidana sangat besar.
4. Pidana penjara merupakan jenis pidana yang paling banyak dijatuhkan oleh pengadilan.
5. terjadi perbedaan penjatuhan pidana (disparitas pemidanaan) antara pelaku korupsi satu dengan lainnya.
6. Pendekatan penal, yaitu menerapkan hukum pidana melalui sistem peradilan pidana lebih diutamakan pemerintah, dibandingkan dengan pendekatan non-hukum pidana.
Deskripsi kasus dan penanggulagan korupsi di atas menunjukkan kepada kita bahwa pemberantasan korupsi dengan memanfaatkan hukum pidana masih perlu ditingkatkan, termasuk memadukan antara pendekatan kebijakan hukum pidana (penal policy) dengan pendekatan nonhukum pidana (nonpenal policy) dalam suatu kerangka yang terintegrasi. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa pemberanatasan korupsi dengan memanfaatkan hukum pidana tidak akan efisien dan efektif tanpa dipadukan dengan pendekatan lain yang bersifat persuasif dan preventif.
Berdasarkan argumentasi di atas, artikel ini akan mengupas secara ilmiah tentang Prospek Kebijakan Kriminal terhadap Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. Permasalahan dalam artikel ini adalah: mengapa orang melakukan tindak pidana korupsi?, bagaimana langkah-langkah strategis kebijakan Kriminal terhadap tindak pidana korupsi di Indonesia?. Sedangkan tujuan penulisan makalah ini adalah menganalisis tentang penyebab orang melakukan tindak pidana korupsi di Indonesia, dan menemukan langkah-langkah strategis kebijakan kriminal terhadap tindak pidana korupsi di Indonesia. Hasil pembahasan ini diharapkan dapat mencerahkan pemikiran pemerintah, masyarakat, dan penegak hukum tentang perlunya perbaikan kebijakan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana dilakukakan di beberapa negara, termasuk ketentuan sebagaimana diatur dalam United Nations Convention Against Corruption, 2003.
A. PENGERTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Istilah korupsi berasal dari kata Bahasa Latin “coruptio” atau “corruptus”, berarti kerusakan atau kebobrokan. Tindakan korupsi selalu dikaitkan dengan ketidakjujuran seseorang di bidang keuangan. Pendapat lain mengemukakan, bahwa kata "korupsi" berasal dari bahasa Inggris, yaitu corrupt, yang berasal dari perpaduan dua kata dalam bahasa latin yaitu com yang berarti bersama-sama dan rumpere yang berarti pecah atau jebol. Istilah "korupsi" juga bisa dinyatakan sebagai suatu perbuatan tidak jujur atau penyelewengan yang dilakukan karena adanya suatu pemberian.
Dalam Webster’s New American Dictionary’, istilah ‘corruption’ diartikan sebagai decay berarti lapuk, contamination berarti kemasukan sesuatu yang merusak, dan impurity berarti tidak murni. Sedangkan istilah ‘corrupt’ diartikan sebagai ”to become rotten or putrid” yang berarti menjadi busuk, lapuk, amat tidak menyenangkan, juga ”to induce decay in something originally clean and sound” diartikan, memasukkan sesuatu yang lapuk atau busuk ke dalam sesuatu yang semula berisi bersih dan bagus. Sedangkan dalam ‘Black’s Law Dictionary’ istilah ‘corrupt’ diartikan “having an unlawful or depraved motive; esp., influenced by bribery; to change (a person’s morals or principles) from good to bad”. Sedangkan istilah ‘corruption’ berarti “depravity, perversion, or taint; an impairment of integrity, virtue, or moral principle; esp., the impairment of a public official’s duties by bribery”. Hal ini berarti “The act of doing something with an intent to give some advantage inconsistent with official duty and the rights of others; a fiduciary’s or official’s use of a station or office to procure some benefit either personally or for someone else, contrary to the rights of others”. Dalam ‘The Contemporary Inglish-Indonesian Dictionary’, istilah ‘corrupt’ diartikan tidak jujur, busuk, menyuap, menyogok, membusukkan, merusakkan, merusakkan moral. Sedangkan istilah ‘corruption’ diartikan sebagai penyuapan, pembusukan, kerusakan moral. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, istilah ‘korup’ diartikan buruk, rusak; suka menerima uang sogok; memakai kekuasaannya untuk kepentingan pribadi. Sedangkan istilah ‘korupsi’ diartikan, penyelenggaraan atau penggelapan uang negara untuk kepentingan pribadi. Dalam terminologi Hukum istilah ‘corrupt’ diartikan sebagai berlaku immoral; memutarbalikkan kebenaran. Istilah ‘corruption’, berarti menyalahgunakan wewenang, untuk menguntungkan dirinya sendiri.
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut di atas dapat diketahui bahwa pengertian korupsi adalah penyelahgunaan wewenang demi kepentingannya sendiri. Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam istilah–istilah tersebut tidak mempunyai efek yuridis sama sekali, sebelum dituangkan dalam peraturan perundang-undangan, karena korupsi merupakan kejahatan dalam arti yuridis.
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dimaksud dengan korupsi adalah sebagai berikut.
Pasal 2
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Dalam Penjelasan UU No. 20 Tahun 2001 diuraikan bahwa
yang dimaksud keadaan tertentu dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana (dana penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan ksrisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.
Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun clan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Pasal 4
Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.
Berdasarkan ketentuan di atas diketahui bahwa unur-unsur tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah: setiap orang (manusia maupun korporasi), melawan hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi, merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Sedangkan dalam Pasal 3 ditentukan bahwa tindak pidana korupsi mempunyai unsur-unsur: setiap orang, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan wewenang, dapat merugikan keuangan atau perekonimian negara.
Sedangkan dalam Pasal 5 mengatur tentang (1) orang yang memberi atau menjanjikan kepada Pegawai Negeri atau penyelenggara negara agar berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya atau bertentangan dengan kewajiannya; (2) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji.
Erat kaitannya dengan tindak pidana KKN, dalam Pasal 12 B dan C UU No. 31 Tahun 1999 diatur tentang gratifikasi.
Pasal 12 B
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penye­lenggara negara dianggap pemberian suap, apabila ber­hubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan ` paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dalam Penjelasan Pasal 12 B ayat (1) diuraikan bahwa
yang dimaksud dengan "gratifikasi" dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobat­an cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut, baik yang diterima di dalam maupun di luar negeri dan yang dilaku­kan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Pasal 12 C
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifi­kasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidaria Korupsi.
(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.
(3) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.
(4) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undang-Undang tentang Komisi Pem­berantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 12 B ayat (1), menurut Barda Nawawi Arief, diketahui 6 hal berikut.
a. Gratifikasi dirumuskan sebagai unsur delik, yang pengertiannya dirumuskan dalam "penjelasan Pasal 12 B ayat (1)", yaitu suatu "pemberian dalam arti luas" yang meliputi:
1) pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma­cuma, dan fasilitas lainnya;
2) pemberian itu diterima di dalam maupun di luar negeri;
3) pemberian itu dilakukan dengan atau tanpa sarana elektronik.
b. Dilihat dari perumusannya, gratifikasi bukan merupakan jenis maupun kualifikasi delik, yang dijadikan tindak pidana menurut Pasal 12 B ayat (2), bukan gratifikasi-nya, melainkan perbuatan menerima gratifikasi.
c. Pasal 12 B ayat (1) tidak merumuskan tindak pidana gratifikasi, tetapi hanya memuat ketentuan mengenai:
1) batasan pengertian gratifikasi yang dianggap se­bagai "pemberian suap"; dan
2) jenis-jenis gratifikasi yang dianggap sebagai "pem­berian suap".
Tindakan yang dianggap sebagai "pemberian suap", yaitu apabila gratifikasi (pemberian) diberikan kepada "pegawai negeri" atau "penyelenggara negara"; dan berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya.
Berdasarkan ketentuan tentang gratifikasi diketahui bahwa ada 2 (dua) jenis gratifikasi, yaitu:
a. gratifikasi yang bernilai Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih; dan
b. gratifikasi yang bernilai kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
d. Pasal 12 B ayat (2) menentukan ancaman pidana bagi penerima gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), yaitu
1) pidana seumur hidup, atau
2) pidana penjara dalam waktu tertentu, paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, dan
3) pidana denda (minimal Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) clan maksimal Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)).
e. Dengan perumusan Pasal 12 B ayat (2) itu. maka tidak ada perbedaan ancaman pidana bagi penerima gratifi­kasi jenis pertama (besarnya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih) dan penerima gratifikasi jenis ke dua (besarnya di bawah Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)). Jadi, tidak ada perbedaan substantif. Yang ada hanya perbedaan prosesual, yaitu (berdasarkan Pasal 12 B ayat (1)):
1) Untuk gratifikasi pertama, beban pembuktian (bahwa gratifikasi itu bukan suap) pada penerima;
2) Untuk gratifikasi kedua, beban pembuktian (bahwa gratifikasi itu merupakan suap) pada penuntut umum (PU).
f. Logika pembuat undang-undang dalam menentukan Pasal 12 B ayat (2) untuk tidak membedakan ancaman pidana terhadap gratifikasi jenis ke-1 dan ke-2, tidak konsisten dengan logika yang tertuang daiam Pasal 12 A yang membeda­kan ancaman pidana untuk Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 sebagai berikut:
1) Yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah), diancam pidana penjara maksimal 3 (tiga) tahun (tidak ada minimalnya) dan denda maksimal Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) (tidak ada minimalnya); lihat Pasal 12 A ayat (2).
2) Yang nilainya Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) atau lebih, berlaku ketentuan pidana dalam pasal yang bersangkutan (Pasal 5 sampai dengan Pasal 12); lihat Pasal 12 A ayat (1). Berarti untuk Tindak Pidana Korupsi ke-2 ini dapat dikenakan pidana minimal dalam pasal yang bersangkutan.
B. ANALISIS PENYEBAB ORANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA
Masyarakat Transparansi Indonesia, mengemukakan bahwa korupsi di manapun dan kapanpun akan selalu memiliki ciri khas. Ciri tersebut bisa bermacam-macam, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Melibatkan lebih dari satu orang,
2. Korupsi tidak hanya berlaku di kalangan pegawai negeri atau anggota birokrasi negara, korupsi juga terjadi di organisasi usaha swasta,
3. Korupsi dapat mengambil bentuk menerima sogok, uang kopi, salam tempel, uang semir, uang pelancar, baik dalam bentuk uang tunai atau benda atau pun wanita,
4. Umumnya serba rahasia, kecuali sudah membudaya,
5. Melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik yang tidak selalu berupa uang,
6. Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan, biasanya pada badan publik atau masyarakat umum,
7. Setiap perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat,
8. Di bidang swasta, korupsi dapat berbentuk menerima pembayaran uang dan sebagainya, untuk membuka rahasia perusahaan tempat seseorang bekerja, mengambil komisi yang seharusnya hak perusahaan.
Sarlito Wirawan Sarwono, mengemukakan bahwa tidak ada jawaban yang pasti tentang penybeb korupsi, tetapi ada dua hal yang jelas, yakni adanya dorongan dari dalam diri sendiri (keinginan, hasrat, kehendak dan sebagainya), dan rangsangan dari luar (misalnya dorongan teman-teman, adanya kesempatan, kurang kontrol dan sebagainya). Sedangkan Andi Hamzah menginventarisasikan beberapa penyebab korupsi, yakni: a. Kurangnya gaji pegawai negeri dibandingkan dengan kebutuhan yang makin meningkat; b. Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan sumber atau sebab meluasnya korupsi; c. Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan efisien, yang memberikan peluang orang untuk korupsi; d. Modernisasi pengembangbiakan korupsi.
Faktor-faktor penyebabnya bisa dari internal pelaku-pelaku korupsi, tetapi bisa juga bisa berasal dari situasi lingkungan yang kondusif bagi seseorang untuk melakukan korupsi. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam bukunya berjudul "Strategi Pemberantasan Korupsi”. Penyebab tersebut adalah sebagai berikut.
1. Aspek Individu Pelaku
a. Sifat Tamak Manusia
Kemungkinan orang melakukan korupsi bukan karena orangnya miskin atau penghasilan tak cukup. Kemungkinan orang tersebut sudah cukup kaya, tetapi masih punya hasrat besar untuk memperkaya diri. Unsur penyebab korupsi pada pelaku semacam itu datang dari dalam diri sendiri, yaitu sifat tamak dan rakus.
b. Moral yang Kurang Kuat
Seorang yang moralnya tidak kuat cenderung mudah tergoda untuk melakukan korupsi. Godaan itu bisa berasal dari atasan, teman setingkat, bawahanya, atau pihak yang lain yang memberi kesempatan untuk itu.
c. Penghasilan yang Kurang Mencukupi
Penghasilan seorang pegawai dari suatu pekerjaan selayaknya memenuhi kebutuhan hidup yang wajar. Bila hal itu tidak terjadi maka seseorang akan berusaha memenuhinya dengan berbagai cara. Tetapi bila segala upaya dilakukan ternyata sulit didapatkan, keadaan semacam ini yang akan memberi peluang besar untuk melakukan tindak korupsi, baik itu korupsi waktu, tenaga, pikiran dalam arti semua curahan peluang itu untuk keperluan di luar pekerjaan yang seharusnya.
d. Kebutuhan Hidup yang Mendesak
Dalam rentang kehidupan ada kemungkinan seseorang mengalami situasi terdesak dalam hal ekonomi. Keterdesakan itu membuka ruang bagi seseorang untuk mengambil jalan pintas diantaranya dengan melakukan korupsi.
e. Gaya Hidup yang Konsumtif
Kehidupan di kota-kota besar acapkali mendorong gaya hidup seseong konsumtif. Perilaku konsumtif semacam ini bila tidak diimbangi dengan pendapatan yang memadai akan membuka peluang seseorang untuk melakukan berbagai tindakan untuk memenuhi hajatnya. Salah satu kemungkinan tindakan itu adalah dengan korupsi.
f. Malas atau Tidak Mau Bekerja
Sebagian orang ingin mendapatkan hasil dari sebuah pekerjaan tanpa keluar keringat alias malas bekerja. Sifat semacam ini akan potensial melakukan tindakan apapun dengan cara-cara mudah dan cepat, diantaranya melakukan korupsi.
g. Ajaran Agama yang Kurang Diterapkan
Indonesia dikenal sebagai bangsa religius yang tentu akan melarang tindak korupsi dalam bentuk apapun. Kenyataan di lapangan menunjukkan bila korupsi masih berjalan subur di tengah masyarakat. Situasi paradok ini menandakan bahwa ajaran agama kurang diterapkan dalam kehidupan.
2. Aspek Organisasi
a. Kurang adanya sikap keteladanan pimpinan
Posisi pemimpin dalam suatu lembaga formal maupun informal mempunyai pengaruh penting bagi bawahannya. Bila pemimpin tidak bisa memberi keteladanan yang baik di hadapan bawahannya, misalnya berbuat korupsi, maka kemungkinan besar bawahnya akan mengambil kesempatan yang sama dengan atasannya.
b. Tidak adanya kultur organisasi yang benar
Kultur organisasi biasanya punya pengaruh kuat terhadap anggotanya. Apabila kultur organisasi tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan berbagai situasi tidak kondusif mewarnai kehidupan organisasi. Pada posisi demikian perbuatan negatif, seperti korupsi memiliki peluang untuk terjadi.
c. Sistim akuntabilitas yang benar di instansi pemerintah yang kurang memadai
Pada institusi pemerintahan umumnya belum merumuskan dengan jelas visi dan misi yang diembannya dan juga belum merumuskan dengan tujuan dan sasaran yang harus dicapai dalam periode tertentu guna mencapai misi tersebut. Akibatnya, terhadap instansi pemerintah sulit dilakukan penilaian apakah instansi tersebut berhasil mencapai sasaranya atau tidak. Akibat lebih lanjut adalah kurangnya perhatian pada efisiensi penggunaan sumber daya yang dimiliki. Keadaan ini memunculkan situasi organisasi yang kondusif untuk praktik korupsi.
d. Kelemahan sistim pengendalian manajemen
Pengendalian manajemen merupakan salah satu syarat bagi tindak pelanggaran korupsi dalam sebuah organisasi. Semakin longgar/lemah pengendalian manajemen sebuah organisasi akan semakin terbuka perbuatan tindak korupsi anggota atau pegawai di dalamnya.
e. Manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasi
Pada umumnya jajaran manajemen selalu menutupi tindak korupsi yang dilakukan oleh segelintir oknum dalam organisasi. Akibat sifat tertutup ini pelanggaran korupsi justru terus berjalan dengan berbagai bentuk.
3. Aspek Tempat Individu dan Organisasi Berada
a. Nilai-nilai di masyarakat kondusif untuk terjadinya korupsi Korupsi bisa ditimbulkan oleh budaya masyarakat. Misalnya, masyarakat menghargai seseorang karena kekayaan yang dimilikinya. Sikap ini seringkali membuat masyarakat tidak kritis pada kondisi, misalnya dari mana kekayaan itu didapatkan.
b. Masyarakat kurang menyadari sebagai korban utama korupsi Masyarakat masih kurang menyadari bila yang paling dirugikan dalam korupsi itu masyarakat. Anggapan masyarakat umum yang rugi oleh korupsi itu adalah negara. Padahal bila negara rugi, yang rugi adalah masyarakat juga karena proses anggaran pembangunan bisa berkurang karena dikorupsi.
c. Masyarakat kurang menyadari bila dirinya terlibat korupsi Setiap korupsi pasti melibatkan anggota masyarakat. Hal ini kurang disadari oleh masyarakat sendiri. Bahkan seringkali masyarakat sudah terbiasa terlibat pada kegiatan korupsi sehari-hari dengan cara-cara terbuka namun tidak disadari.
d. Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi akan bisa dicegah dan diberantas bila masyarakat ikut aktif Pada umumnya masyarakat berpandangan masalah korupsi itu tanggung jawab pemerintah. Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi itu bisa diberantas hanya bila masyarakat ikut melakukannya.
e. Aspek peraturan perundang-undangan Korupsi mudah timbul karena adanya kelemahan di dalam peraturan perundang-undangan yang dapat mencakup adanya peraturan yang monopolistik yang hanya menguntungkan kroni penguasa, kualitas peraturan yang kurang memadai, peraturan yang kurang disosialisasikan, sangsi yang terlalu ringan, penerapan sangsi yang tidak konsisten dan pandang bulu, serta lemahnya bidang evaluasi dan revisi peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan uraian tentang penyebab tindak pidana korupsi di atas dapat dipahami bahwa tindak pidana korupsi bukan disebabkan oleh satu penyebab yang berdiri sendiri melaikan terdiri atas beberapa faktor penyebab yang kompleks. Hal ini sesuai dengan pendapat Edwin H. Sutherland bahwa penyebab kejahatan seperti adalah faktor yang kompleks (multiple factor). Sutherland mengemukakan dalam “teori” tersebut sebagai berikut, This ‘theory’ should be recognized as an admission of defeat, for its means criminological studiest must always be ‘exploratory’. The criminologist can carry his conclusions beyonds multiple factors and reduce the series of factors to simplicity by the method of logical abstraction.”
Selain teori tersebut, Rational Choice Theory dapat digunakan untuk menganalisis. Menurut Cornish and Clarke.
Through Rational Choice Theory describe crime as an event that occurs when an offender decides to risk breaking the law after considering his or her own need for money, personal values or learning experiences and how well a target is protected, how affluent the neighbourhood is or how efficient the local police are. Before committing a crime, the reasoning criminal weighs the chances of getting caught, the severity of the expected penalty, the value to be gained by committing the act, and his or her immediate need for that value.
Teori pemilihan yang rasional ini mengajarkan, bahwa kejahatan dianggap sebagai suatu peristiwa yang hanya terjadi manakala seorang pelanggar memutuskan untuk mengambil risiko untuk melanggar hukum, tentusaja setelah mempertimbangkan kebutuhannya yaitu untuk memperoleh uang, mempertahankan nilai-nilai pribadi atau setelah mempelajari beberapa pertimbangan yaitu apa saja suatu target yang dilindungi, bagaimana kondisi lingkungan sekitar, dan bagaimana efisiensi dan efektivitas kinerja kepolisian. Sebelum melakukan suatu kejahatan, penjahat menimbang tentang kesempatan-kesempatan yang memungkinkan melakukan kejahatan agar tidak tertangkap, memahami kekejaman-kejaman dari pidana yang diancamkan jika pelaku tertangkap polisi, nilai lebih yang diperoleh seseorang setelah melakukan tingkah laku yang dipilih, dan kebutuhan-kebutuhan apa saja yang dapat dipenuhi jika melakukan tingkah laku tersebut.
Teori pemilihan yang rasional ini juga mengutamakan tentang bagimana seseorang memenuhi kebutuhannya, yaitu kebutuhan yang berkaitan dengan uang, prestise (gengsi), jenis kelamin (percintaan), dan kegembiraan. Semua elemen tersebut berpengaruh pada saat seseorang mempertimbangkan dalam memilih keputusan untuk bertingkah laku. Hal ini diungkapkan dalam pernyataan berikut, "...crime is purposive behaviour designed to meet the offender’s commonplace needs for such things as money, status, sex, excitement, and that meeting these needs involves the making of (sometimes quite rudimentary) decisions and choices, constrained as they are by limits of time and ability and the availability of relevant information." Ajaran teori ini selaras dengan fakta tentang penyebab seseorang melakukan tindak pidana korupsi, yaitu memenuhi kebutuhan hidup, gengsi, dan kemewahan. Para korupstor sebenarnya sadar bahwa perbuatan tersebut melanggar hujum, tetapi sifat “keserakahan atau kerakusan” yang dipenuhi. Mungkin pelaku mengetahui dampak korupsi dan hukum korupsi, namun karena sudah "terbiasa" dan hukuman moral tidak berlaku lagi di sini, maka justru muncul rasa solidaritas di antara pelaku sebagaimana diungkapkan filsuf asal Jerman Bertold Brecht, “makan dulu, soal moral nanti saja (Erst kommt das Essen, denn die Morale).
Alasan “keserakahan” koruptor sebagai penyebab utama tindak pidana korupsi dapat juga ditelaah dari teori netralisasi. David Matza menegaskan, “Theory neutralization stresses youth’s learning of behavior rationalizations that enable them to overcome societal values and norms and engage in illegal bahaviour. Teori netralisasi menekankan tentang pembelajaran kaum muda untuk merasionalisasi perilaku menyimpang yang dilakukan sehingga diharapkan dapat memperdaya bekerjanya nilai-nilai kemasyarakatan dan norma-norma dalam masyarakat. Sykes dan Matza menjabarkan 5 (lima) teknik netralisasi yang dapat dilakukan oleh pelaku kejahatan, yaitu sebagai berikut.
a. Denial of Responsibility, yaitu pelaku menggambarkan dirinya sendiri sebagai orang-orang yang tidak berdaya dalam menghadapi tekanan-tekanan masyarakat (misalnya kurang mendapat kasih sayang dari orang tua, berada pergaulan atau lingkungan yang kurang baik).
b. Denial of Injury, yaitu pelaku berpandangan bahwa perbuatan yang dilakukan tidak menyebabkan kerugian yang besar pada masyarakat.
c. Denial of Victim, yaitu pelaku memahami diri mereka sendiri sebagai “sang penuntut balas”, sedangkan para korban dari perbuatannya dianggap sebagai orang yang bersalah.
d. Condemnation of the Condemners, yaitu pelaku beranggapan bahwa orang yang mengutuk perbuatan yang telah dilakukan sebagai orang-orang munafik, hipokrit, sebagai pelaku kejahatan terselubung, karena dengki, dan sebagainya.
e. Appeal to Higher Loyalities, yaitu pelaku merasa bahwa dirinya terperangkap antara kemauan masyarakat dan ketentuan hukum yang ada di mayarakat dengan kebutuhan kelompok yang lebih kecil, yaitu kelompok tempat mereka berada atau bergabung.
Ditelaah dari pelaku, mayoritas pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia yang sudah diadili adalah kalangan penguasa dan pengusaha yang mempunyai jabatan terhormat yang menyalahgunakan kewenangan. Dalam kriminologi, Sutherland menyebut tipe kejahatan tersebut disebut white-collar crime (kejahatan krah putih) yang merupakan “kebalikan” dari blue-collar crime (kejahatan orang rendahan/pekerja kasar). Edwin H. Sutherland, sebagai ahli kriminologi yang pertama kali memperkenalkan istilah white- collar crime manyatakan bahwa “kejahatan krah putih” adalah kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kedudukan sosial yang tinggi dan mempunyai pekerjaan terhormat. Dalam pengertian tersebut mengandung 2 ciri, yaitu pelaku kejahatan berstatus sebagai orang terhormat, dan mempunyai kedudukan atau jabatan dalam suatu organisasi. Selanjutnya Sutherland menegaskan bahwa a crime commited by a person of respectability and high social and status in the course of his occupation. Kedua tipe tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda sehingga strategi penanggulangannya juga berbeda.
Berkaitan dengan pengertian “kejahatan krah putih”, Muladi berpendapat, bahwa istilah white-collar crime menunjuk pada kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh pengusaha dan para pejabat eksekutif yang merugikan kepentingan umum. Senada dengan pendapat ini, Setiyono mengemukakan, bahwa white-collar crime adalah kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kedudukan sosial tinggi dan memiliki pekerjaan yang terhormat dengan cara menyalahgunakan wewenangnya. Sedangkan Ellen S. Podgor berpendapat sebagai berikut.
White-collar criminal is illegal acts that use deceit, and concealment--rather than the application or threat of physical force or violence--to obtain money, property, or service; to avoid the payment or loss of money; or to secure a business or professional advantage. White collar criminals occupy posi­tions of responsibility and trust in government, industry, the professions and civic organizations. Although it appears that the Department of Jus­tice continues to adhere to this definition of' white collar crime, others now concentrate exclusively on the nature of the offense in defining white collar crime… white collar crime "nonviolent crime for financial gain committed by deception.
“Kejahatan krah putih” merupakan suatu tindakan tidak sah yang menggunakan cara penipuan atau penyembunyian, dan tidak banyak menggunakan ancaman atau kekuatan fisik (kekerasan), dengan tujuan memperoleh uang, hak milik, jasa layanan; menghindari kewajiban pembayaran tertentu; atau mengamankan suatu bisnis. Pelaku “kejahatan krah putih” biasanya menduduki posisi dan tanggung jawab serta kepercayaan pada struktur pemerintahan, industri, organisasi profesi, dan organisasi kemasyarakatan. Kejahatan tersebut bersifat eksklusif, yaitu sebagai kejahatan yang dilakukan dengan tanpa menggunakan kekerasan fisik untuk memperoleh keuntungan atau kekayaan dengan cara penipuan. Hal ini sesuai juga dengan pendapat Sutherland, bahwa “white collar crime is a crime commited by a person of respectability and high social and status in the course of his occupation".
C. ANALISIS KEKUATAN, KELEMAHAN, PELUANG, DAN TANTANGAN PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONENSIA
Analisis terhadap kekuatan, kelemahan, peluang, dan tantangan lazim disebut analisis SWOT. Dalam ilmu menajemen dikenal istilah analisis SWOT, yang merupakan singkatan dari kata Strenghts, Weaknesses, Opportunities, Threats. Analisis ini digunakan untuk mengetahui potensi organisaisi melalui evaluasi diri (self evaluation) untuk menentukan peluang yang dapat diraih, kekuatan yang harus dipertahankan, kelemahan yang harus dihapuskan, dan tantangan yang sedang dan akan dihadapi. Pengertian dari keempat istilah tersebut adalah (a) kekuatan-kekuatan yang dipunyai oleh kesatuan yang akan melaksanakan rencana (strenghts); (b) kelemahan-kelamahan yang dimiliki oleh kekuatan yang akan melaksanakan renacana (weaknesses); (c) peluang-peluang yang dapat dinmanfaatkan (opportunities); dan (d) ancaman atau tantangan yang akan dihadapi (threats). Analisis SWOT di atas merupakan analisis dalam bidang ekonomi dan berkaitan dengan penentuan strategi perusahaan untuk meningkatkan kinerja manejerial. Meskipun dalam analisis SWOT ini penulis tidak membuat gambaran posisi sebagaimana yang diajarkan pada analisis SWOT. Tujuan analisis ini hanya untuk memudahkan pehamaman, bukan semata-mata menentukan strategi penanggulangan sebagaimana diformulasikan dalam ilmu manajemen.
Berdasarkan pendapat Muladi, analisis SWOT atas pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia adalah sebagai berikut.
1. Kekuatan (strength), pemberantasan korupsi di Indonesia selama inin adalah secara struktural dan substantif telah terjadi penyempurnaan, antara lain dalam bentuk keberadaan KPK dan pelbagai pembaharuan perundang-undangan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Di samping itu, adanya suasana kondusif berupa strong political will pemerintahan baru yang didukung kehendak masyarakat untuk memberantas KKN yang luar biasa, dan keberadaan RAN (Rencana Aksi Nasional) pemberantasan korupsi.
2. Kelemahan (weakness) adalah membentuk semangat profesionalisme (expertise, social responsibility and corporateness) SDM yang lemah, belum mantapnya reformasi birokrasi yang menjamin keberadaan nilai-nilai efektivitas, kebersihan dan demokrasi, sangat lemahnya koordinasi antarlembaga penegak hukum (arogansi sektoral), kepemimpinan sektoral yang seringkali mendemonstrasikan kemiskinan moral dan intelektual. Kemudian, mengakibatkan disiplin aparat yang lemah, kerjasama internasional yang lemah (ekstradisi), Mutual Legal Assistance (MLA), transfer of proceeding, joint investigation, pelatihan, sosialisasi hukum tentang tindak pidana korupsi yang kurang, kesadaran yang lemah terhadap asas-asas (principles) tentang good governance dan general principles of good administration di lingkungan sektor publik serta asas-asas good corporate governance di lingkungan sektor privat; lemahnya budaya anti korupsi (contoh money politics yang merebak) dan budaya malu, dan kurangnya kesadaran untuk mengembangkan preventive anti corruption strategy dan hanya memfokuskan diri pada langkah-langkah represif.
3. Peluang (opportunity) pemberantasan korupsi cukup besar berkat kepemimpinan nasional yang memiliki legitimasi sosial yang kuat karena dipilih langsung rakyat yang committed pada pemberantasan korupsi. Selain itu, keberadaan UN Convention Against Corruption 2003 menjanjikan kerjasama internasional yang lebih baik dan menguntungkan negara-negara berkembang; kesediaan pakar-pakar hukum pidana perguruan tinggi dan NGO's yang belum dimanfaatkan secara optimal.
4. Tantangan (threat)antara lain, masih adanya kekuatan-kekuatan yang tidak reformis dan cenderung bermental KKN, merosotnya citra penegak hukum karena belum menunjukkan kinerja pemberantasan korupsi yang memuaskan, kekuasaan kehakiman yang merdeka (independence of judiciary) yang seolah-olah untouchable namun kurang didukung oleh integritas, profesionalisme dan akuntabilitas yang memadai; 'fragmentasi' dan citra negatif terhadap sistem rekrutmen, promosi dan mutasi di lingkungan penegak hukum; kesejahteraan pegawai yang rendah (underpaid), melibatkan partai politik dalam pemerintahan tanpa konsep yang jelas antara tugas-tugas political apponitee dan pejabat karir, lemahnya pembenahan di lingkungan private sector, masih adanya ketentuan perundang-undangan yang menghambat pemberantasan tindak pidana korupsi, kepemimpinan penegak hukum di segala lini yang lemah, dan praktik-praktik selective law enforcement yang masih terjadi.
Strategi pemberantasan tindak pidana korupsi mencakup dimensi yang luas, mengingat korupsi di Indonesia sudah dalam taraf yang sangat memprihatinkan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan, di samping beberapa hal yang sudah dikemukakan di atas adalah:
a. Rekrutmen kepemimpinan di segala lini yang anti KKN.
b. Penguatan dan reformasi kelembagaan baik publik maupun privat terus menerus.
c. Penguatan hukum, praktik hukum dan acaranya.
d. Pembentukan lingkungan luas yang berbudaya anti korupsi, baik sektor publik maupun sektor privat.
e. Pengembangan strategi yang proporsional antara langkah represif dan langkah preventif. Harmonisasi hukum terhadap perkembangan internasional (UN Convention Against Corruption, 2003).
f. Mendorong partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi.
D. LANGKAH-LANGKAH STATEGIS KEBIJAKAN KRIMINAL TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA TAHUN 2008
Istilah kebijakan kriminal diterjemahkan dari istilah criminal policy (bahasa Inggris). Istilah tersebut merupakan persamaan dari istilah politiek criminal (Bahasa Belanda). G. Peter Hoefnagels menjelaskan, bahwa (a) criminal policy is the science of science responses; (b) criminal policy is the science of crime prevention; (c) criminal policy is a designating human behavior as crime; (d) criminal policy is a rational total of the responses to crime. Kebijakan kriminal adalah ilmu pengetahuan yang memberi tanggapan. Kebijakan tersebut merupakan ilmu pengetahuan dalam penanggulangan kejahatan. Kebijakan kriminal juga merupakan penjelmaan dari ilmu pengetahuan dan bersifat terapan.
Berdasarkan pendapat Hoefnagels, kebijakan kriminal terdiri atas kebijakan penal dan kebijakan nonpenal. Kebijakan penal atau lazim disebut kebijakan hukum pidana adalah penanggulangan kejahatan yang dilakukan dengan cara menerapkan hukum pidana di masyarakat, sedangkan pengertian kebijakan nonpenal adalah menangggulangi kejahatan dengan tanpa menggunakan hukum pidana, yaitu dengan cara mempengaruhi pendangan masyarakat tentang kejahatan melalui media massa dan penanggulangan tanpa pemidanaan.
Berdasarkan pendapat Hoefnagels, dapat diketahui bahwa penerapan hukum pidana untuk menangulangi kejahatan meliputi ruang lingkup berikut.
a) Administrasi peradilan pidana dalam arti sempit, yaitu pembuatan hukum pidana dan yurisprudensi, proses peradilan pidana dalam arti luas (meliputi kehakiman, ilmu kejiwaan, ilmu sosial), dan pemidanaan.
b) Psikiatri dan psikologi forensik.
c) Forensik kerja sosial.
d) Kejahatan, pelaksanaan pemidanaan dan kebijakan statistik.
Kebijakan hukum pidana adalah penerapan hukum pidana untuk memberantas kejahatan. Memang, hukum pidana bukan merupakan posisi yang strategis dalam memberantas KKN, dan hanya bersifat ultimum remidium (obat terakhir), tetapi pada dasarnya pada hukum pidana terdapat fungsi premium remidium (obat penangkal). Dalam lingkup kebijakan penanggulangan kejahatan, hukum pidana hanya merupakan salah satu upaya dari beberapa upaya penanggulangan kejahatan. Selanjutnya Bambang Poernomo mengemukakan bahwa penerapan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan, di satu pihak hukum pidana dan pelaksanaannya dibutuhkan sebagai sarana menuju kedamaian karena hukum pidana memang dalam hal-hal tertentu ampuh untuk menanggulangi kejahatan, tetapi di pihak lain hukum pidana dan pelaksanaannya dapat merugikan individu maupun masyarakat luas karena mengandung dimensi absolutisme dengan kecenderungan menimbulkan overcriminalization dan crime infection. Hukum pidana dapat tidak berfaedah apabila eksistensi dan aplikasinya tidak terarah pada prinsip tepat guna dan hasil guna dalam masyarakat. Dalam membahas tindak pidana korupsi di Indonesia, penulis menggunakan konsepsi sistem hukum sebagaimana dikemukakan Friedman, yang menyatakan bahwa sistem hukum terdiri atas substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum.
Jabaran berikut menguraikan langkah-langkah strategis kebijakan hukum pidana terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia. Merujuk pada pendapat Friedman, sistem hukum terdiri atas 3 komponen, yaitu substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum.
a. Substansi Hukum (Legal Substance)
Substansi hukum yang dapat diartikan sebagai sejumlah peraturan, norma dan perilaku orang-orang di dalam sistem hukum. Legal substance berkaitan erat dengan apa yang dihasilkan atau dilakukan oleh mesin atau struktur hukum di atas. Meskipun substansi hukum tentang tindak pidana korupsi, yaitu Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah “memadai” (?). saat ini tidak ada lagi celah hukum bagi koruptor untuk berlindung di balik kerahasiaan bank sebagai tempat menyembunyikan dan mencuci uang karena UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan UU No 15 tahun 2002 juncto UU No 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sudah menutup celah hukum. Penutupan celah hukum baru berjalan efektif jika otoritas perbankan dan pimpinan bank memiliki komitmen yang sama dengan aparatur penegak hukum dan KPK. Apalagi UU No 7 Tahun 1992 juncto UU No 10 tahun 1998 tentang Perbankan memberi peluang pembukaan keterangan keadaan keuangan tersangka (Pasal 42). Peran Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam pemberantasan korupsi juga tidak kalah penting. Karena itu, kerja sama erat lembaga ini dan KPK amat strategis dalam menelusuri jejak peredaran uang hasil korupsi. Secara teknis hukum, hal ini dapat dilaksanakan dengan menyertakan pejabat PPATK sebagai saksi ahli. Konvensi Menentang Korupsi (Convention Against Corruption, 2003) yang sudah diadopsi Pemerintah Indonesia, Desember 2003, memuat ketentuan itu. Dengan bahasa wajib (mandatory language), konvensi itu menuntut agar tiap negara peserta konvensi sudah memasukkan ketentuan yang dapat membuka kerahasiaan bank untuk kepentingan penyidikan tindak pidana korupsi (Pasal 31 Ayat 7 juncto Pasal 40 dan Pasal 55). Perkembangan ini menuntut seluruh pejabat otoritas perbankan dan pimpinan bank untuk memahami dan melaksanakan ketentuan pembukaan kerahasiaan bank sepanjang menyangkut status hukum tersangka dalam perkara tindak pidana korupsi atau tindak pidana lain. Apalagi KPK sudah dibekali ketentuan khusus untuk melaksanakan instrumen internasional itu dalam UU No 30/2002 (Pasal 12 Huruf c dan Huruf d).
Meskipun demikian, masih banyak perangkat hukum yang belum mendukung, misalnya tentang undang-undang perlindungan saksi yang sulit diterapkan. Perlindungan saksi selalu berkaitan keamanan dan kenyamanan fisik, psikologis, identitas, dan relokasi bagi saksi sebagai pelapor, dari orang lain yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, tengah atau telah diberikannya atas suatu perkara pidana.
Dalam rangka meningkatkan penerapan hukum pidana, perlu ditingkatkan penerapan “Asas Pembuktian Terbalik”. Sistem pembuktian terbalik (omkering van de bewijslast) merupakan cara yang jitu untuk menjerat pelaku korupsi. Dalam pembuktian terbalik, orang yang dituduh melakukan tindak pidana itulah yang harus membuktikan di depan pengadilan, bahwa ia tidak bersalah. Berbeda dengan pembuktian biasa, jaksa yang harus membuktikan seseorang bersalah atau tidak dalam pembuktian terjadinya tindak pidana. Pembuktian terbalik sebenarnya bukanlah hal yang baru di negeri ini. Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 1997 mengenai Pengelolaan Lingkungan Hidup maupun UU Nomor 8 Tahun 1999 mengenai Perlindungan Konsumen, secara tegas mengatur penerapan asas pembuktian terbalik itu walaupun berbeda alasan yang mendasarinya dan penerapannya pada persidangan. Dalam Pasal 37 Undang-undang No. 20 Tahun 2001, diatur sebagai berikut.
(1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.
(2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.
Dalam Penjelasan Pasal 37 ayat (1) diatur, bahwa Pasal ini sebagai konsekuensi berimbang atas penerapan pembuktian terbalik terhadap terdakwa. Terdakwa tetap memerlukan perlindungan hukum yang berimbang atas pelanggaran hak-hak yang mendasar yang berkaitan dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) dan menyalahkan diri sendiri (non self-incrimination). Sedangkan dalam Penjelasan Ayat (2) ditegaskan bahwa ketentuan ini tidak menganut sistem pembuktian secara negatif menurut undang-undang (negatief wettelijk).
Ketentuan pembuktian ternbalik hanya berlaku pada tindak pidana baru tentang gratifikasi dan terhadap tuntutan perampasan harta benda terdakwa yang diduga berasal dari salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
a. UU No. 31 Tahun 1999, yaitu Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16
b. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12.
Asas pembuktian terbalik telah diprak­tikkan oleh Pengadilan Tinggi Hong kong dalam kasus ICAC Hong Kong terhadap pe­mohon 'judicial review" terhadap proses pembuktian terbalik yang dilaksanakan oleh pengadilan rendah telah sesuai de­ngan Hong Kong Bribery Ordinance Act. Keputusan Pengadilan Tinggi Hong kong menganggap bahwa proses pembuktian terbalik yang telah dilaksanakan peng­adilan rendah telah memberikan keadilan sama bagi kedua belah pihak yaitu kepada pemohon maupun kepada ICAC Hong Kong dalam menyampaikan pembuktian­nya.
Berlainan dengan model Hong Kong (dalam pembuktian terbalik) yang dapat digunakan dalam kasus korupsi melalui prosedur hukum acara pidana, maka model pembuktian terbalik dalam Kon­vensi Anti Korupsi 2003 (Pasal 31 ayat 8), dan banyak memperoleh pengakuan dari negara-negara maju baik yang mengguna­kan sistem hukum "Common Law" dan "Civil Law", yaitu mendukung penggu­naan prosedur keperdataan dalam mene­rapkan teori pembuktian terbalik dengan keseimbangan kemungkinan tersebut, artinya, sepanjang prosedur pembuktian terbalik tersebut ditujukan untuk meng­gugat hak kepemilikan seseorang atas harta kekayaannya yang berasal dari tindak pidana korupsi. Konvensi Anti-Korupsi 2003 yang telah diratifikasi telah memuat ketentuan me­ngenai pembuktian terbalik (Pasal 31 ayat 8) dalam konteks proses pembekuan (freez­ing), perampasan (seizure), dan penyitaan (confiscation) di bawah judul Kriminalisasi dan Penegakan Hukum (Bab III). Pascara­tifikasi Konvensi Anti Korupsi 2003 sudah tentu berdampak terhadap hukum pem­buktian yang masih dilandaskan kepada Undang-undang Hukum Acara Pidana Nomor 8 tahun 1981 dan ketentuan me­ngenai penyelidikan, penyidikan dan pe­nuntutan serta pemeriksaan pengadilan di dalam UU nomor 31 Tahun 1999 junto UU No. 20 Tahun 2001. Berdasarkan fakta tersebut, Romli Atmasasmita mengemukakan bahwa masih diperlukan perubahan mendasar, antara lain pembentukan hukum acara khusus penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi dalam UU yang baru tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Sebagai perbandingan, Pemberantasan korupsi dan sistem akuntabilitas publik di Thailand sudah menjadi kebijakan publik sejak diberlakukannya UUD 1997 yang dirancang dan didesakan oleh gerakan rakyat sejak awal tahun 1990-an. Korupsi yang menjadi ciri sistem pemerintahan Otoriter selama 60 tahun, tidak lagi ditangani secara konvensional, tapi mulai ditangani oleh lembaga baru dengan pendekatan luar biasa (extra ordinary) yang lebih modern dan komprehensif. Sesuai dengan mandat konstitusi, selain dibentuk NCCC (National Counter Corruption Commission) yang berwenang melakukan penyidikan dan penuntutan kasus korupsi, juga perubahan dalam sistem peradilan satu tahap untuk kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi dan politisi. Bagian lainnya dari sistem antikorupsi dan public accountability yang penting adalah Lembaga Money Laundering (AMLO), Ombudsman, dan Mahkamah Konstitusi, Sistem Peradilan Satu Atap untuk Korupsi Politik, Kebebasan memperoleh Informasi, dan Perlindungan Saksi. Semua langkah tersebut perlu dilakukan secara terpadu (terintegrasi).
Di Thailand terdapat ketentuan sebagaimana di Indonesia, yaitu kewajiban pejabat negara untuk melaporkan kekayaan. Jika pajabat tersebut tidak memenuhi kewajiban, maka akan dicopot dan dilarang menduduki jabatan publik selama lima tahun ke depan. Bahkan Konstitusi Thailand yang baru memberikan legal framework yang memberikan kemudahan pemberantasan korupsi, khususnya bagai pejabat tingggi dan politisi yang sulit dijerat oleh pendekatan hukum konvensional. Selain itu, Pasal 291 UUD 1997 mewajibkan kepada pejabat tinggi atau birokrat senior dan mereka yang menduduki jabatan-jabatan politik untuk menyampaikan laporan kekayaan kepada NCCC. Yaitu meliputi Perdana Menteri, anggota parlemen, Senator, gubernur dan anggota eksekutif pemerintahan lokal. Selain politisi , pejabat negara seperti Ketua MA dan wakilnya, Ketua Pengadilan Administrasi Negara dan wakilnya, Jaksa Agung, Ombudsman dan direktur jenderal dan yang selevelnya, juga terkena ketentuan yang sama. Laporan kekayaan tersebut, tidak saja menyangkut dirinya, juga istri dan anaknya, dan harus dikirimkan 30 hari setelah menduduki jabatannya dan setelah meninggalkan jabatannya, dan setiap tiga tahun bagi pejabat yang masih menduduki jabatannya.
Menghadapi fakta tersebut di atas, maka salah satu strategi untuk mencegah korupsi di kalangan pejabat negara, legislator perlu menerbitkan undang-undang tentang konflik kepentingan. Materi di dalamnya mengatur sejumlah kepentingan yang harus dihindari pejabat, karena dapat menyebabkan korupsi. Berkaitan dengan ide tersebut, Predisen Yudhoyono saat membuka Seminar Konflik Kepentingan di Istana Negara, Jakarta menyatakan, "Saya menyambut baik upaya pencegahan konflik kepentingan dengan mencantumkan hal itu dalam berbagai jenis hukum dan peraturan di Indonesia, antara lain dalam Undang-Undang Anti Korupsi" . Selain melindungi aset negara dan umum dari tindak pidana korupsi, pengaturan konflik kepentingan juga upaya mendapatkan kembali kepercayaan masyarakat. Pengaturan konflik kepentingan tidak hanya semata-mata untuk melindungi aset umum, namun juga merupakan syarat dari suatu negara atau pemerintahan untuk memperoleh kepercayaan dari warga negaranya. Bajkan saat ini Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Taufiqurahman Ruki, menyatakan, pihaknya mendesak pemerintah mengeluarkan UU tentang konflik kepentingan pejabat negara. Undang-undang tersebut berguna untuk melindungi aset negara dari penyalahgunaan wewenang oleh pejabat terkait.
Selain itu, kendala subtantif lainnya adalah ketentuan tentang perlunya izin dari presiden untuk memeriksa pejabat negara yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Yohanes Usfunan, menyatakan bahwa ketentuan tentang izin Presiden untuk memeriksa pejabat negara yang terlibat korupsi selama ini menghambat efektivitas penanganan perkara korupsi dan pencegahannya. Pasal 106 UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta Pasal 36 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sama-sama mengatur izin pemeriksaan pejabat negara. Dari perspektif hukum pemerintahan, hakikat izin sebagai salah satu bentuk pengawasan preventif guna mencegah pelanggaran hukum. Oleh karena itu, izin pemeriksaan pejabat negara yang diduga korup sama dengan melindungi koruptor secara normatif. Izin Presiden atas permintaan penyidik, sesuai Pasal 36 Ayat (1) UU No 32 Tahun 2004, dalam kasus tertentu berpeluang disalahgunakan penyidik "melindungi" koruptor dengan dalih masih menunggu izin Presiden. Padahal mungkin saja permohonan ke Presiden tidak pernah dikirim. Diskriminasi Izin pemeriksaan pejabat negara membuktikan perlakuan diskriminatif dan mengabaikan asas persamaan di depan hukum antara pejabat negara dan pegawai negeri lain yang terlibat korupsi. Persamaan merupakan salah satu HAM sipil yang berkarakter absolut sehingga tidak boleh dilanggar oleh siapa pun sesuai dengan Pasal 28 D UUD 1945 jo. Pasal 4 UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Karena itu, dalam politik legislasi, guna menciptakan hukum responsif sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat, ketentuan tentang izin Presiden dalam hukum positif perlu dicabut. Izin Presiden dapat diganti pemberitahuan tertulis penyidik ke pejabat terkait secara hierarkis sampai Presiden sebagai laporan. Laporan itu guna mengawasi pemeriksaan pejabat negara yang diduga korup. Maka, pengawasan pemerintah perlu ditingkatkan kendati masyarakat masih meragukan obyektivitas pengawasan badan pengawas daerah mengingat pejabatnya diangkat kepala daerah.
b. Struktur Hukum (Legal Structure)
Soko guru utama penegakan hukum (law enforcement) adalah penegak hukum/struktur hukum (legal culture), meskipun peranan subtansi hukum dan budaya hukum tidak dapat di-sepele-kan. Legal structure .. a kind of cross section of the legal system- a kind of still photograph, which freezes the action. Dengan demikian, elemen struktur hukum merupakan semacam mesin. Elemen struktur hukum yang terdiri atas misalnya jenis-jenis peradilan, yurisdiksi peradilan, proses banding, kasasi, peninjauan kembali, pengorganisasian penegak hukum, mekanisme hubungan polisi kejaksaan, pengadilan, petugas pemasyarakatan, dan sebagainya.
Penegakan hukum yang baik akan menyokong masyarakat untuk mencapai kesejahteraannya. Hal ini selaras dengan isi kesepakan dunia internasional yang dituangkan dalam Code of Conduct for Law Enforcement Officials (CCLEO) yang diterima oleh Majelis Umum PBB dalam Resolusi 34/169, 17 Desember 1979. Resolusi ini menekankan bahwa hakikat dari fungsi penegakan hukum dalam pemeliharaan ketertiban umum dan cara melaksanakan fungsi tersebut memiliki dampak langsung terhadap mutu kehidupan manusia.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengakui bahwa upaya memberantas korupsi merupakan suatu tugas yang rumit dan acapkali berbahaya. Meskipun demikian, bukan berarti kelemahan dalam penegakan hukum dapat ditolerasnsi dengan ambang batas yang sangat minim. Polri sangat lemah dalam memberantas korupsi, padahal Polri seharusnya menjadi garda terdepan dibandingkan dengan aparat lain," kata Ketua Presidium Indonesian Police Watch (IPW) Neta S. Pane di Jakarta. Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) masih dinilai sebagai institusi paling korup di Indonesia dibandingkan dengan 14 instansi yang diteliti Gallup International, lembaga riset yang meneliti atas nama Transparency International Indonesia (TII) dan dipublikasikan pada 6 Desember 2007. Polisi mendapatkan skor 4,2; sedangkan peringkat berikutnya adalah pengadilan dengan skor 4,1, parlemen dengan skor 4,1, dan disusul partai politik dengan skor 4,0. Sejak tahun 2006 hingga 2007 menurut survei tersebut, institusi kepolisian dan pengadilan menempati urutan teratas sebagai lembaga terkorup di Indonesia. Memang sangat ironis, namun itulah kenyataan dilapangan. Kedua lembaga tersebut merupakan ujung tombak penegakan hukum di Indonesia yang seharusnya menjadi teladan, ternyata menjadi sarang korupsi. Oleh karena itu, diharapkan tahun 2008 nanti kepolisian dan pengadilan harus mengembalikan citranya sebagai lembaga terdepan dalam penegakan hukum. Kapolri menyepakati untuk memublikasikan kepada masyarakat oknum polisi yang berperilaku negatif dan merugikan rakyat. Menurut Kapolri, dalam reformasi Polri, yang paling sulit adalah perubahan kultural. Hal itu menyusul maraknya keluhan sehubungan dengan perilaku negatif polisi yang mengganggu dan merugikan publik di berbagai daerah. Karena itu, Komisi Kepolisian Nasional perlu ditingkatkan peran dan fungsinya.
Penyebab lemahnya pemberantasan korupsi di Indonesia, terutama di daerah, selain masih kurang penyidik yang berwawasan hukum luas, penyidik yang berani berbenturan dengan kekuasaan juga masih kurang. Penyidik hanya berani pada pelaku yang sudah lemah kekuasaannya, mantan pejabat, atau pengusaha yang di belakangnya tidak ada back up kekuasaan yang kuat. Menurut Sahetapy, kejaksaan merupakan salah satu institusi penegak hukum yang paling ramai disuarakan untuk melakukan perubahan. Akan tetapi, dari hasil penelitian yang diselenggarakan Komisi Hukum Nasional (KHN), tampak masih ada kendala yang dihadapi oleh Kejaksaan dalam memenuhi tuntutan masyarakat itu. Kendala-kendala yang terjadi meliputi; faktor (sub) budaya dalam struktur organisasi, juga masalah aturan-aturan lama Kejaksaan yang hingga saat ini masih berlaku. Untuk itu, program-program pembaruan kejaksaan yang dilaksanakan KHN adalah dalam rangka membantu institusi penegak hukum itu untuk melaksanakan perintah Undang-undang Kejaksaan yang baru, khususnya untuk lebih meningkatkan profesionalisme para jaksa serta mewujudkan Kejaksaan sebagai professional legal organization yang modern. Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengakui bahwa lembaga yang dipimpinnya banyak mengalami kelemahan dan kekurangan, sehingga sorotan tajam dan tudingan miring yang ditujukan kepada Kejaksaan menjadi suatu yang wajar dan tidak perlu membuatnya berkecil hati. Hal ini menjadi kendala tersendiri, karena dalam tindak pidana korupsi, jaksa merupakan “gate keeper” dalam sistem peradilan pidana.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Kemas Yahya Rahman, mengungkapkan dari 358 kejaksaan negeri yang ada di Indonesia, 37 diantaranya memiliki “kinerja nol” dalam kasus pidana khusus atau pemberantasan korupsi. Beberapa kejaksaan adalah Kejaksaan Negeri Sigli (Nangroe Aceh Darussalam), Wonosari (Yogyakarta), Tebing Tinggi (Sumatera Selatan), Teluk Kuantan (Riau), dan Kejaksaan Negeri Menado, Sulawesi Utara. Rendahnya kinerja kejaksaan ini, karena lemahnya kepemimpinan para kepala kejaksaan negeri dan kurangnya sumber daya manusia. Sehingga kemampuan manajerialnya perlu diperbaiki. Anggota Komisi kejaksaan perlu segera melakukan langkah strategis untu meningkatkan kinerja kejaksaan.
Secara normatif, kejaksaan telah meresposisi jati dirinya dengan terbitnya UU No 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI yang menyebutkan dengan tegas, bahwa dalam melaksanakan kekuasaan negara dalam bidang penuntutan dan tugas lainnya dalam UU, maka seorang jaksa harus bersifat merdeka dan lepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Untuk melaksanakan ketentuan UU No 16 tersebut, telah ditetapkan Peraturan Presiden No 18 Tahun 2005 tentang Komisi Kejaksaan RI untuk mengawasi tingkah laku para jaksa serta memikirkan kesejahteraan dan pembangunan kejaksaan pada umumnya. Kejaksaan perlu meningkatkan kerjasamanya dengan Kepolisian termasuk dengan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan institusi negara terkait dengan penegakan hukum guna mengembalikan keuangan negara akibat tindak pidana korupsi.
Sampai dengan tahun 2007 total laporan masyarakat menginjak angka 16.521. Namun tidak semua laporan dapat ditindak-lanjuti oleh KPK dengan alasan sebagian laporan tidak berindikasi korupsi atau tidak disertai dengan bukti yang cukup. KPK hanya menindak-lanjuti laporan berindikasi korupsi sebanyak 241 perkara atau 1,46% dari total laporan
Sukses penanganan perkara KPK juga ditentukan oleh fokus kasus (korupsi), sumber daya penyidik, dan pembatasan jumlah kasus. Soal jumlah kasus yang dibatasi bisa dilihat dari laporan yang diterima per 30 September 2007 sebanyak 21.687 kasus. Hasil telaah kasus diteruskan ke lembaga berwenang (3.475 kasus), internal KPK (447 kasus), sedangkan selebihnya tidak ditindaklanjuti dan dikembalikan ke pelapor. Dari semua laporan yang terindikasi korupsi ada 3.437 kasus yang diteruskan ke kepolisian, kejaksaan, BPKP, BPK, MA, Bawasda. Oleh karena itu, jika dibandingkan dengan jumlah laporan publik, kasus korupsi yang ditangani sendiri oleh KPK, sangat terbatas. Sisi positif dari KPK terletak pada aspek transparansi. Setiap perkara yang diputus oleh pengadilan, kontrol terhadap setiap denda dan ganti rugi cukup tertib. Begitu pula yang disetorkan ke kas negara. Dari 59 kasus yang ditangani sampai pengadilan, KPK telah memublikasikan jumlah uang negara yang diselamatkan mencapai Rp 11,4 miliar pada tahun 2005, Rp 30,3 miliar pada tahun 2006, Rp 117,4 miliar pada tahun 2007. Sedangkan uang yang sudah disetor ke kas negara sebesar Rp 6,9 miliar pada tahun 2005, Rp 12,9 miliar tahun 2006, dan Rp 15,3 miliar hingga Agustus 2007. Dengan demikian, uang pengganti yang belum ditagih sebesar Rp 103,8 miliar, sebagaimana dikatakan Wakil Ketua Bidang Penindakan KPK Tumpak Hatorangan Panggabean.
Berkaitan dengan upaya peningkatkan peranan Polisi, Jaksa dan Hakim maka perlu forusm diskusi dengan praktisi dan akademisi. Untuk melihat unsur korupsi dari sebuah peristiwa hukum harus dianalisa secara komprehensif. Peranan Polisi dan Jaksa dalam tahapan ini sangat berat. Kadang kala, Jaksa dan Polisi dalam menganalisa peristiwa hukum tersebut, dalam rangka case building, tidak komprehensif. Pendekatan yang dilakukan seringkali hanya menggunakan hukum pidana terutama Undang-undang Pemberantasan Korupsi. Sementara undang-undang lain seperti UU Perbankan, UU Perseroan Terbatas, UU Persaingan Usaha, UU Pasar Modal, UU Keuangan Negara dan Hukum Tata Usaha Negara kurang dilirik. Padahal, tindak pidana korupsi yang modus operandinya saat ini semakin canggih saja kadang terbukti menabrak undang-undang itu. Karena itu, jangan segan-segan mengajak diskusi pihak lain yang lebih pakar atau praktisi hukum dalam membahas undang-undang tersebut.
c. Budaya Hukum (Legal Culture)
Elemen budaya hukum (legal culture) yang harus diartikan sebagai people’s attitudes toward law and the legal system – their beliefs, values, ideas, and expectations. Dengan kata lain, hal ini merupakan bagian dari general culture yang berkaitan dengan sistem hukum, antara lain tentang pernyataan bahwa masyarakat kalangan bawah tidak percaya kepada pengadilan; masyarakat lebih memilih menyelesaikan perkara di luar pengadilan dari pada di pengadilan; cybercrime di lingkungan perbankan banyak yang tidak dilaporkan untuk menjaga kredibilitas perusahaan. Dengan demikian, legal culture merupakan whatever or whoever decides to turn the machine (the legal structure) on and off, and determines how it will be used.
Korupsi yang terjadi di tingkat masyarakat seoalah telah menjadi budaya alami, sehingg sangat susah untuk diberantas, namun hanya bisa dikurangi. H. Abdul Djamil (Rektor IAIN Walisongo Semarang) mengemukakan, bahwa peran agama untuk pemberantasan korupsi sebenarnya bagus yakni mengajarkan, berlomba-lomba meraih kebajikan dan menjahui segala kemungkaran atau kejahatan.Sayangnya hidup manusia yang beragama, tidak pernah konsisten. Manusia beragama masih bergantung pada situasi dan kondisi. Jika di lingkungan tempat ibadah, patuh pada hukum agama, namun sebaliknya jika kondisi memungkinkan, jauh pada aturan agama. Karena itu, korupsi yang juga terjadi di tingkat masyarakat bawah sangat mungkin terinspirasi dari korupsi di tingkat atas. Sistem pemerintahan yang ada belum mampu menciptakan masyarakat bersih karena dalam diri pribadi tersimpan watak korup. Merajalelanya korupsi terekam dalam survei yang dilakukan Transparency International Indonesia awal tahun 2007, yang mewawancarai para pelaku usaha di Indonesia dan terungkap bahwa inisiatif permintaan suap kerap kali datang dari para pelayan publik. Tiga besar lembaga yang paling sering meminta “uang pelicin” adalah pengadilan, bea-cukai, dan imigrasi.
Di Thailand partisipasi masyarakat dalam mekanisme akuntabilitas publik mendapat jaminan yang jelas di dalam konstitusi, dan dalam prakteknya didorong juga oleh program perlindungan saksi, yang dalam hal-hal tertentu digunakan oleh NCCC untuk menjaring kasus-kasus korupsi untuk diinvestigasi. Meskipun di Indonesia ada ketentuan yang mengatur tentang peranserta masyarakat, misalnya Pasal 41 Bab V UU No. 31 Tahun 1999 yang dijabarkan dalam PP No. 71 Tahun 2001, Berapa banyak anggota masyarakat Indonesia yang berperan dan memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan. Dari tinjauan hukum pidana, banyaknya demonstrasi dan berita di media massa tidak selalu menunjukkan adanya tindak pidana korupsi, kolusi dan nepotisme.
Pemerintah saat ini telah menciptakan, suatu situasi yang dapat memaksa para pelaku tindak pidana korupsi berpikir ulang sebelum mengulangi tindakannya. Presiden Yudhoyono juga menjelaskan kepedulian untuk membasmi korupsi telah meningkat di antara masyarakat. Hal itu terbukti lebih dari 20 ribu aduan atau dugaan korupsi yang dilaporkan masyarakat kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengeluhkan kualitas laporan dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor) yang masuk ke lembaga itu yang sebagian besar tidak memenuhi syarat sehingga sulit ditindaklanjuti. Dari sekitar 21 ribu laporan yang masuk ke KPK hingga kini, yang dapat ditindaklanjuti dua persen lebih. Dalam hubungannya dengan pemberantasan korupsi diperlukan juga syarat tingginya kesadaran hukum masyarakat, yang kesadaran hukum itu juga sekaligus merupakan tujuan dari penegakan hukum pidana korupsi. Terbentuknya kesadaran hukum masyarakat yang menunjang keberhasilan dari upaya penegakan hukum pidana korupsi, sedikit banyak dipengaruhi oleh adanya pemahaman hukum oleh masyarakat tentang hukum itu sendiri.
Jabaran berikut menguraikan langkah-langkah strategis kebijakan non-hukum pidana terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia. Berdasarkan teori yang dikemukakan Hoefnagels di atas, diketahui bahwa kebijakan nonpenal dilakukan dengan cara mempengaruhi pandangan masyarakat tentang kejahatan dan pemidanaan melalui media massa (influencing views of society on crime and punishment/mass media), dan pencegahan tanpa menggunakan pidana (prevention without punishment). Kebijakan ini mempunyai ruang lingkup yang sangat luas. Beberapa bentuk kebijakan nonpenal adalah (1) kebijakan sosial, (2) perencanaan dan pengembangan kesehatan mental masyarakat, (3) perbaikan kesehatan mental secara nasional, dapat meliputi upaya menciptakan kesejahteraan sosial dan kesejahteraan anak-anak, dan (4) penerapan hukum administrasi dan hukum perdata. Tujuan utama dari usaha-usaha dalam ruang lingkup kebijakan nonpenal adalah memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, yang secara langsung atau tidak langsung mempunyai pengaruh terhadap pencegahan kejahatan. Hal ini selaras dengan hasil Kongres PBB ke-6 tahun 1980 yang merekomendasikan bahwa “crime prevention strategies should be based upon the elimination of causes and conditions giving rises to crime. Strategi pencegahan kejahatan hendaknya didasarkan pada upaya menghilangkan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan.
Saat ini pemberantasan korupsi sudah tidak bisa lagi hanya mengandalkan pendekatan hukum. Karena itu, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) se-Indonesia mulai memberikan pendidikan antikorupsi bagi mahasiswa. Menteri Agama, M. Maftuh Basyuni menyambut positif program pendidikan antikorupsi yang digagas UIN Syarif Hidayatullah. Ia berharap UIN bisa segera melakukan duplikasi untuk diterapkan di perguruan tinggi lain. Pendidikan antikorupsi dapat dikembangkan di perguruan tinggi lain dengan analisis berbeda.
Gerakan moral pemberantasan korupsi di Indonesia juga dilakukan Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU) dengan Muhamadiyah. Hasyim Muzadi mengemukakan, bahwa gerakan pemberantasan korupsi di Indonesia memang sudah ada. Namun, ia melihat masih banyak kelemahan karena belum mampu mengatasi masalah korupsi yang telah menjadi penyakit bangsa. Moralitas menjadi bidikan utama langkah preventif pemberantasan korupsi karena moralitas akan menentukan tingkah laku. Secara kriminologis, penyebab utama korupsi adalah moralitas yang bobrok yang mengakibatkan keserakahan. Karena itu, wajar jika moralitas perlu diperbaiki dengan berbagai cara, misalnya melalui pendidikan dan penyehatan mental masyarakat. Kesehatan mental (mental health higine) masyarakat juga terus ditingkatkan melalui pendidikan formal, informal dan nonformal, termasuk melalui pendidikan budipekerti, wawasan kebangsanaan, dan pendidikan agama. Anak-anak juga perlu ditingkatkan kesadaran moralnya, termasuk meningkatkan kesejahteraannya.
Penanggulangan korupsi tidak dapat dilakukan secara cepat dan terburu-buru. Karena itu, diperlukan penyediaan generasi baru (anak-anak), di antaranya dengan cara mengimplementasikan muatan materi antikorupsi dalam kurikulum pendidikan formal. Dalam materi tersebut harus diuraikan tentang pentingnya pemberantasan korupsi karena tindakan tersebut merugikan masyarakat secara umum dan melanggar hukum. Kurikulum mulai dimasukkan dalam pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Namun demikian, untuk mencapai proses menjadi kurikulum tetap, langkah awal bisa dimasukkan dalam kegiatan ko-kurikuler atau ekstrakurikuler.
Pemanfaatan hukum perdata dan hukum administrasi negara untuk melakukan upaya preventif tindak pidana korupsi merupakan langkah yang sangat tepat. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa terjadinya korupsi juga karena buruknya tata administrasi dan lemahnya pengontrolan kegiatan adminsitrasi di kalangan birokrat. Melalui penerapan hukum administrasi yang konsisiten, kolusi (sebagai salah satu langkah awal menuju korupsi) dapat diminimalisasi.
Secara kriminologis, sampai saat ini belum ada indikasi bahwa tindak pidana korupsi di Indonesia merupakan kejahatan terorganisasi (organized crime) dan merupakan kejahatan lintas negara (trans-national crime). Meskipun demikian, banyak pelaku kejahatan yang akhirnya melarikan diri ke negara asing. Karena itu, Indonesia perlu melakukan kerja sama internasional untuk menenggulangi kejahatan tersebut. Kerjasama internasional sebagai salah satu amanat dari konvensi anti-korupsi juga perlu dilakukan oleh Indoensia. Pemerintah Amerika Serikat, melalui The Millenium Challence Corporation yang dibentuk Presiden George Bush tahun 2002, telah menyetujui proposal Pemerintah Indonesia dalam upaya pemberantasan korupsi secara berkelanjutan dengan memberikan hibah atau grant senilai 35 juta dollar AS atau setara dengan Rp 322 miliar-dengan kurs Rp 9.200 per dollar AS. Persetujuan Pemerintah AS dilakukan pada 25 Oktober 2006. Upaya pemberantasan korupsi harus dilakukan secara terintegrasi dan berkelanjutan. Selain untuk reformasi peradilan dan Mahkamah Agung (MA) senilai 14,4 juta dollar AS, pemberdayaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) senilai 12,3 juta dollar AS atau sekitar Rp 113 miliar, juga untuk penguatan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) senilai 1,7 juta dollar AS, dan penerapan pengadaan barang dan jasa pemerintah senilai 6,5 juta dollar AS.
Saat ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah mewakili Indonesia menjadi anggota Asosiasi Internasional Otoritas Pemberantasan Korupsi (International Association of Anti Corruption Authorities (IAACA)). Keputusan itu dilakukan dalam pertemuan tahunan perdana IAACA yang digelar di Beijing, China, 22 sampai dengan 26 Oktober 2006. IAACA merupakan asosiasi lembaga-lembaga pemberantas korupsi di dunia. Lebih dari 120 negara yang mempunyai lembaga/institusi pemberantas korupsi terdaftar sebagai anggota IAACA. Pembentukan wadah ini salah satu tujuannya adalah agar negara-negara anggota bisa saling membantu untuk mengimplementasikan pelaksanaan Konvensi PBB Melawan Korupsi (UNCAC). Indonesia sendiri telah menjadi anggota IAACA sejak Oktober 2006.
Agenda internasional yang akan dilakukan Indonesia dalam tahun ini. Di antaranya adalah Conflict of Interest International Seminar pada 8-9 Agustus, Asset Recovery International Seminar dan ADB-OECD SG Meeting pada 3-7 September, Procurement & Bribery International Seminar pada 4-6 November, dan puncaknya adalah Konferensi II IAACA pada 20-23 November di Bali. Pakistan melalui National Accountability Bureau akan bekerjasama dengan KPK Indonesia.
Dalam mensinergikan kebijakan nonpenal dan kebijakan penal, perlu adanya pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach). Permasalahan utama dalam mengintegrasikan dan mengharmonisasikan kebijakan nonpenal dengan penal adalah ke arah penekanan dan pengurangan faktor-faktor potensial yang menumbuhsuburkan kejahatan. Melalui pendekatan integral tersebut diharapkan pelaksanaan rencana perlindungan masyarakat (social defence planning) berhasil. Keberhasilan tersebut, dapat menopang keberhasilan pencapaian tujuan kebijakan sosial yang tertuang dalam rencana pembangunan nasional.
E. PENUTUP
Berdasarkan pembahasan dalam subbab di atas dapat dipahami bahwa meskipun tidak secepat yang diharapkan banyak pihak, pemberantasan korupsi di Indonesia melalui penerapan hukum pidana pada era reformasi sudah menunjukkan hasil yang positif. Sayang, pemberantasan korupsi di Indonesia masih mengedepankan tindakan represif belum banyak memanfaatkan kebijakan sosial (social policy) sebagai langkah preventif. Langkah pencegahan perlu dilakukan karena secara kriminologis, tindak pidana korupsi mempunyai karakteristik yang cukup kompleks, dapat dilakukan oleh siapa saja dan kapan saja. Pemerintah Indonesia dan seluruh komponen bangsa perlu terus mengembangkan kebijakan kriminal secara padu. Langkah-langkah strategis pemberantasan korupsi di Indonesia meliputi peningkatan eksistensi substansi hukum, peningkatan struktur hukum, dan perbaikan kultur hukum. Mentalitas penegak hukum dan masyarakat menjadi kunci utama pemberantasan korupsi pada masa akan datang.
*) Dr. Drs. Widodo, S.H., M.H. adalah Dosen Tetap Dipekerjakan (DPK) Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana Malang.
DAFTAR PUSTAKA
Atmasasmita, Romli, 2001, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum. CV. Mandar Maju, Bandung.
Chazawi, Adami, 2003. Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Bayu Media, Malang.
Clarke, Ronald R. (ed.), 1997, Situational Crime Prevention: Successful Case Studies. Second Edition. New York: Harrow and Heston.
Lawrence M. Friedman, Legal System, 1979.
Ganner, Bryan A., 1999, Black’s Law Dictionary, Seventh Edition, West Group, St. Paul, Minn.
Hamzah, Andi, 1986. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Erlangga, Jakarta.
Handoko, I.P.M. Ranu, 1996, Terminologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
Hoefnagels, G. Peter, 1969, The others Side of Criminology, Kluwer-Deventer, Holand
Podgor, Ellen S., 1994, White Collar Crime In A Notshell. West Publishing Co., St. Paul Minn.
Prodjohamidjojo, Martiman, 2001, Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi UU No. 31 Tahun 1999). Bandung: CV Mandar Maju.
Salim, Peter, 1989, The Contemporary Inglish-Indonesian Dictionary, Modern English Press, Jakarta.
Setiyono, 2002, Kejahatan Korporasi: Analisis Viktimologis dan Pertanggung-jawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia.
Sutherland, Edwin H. dan Donald R.Cressey, 1960, Principles of Crimonology, J.B. Lippincott Company, Chicago, Philadelphia, New York.
Yandianto, 2000, Kamus Umum Bahasa Indonesia, M--2S, Bandung.
Webster’s New American Dictionary, 1985.
Makalah
Muladi, 1992. Tindak Pidana Money Laoundring dan Permasalahannya. Makalah dalam Seminar di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, tanggal 8 Januari 1992. p. 1-2.
Koran
Muladi, “Tinjauan Juridis Pemberantasan Korupsi”, Suara Karya, Senin tanggal 21 Maret 2005.
Harian Investor Daily Indonesia, 7 Agustus 2007.
Harian Kompas, 25 Juli 2007
Harian Kompas, 3 November 2006.
Harian Pelita, tanggal 8 Agustus 2007.
Harian Pelita, 7 Agustus 2007.
Harian Republika, 30 Oktober 2006
Harian Seputar Indonesia, Edisi Sore - Jumat, 6 Juli 2007
Kantor Berita Antara, 1 Agustus 2007.
Koran Tempo, 9 Agustus 2007.
Internet
http:www.antikorupsi.org/mod.php., diakses tanggal 28 Februari 2006.
J.E. Sahetapy, SDM Kejaksaan Masih Lemah, http://www. komisihukum.go.id/news_event., diakses tanggal 28 Februari 2006
Masyarakat Transparansi Indonesia http://www.transparansi.or.id., diakses tanggal 16 Agustus 2007.
Perjuangan Melawan Korupsi, 16 Agustus 2007, Editorial,http: /korantempo.com/ orantempo/ 007/08/16/Editorial/krn,20070816,80.id.html
Sixth United Nation Congress Report, 1980, p. 5.
Pribadi Santosa, “2008, Tahun Pengembalian Citra Polisi dan Pengadilan”, Selasa, 25-Desember-2007, 08:55:42. Alamat Penulis, Perumahan Taman Pagelaran, Padasuka, Ciomas, Bogor, Email: pribadis@plasa.comThis e-mail address is being protected from spam bots, you need JavaScript enabled to view it
UIN Syarif Hidayatullah Kembangkan Pendidikan Antikorupsi, http://www.csrc.or.id/ berita/ Berita=060109032652&Kategori=19, diakses tanggal 16 Agustus 2007.
Retno Sawitri, “Keterbukaan KPK Patut Diapresiasi”, 24-Desember-2007, 08:47:09

sumber : http://fh.wisnuwardhana.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=16&Itemid=1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar