A. PENDAHULUAN
Tindak
pidana korupsi menjadi salah satu penyebab krisis multidimensional di
Indonesia. Meskipun pada akhir tahun 2007 ranking korupsi di Indonesia
menurun, tetapi sampai pada triwulan pertama tahun 2008, posisi
Indonesia tetap termasuk dalam “the big ten”, dalam bidang korupsi.
Korupsi merupakan sebuah bentuk kejahatan yang merugikan masyarakat dan
negara, baik kerugian materiel maupun kerugian immateriel. Penyebab
orang melakukan tindak pidana korupsi terdiri atas faktor internal dan
eksternal. Faktor penyebab tersebut bersifat kompleks dan motivasi antara satiu orang dengan orang lainnya belum tentu sama. Karena itu, multiple-factor theory dapat digunakan sebagai alat telaah untuk memahami kriminogen suatu tindak pidana. Rasionalitas
pelaku dalam melakukan tindak pidana korupsi juga dapat dipahami dari
teori netralisasi, terutama dalam kaitannya dengan kehendak “mau menang sendiri” dan “serakah”. Selain
sebagai persoalan masyarakat, korupsi merupakan persoalan moral dan
budaya. Bahkan, berdasarkan Konvensi Anti-Korupsi tahun 2003 telah
diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006,
secara tegas diatur bahwa korupsi merupakan salah satu kejahatan yang
terorganisasi dan bersifat lintas batas teritorial (trans-nasional),
disamping pencucian uang, perdagangan manusia, penyelundupan migran dan
penyelundupan senjata api.
Ketentuan
hukum pidana yang mengatur tindak pidana korupsi di Indonesia tidak
sesederhana yang dibanyangkan dan dipahami oleh sebagian orang, yaitu
seolah-olah tindak pidana korupsi hanyalah kejahatan yang berkaitan
dengan Pegawai Negeri dan beberapa perbuatan menggelapkan uang negara,
atau perbuatan-perbuatan yang ujung-ujungnya merugikan negara. Mengenai apa yang dianggap oleh sebagian orang itu, sebenarnya hanya sebagian kecil saja dari ketentuan pidana korupsi. Pengertian tindak pidana korupsi telah jelas diatur dalam 13 pasal dalam Undang-Undang
No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (LN Tahun 2001 Nomor
134; TLN No. 4150).
Berdasarkan 13 pasal tersebut, terdapat 30 rumusan tentang tindak
pidana korupsi. Dari 30 rumusan tindak pidana tersebut, dapat
dikelompokkan menjadi menjadi 7 kelompok, yaitu Kerugian Keuangan
Negara, Suap Menyuap, Pemerasan, Penggelapan dalam Jabatan, Perbuatan
Curang, Benturan Kepentingan dalam Pengadaan (conflick of interest), serta Gratifikasi. Romli Atmasasmita mengungkapkan, BPKP melakukan penelitian pada sekitar tahun 1999-an dan menemukan 14 (empat belas) jenis korupsi di Indonesia, yaitu berbentuk pemerasan
pajak, pembayaran fiktif, manipulasi perjalanan dinas, pelelangan
proforma, manipulasi tanah, manipulasi kredit, penetapan harga kontrak
yang terlalu tinggi (mark-up), kelebihan pembayaran,
ke-tekor-an kas, penggunaan dana yang tidak sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan, uang komisi, penggelapan uang negara, pemalsuan
dokumen, dan pungutan liar (Pungli).
Istilah korupsi berasal dari kata Bahasa Latin “coruptio” atau “corruptus”, berarti kerusakan atau kebobrokan. Tindakan korupsi selalu dikaitkan dengan ketidakjujuran seseorang di bidang keuangan. Pendapat lain mengemukakan, bahwa kata "korupsi" berasal dari bahasa Inggris, yaitu corrupt, yang berasal dari perpaduan dua kata dalam bahasa latin yaitu com yang berarti bersama-sama dan rumpere
yang berarti pecah atau jebol. Istilah "korupsi" juga bisa dinyatakan
sebagai suatu perbuatan tidak jujur atau penyelewengan yang dilakukan
karena adanya suatu pemberian.
Dalam Webster’s New American Dictionary’, istilah ‘corruption’ diartikan sebagai decay berarti lapuk, contamination berarti kemasukan sesuatu yang merusak, dan impurity berarti tidak murni. Sedangkan istilah ‘corrupt’ diartikan sebagai ”to become rotten or putrid” yang berarti menjadi busuk, lapuk, amat tidak menyenangkan, juga ”to induce decay in something originally clean and sound” diartikan, memasukkan sesuatu yang lapuk atau busuk ke dalam sesuatu yang semula berisi bersih dan bagus. Sedangkan dalam ‘Black’s Law Dictionary’ istilah ‘corrupt’ diartikan “having
an unlawful or depraved motive; esp., influenced by bribery; to change
(a person’s morals or principles) from good to bad”. Sedangkan istilah ‘corruption’ berarti “depravity,
perversion, or taint; an impairment of integrity, virtue, or moral
principle; esp., the impairment of a public official’s duties by
bribery”. Hal ini berarti “The act of doing something
with an intent to give some advantage inconsistent with official duty
and the rights of others; a fiduciary’s or official’s use of a station
or office to procure some benefit either personally or for someone else,
contrary to the rights of others”. Dalam ‘The Contemporary Inglish-Indonesian Dictionary’, istilah ‘corrupt’ diartikan tidak jujur, busuk, menyuap, menyogok, membusukkan, merusakkan, merusakkan moral. Sedangkan istilah ‘corruption’ diartikan sebagai penyuapan, pembusukan, kerusakan moral. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, istilah ‘korup’ diartikan buruk, rusak; suka menerima uang sogok;
memakai kekuasaannya untuk kepentingan pribadi. Sedangkan istilah
‘korupsi’ diartikan, penyelenggaraan atau penggelapan uang negara untuk
kepentingan pribadi. Dalam terminologi Hukum istilah ‘corrupt’ diartikan sebagai berlaku immoral; memutarbalikkan kebenaran. Istilah ‘corruption’, berarti menyalahgunakan wewenang, untuk menguntungkan dirinya sendiri.
Berdasarkan
pengertian-pengertian tersebut di atas dapat diketahui bahwa pengertian
korupsi adalah penyelahgunaan wewenang demi kepentingannya sendiri.
Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam istilah–istilah tersebut tidak
mempunyai efek yuridis sama sekali, sebelum dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan, karena korupsi merupakan kejahatan dalam arti
yuridis.
Tindak
pidana korupsi harus diberantas. Karena itu pemerintah bersama-sama
masyarakat perlu mengambil langkah-Iangkah pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana korupsi secara sistematis dan berkesinarnbungan. Tindak
pidana korupsi tidak lagi merupakan masalah lokal, akan tetapi merupakan
fenomena transnasional yang mempengaruhi seluruh masyarakat dan
perekonomian sehingga penting adanya kerja sama internasional untuk
pencegahan dan pemberantasannya termasuk pemulihan atau pengembalian
aset-aset hasil tindak pidana korupsi. Kerja sama internasional dalam
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi perlu didukung oleh
integritas, akuntabilitas, dan manajemen pemerintahan yang baik. Pada
era reformasi ini, Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) sudah
melakukan tugas, namun sampai saat ini korupsi di Indonesia tetap
merajalela bahkan telah merembes ke hampir semua sektor kehidupan. Karena itu, pers asing selalu menjuluki Indonesia sebagai the sick man of Asia karena korupsi telah menggurita ke berbagai sektor pembangunan.
Lembaga
survei yang berbasis di Berlin, Jerman ini menetapkan IPK Indonesia
tahun 2007 sebesar 2,3 dan berada di urutan 143 dari 180 negara yang
disurvei. Posisi Indonesia berada satu level dengan Rusia, Gambia, dan Togo. Sementara jika dibanding negara lain di Kawasan ASEAN, Indonesia berada dalam posisi paling korup ketiga setelah Myanmar (indeks 1,4) dan Kamboja (2,0). Sedangkan Filipina masih sedikit lebih bersih dengan indeks 2,5, Vietnam (2,6), Timor Leste (2,6), Thailand (3,3), Malaysia
(5,1), dan Singapura (9,1). Tahun 2007, Denmark, Finlandia, dan
Selandia Baru menempati urutan pertama, kedua, dan ketiga sebagai negara
yang nyaris tanpa korupsi dengan indeks 9,4. Dalam konteks Indonesia,
inkonsistensi pemerintah dalam pemberantasan korupsi disebut-sebut
sebagai faktor utama turunnya IPK Indonesia. Selain itu, menurut Ketua
Dewan Pengurus Transparency International Indonesia,
Todung Mulya Lubis, juga disebabkan oleh masih banyaknya nama-nama
koruptor kelas kakap yang belum tersentuh. Juga ada kesan tebang pilih
dalam pemberantasan korupsi. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang
diharapkan dapat memimpin langsung gerakan pemberantasan korupsi juga
masih jauh panggang dari api.
Data tentang kasus korupsi yang dilakukan oleh anggota DPRD di Indonesia antara lain sebagai berikut.
1. Taufukarhman
Ruki mengungkapkan, dari catatan KPK diketahui sekitar 1.000 anggota
dewan telah menggerogoti uang rakyat yang bukan haknya. Jumlah itu
meliputi 700 wakil rakyat di kabupaten/kota, dan 300 anggota dewan di
tingkat provinsi (http://www.indomedia.com/bpost.htm)
2. Kapuspenkum
Kejaksaan Agung (Kejakgung), Kemas Yahya Rahman, menyebutkan adanya
kasus 23 anggota DPRD Kendari. Kasus-kasus yang menjerat para anggota
dewan itu beraneka ragam, antara lain korupsi biaya perjalanan dinas,
politik uang, penyalahgunaan dana kredit usaha tani, penerbitan dokumen
kayu ilegal, gaji ganda, penyalahgunaan dana operasional dewan, dan
penyalahgunaan APBD. Jumlah kasus yang paling mencolok terdapat di
Sumatra Barat. Menurut data Kejakgung, di DPRD provinsi kasus korupsi
melibatkan 44 orang, DPRD Padang 41 orang, DPRD Solok 41 orang, DPRD
Sijunjung 35 orang, dan DPRD Painan satu orang. Berdasarkan catatan
Republika, kasus di DPRD Provinsi Sumbar telah sampai pada vonis bagi 43
orang anggotanya, namun berlanjut dengan banding. Dari 30 kejaksaan
tinggi di seluruh Indonesia, 19 di antaranya melaporkan kasus korupsi
anggota DPRD, yakni NTB, Sumsel, Sulut, Riau, Kalbar, Jambi, Kalteng,
Kaltim, Jateng, Jabar, Sumbar, NAD, Sumut, Bengkulu, Kalsel, Lampung,
Sulsel, Sultra, dan Jatim. Sedangkan 11 lainnya menyatakan tak memiliki
kasus, yakni Papua, Maluku Utara, DIY, Maluku, Bali, NTT, Sulteng,
Gorontalo, Banten, DKI Jakarta, dan Bangka Belitung. (Republika, 323 Anggota DPRD Tersangka Korupsi).
3. Berdasarkan
data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) dari bulan Januari hingga
Desember 2004 mengenai kasus korupsi yang melibatkan anggota DPRD sebanyak
102 kasus dari total 239 kasus korupsi yang muncul di sebagian besar
wilayah di Indonesia. Data di atas sekaligus hendak menunjukkan bahwa
aktor korupsi yang menempati urutan terbesar adalah anggota DPRD. Data
ini paralel dengan hasil survei Transparansi Internasional Indonesia
(TII) pada 2004 yang menempatkan partai politik sebagai lembaga yang
dianggap paling korup. Dengan demikian, terdapat korelasi yang masuk
akal antara kondisi partai politik yang buruk dan perilaku anggota Dewan
yang korup. Putusan Pengadilan Tinggi Sumatera Barat telah menguatkan
putusan Pengadilan Negeri Padang yang memutus bersalah atas 43 anggota
DPRD Provinsi Sumatera Barat. Bahkan Pengadilan Tinggi Sumatera Barat
memutuskan bahwa dakwaan primer atas tuduhan korupsi 43 anggota DPRD
Provinsi Sumatera Barat terbukti (Koran Tempo, 7 Januari 2004). Pada 2
Agustus 2005 MA yang dipimpin Parman Suparman telah memvonis bersalah 33
anggota DPRD Sumbar periode 1999-2004 karena melanggar PP 110/2000
Kedudukan Keuangan DPRD. Selanjutnya, Putusan MA No 536K/Pid/2005 yang
membebaskan 10 anggota DPRD Sumbar itu merupakan bentuk
ketidakkonsistenan dan pelanggaran terhadap asas similia silibus( perkara yang sama diputus sama). Sebab,ke 43 anggota DPRD didakwa bersama-sama dan bersekutu melakukan perbuatan pidana (http://www.media-indonesia.com/berita.).
4. Ketua
DPRD Kabupaten Kediri periode 1999-2004 yang kini menjadi anggota
Fraksi PKB DPRD setempat, Zainal Musthofa ditahan dalam kasus korupsi
Anggaran Rumah Tangga Dewan (ARTD) tahun 2001-2004 senilai Rp10,5 miliar
(http://www.kapanlagi.com/h/0000216604.html)
5. Tujuh
mantan angota dprd kampar riau korupsi 210 juta dana bantuan partai,
kasasi mereka ditolak. Masing masing diputus 1 tahun kurungan (PT), di
PN 2th penjara (http://www.detiknews.com/index.php)
6. Sebanyak
19 dari 20 anggota DPRD Kabupaten Talaud, Sulawesi Utara ditetapkan
sebagai tersangka kasus korupsi. Mereka diduga meminjam uang kepada
Pemerintah Kabupaten Talaud Rp 4,5 miliar tanpa prosedur dan tidak
tertera dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Talaud. (http://www.liputan6.com/view)
7. Pengadilan
Negeri Donggala menjatuhkan menjatuhkan pidana penjara selama 6 tahun
dan denda 200 juta kepada anggota DPRD, Awaluddin Husen Arep, karena
terbukti melakukan korupsi sebesar 4 miliar (http://www.beritapalu.com/index.php
8. Kasus
dugaan korupsi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Banyumas senilai Rp 1 milyar lebih yang melibatkan sejumlah anggota DPRD
setempat memasuki babak baru. Delapan orang mantan anggota DPRD periode
1999-2004, Rabu (20/2) ditahan oleh Kejaksaan Negeri (Kejari)
Purwokerto. Penahanan tersebut bersamaan dengan penyerahan tersangka
beserta barang bukti dari Polres Banyumas ke kejaksaan. (http://www.purbalinggakab.go.id/index.)
9. Sebanyak
11 orang anggota DPRD Sulawesi Tenggara (Sultra) periode 2004 - 2009
diperiksa tim jaksa penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) karena diduga
terlibat dalam kasus korupsi senilai Rp 20,6 miliar.
(http://www.tempointeractive.com/hg/nusa/sulawesi)
10. Keterlibatan
967 orang “wakil rakyat” itu, berdasarkan data dihimpun dari Kejaksaan
Tinggi di seluruh Indonesia, dengan jumlah kasus mencapai 265 kasus
korupsi dan ditangani proses hukumnya oleh 29 Kejati.
11. Kasus
korupsi melibatkan kepala daerah mencapai 46 kasus dengan jumlah
bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota menjadi tersangka,
terdakwa atau telah divonis bersalah sebagai terpidana sebanyak 61
orang. Korupsi melibatkan para kepala daerah itu ditangani kejaksaan
Kejati  sebanyak 43 kasus dan Kejaksaan Agung tiga kasus (http://beritasore.com/2007/05/31/967-anggota-dprd-dan-61-kepala-daerah-terlibat-korupsi)
12. Lima
anggota DPRD Provinsi Banten periode 2001-2004 terbukti mengorupsi dana
tunjangan perumahan anggota Dewan senilai Rp 14 miliar. Atas
perbuatannya itu, Pengadilan Negeri Serang menjatuhkan vonis 12 hingga
15 bulan penjara. Kelimanya juga diwajibkan membayar uang pengganti
sebesar Rp 130 hingga 135 juta. Dalam
putusan yang dibacakan Ketua Majelis Hakim PN Serang Suhartanto, empat
anggota DPRD yakni Effendi Yusuf Sagala, Malik Komet, Dahmir Tampubolon,
dan Rudi Korua divonis 15 bulan penjara. Sedangkan Aap Aptadi divonis
12 bulan penjara. Vonis ini lebih rendah dari tuntutan jaksa yang
menuntut masing-masing dua tahun enam bulan. (http://www.liputan6.com/view/2,141285,1,0,1179879521)
13. Dua
petinggi di DPRD Kab Nganjuk divonis penjara oleh hakim dalam kasus
korupsi senilai Rp6,8 miliar. Lagi-lagi, majelis hakim menjatuhkan vonis
lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Kejaksaan Negeri
(Kejari) Madiun terus mengembangkan penyelidikan kasus dugaan korupsi
dana reses dan jaring asmara APBD, untuk pos DPRD Kabupaten Madiun tahun 2006. Nilainya mencapai Rp630 juta (http://news.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/02/07/1/81567
14. Imron
merupakan terpidana setahun penjara kasus dugaan korupsi DPRD Sidoarjo
periode 1999–2004 senilai Rp21 miliar. Perkara Imron dinyatakan final
setelah majelis hakim di Mahkamah Agung (MA) menolak kasasinya.
Sebelumnya, dia divonis setahun penjara oleh Pengadilan Negeri (PN)
Sidoarjo. Dalam sidang banding, hakim Pengadilan Tinggi Jatim menguatkan
putusan PN Sidoarjo. Imron lantas mengajukan kasasi. Pada 22 Mei lalu,
Kejari mengeksekusi Imron.Namun, upaya itu gagal lantaran terpidana itu
mendadak jatuh pingsan di ruang kerja Kasi Pidsus Kejari Sidoarjo
Suwito. http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/jawa-timur/hari-ini-imron-dieksekusi.html
Berdasarkan data di atas dapat dekatuhui sebagai berikut.
1. Jumlah tindak pidana korupsi di Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun, dan tersebar hampir di seluruh Indonesia.
2. Jumlah pelaku tindak pidana korupsi yang berstatus anggota DPRD menduduki ranking paling banyak.
3. Jumlah kerugian negara akibat tindak pidana sangat besar.
4. Pidana penjara merupakan jenis pidana yang paling banyak dijatuhkan oleh pengadilan.
5. terjadi perbedaan penjatuhan pidana (disparitas pemidanaan) antara pelaku korupsi satu dengan lainnya.
6. Pendekatan
penal, yaitu menerapkan hukum pidana melalui sistem peradilan pidana
lebih diutamakan pemerintah, dibandingkan dengan pendekatan non-hukum
pidana.
Deskripsi
kasus dan penanggulagan korupsi di atas menunjukkan kepada kita bahwa
pemberantasan korupsi dengan memanfaatkan hukum pidana masih perlu
ditingkatkan, termasuk memadukan antara pendekatan kebijakan hukum
pidana (penal policy) dengan pendekatan nonhukum pidana (nonpenal policy) dalam suatu kerangka yang terintegrasi. Hal
ini didasarkan pada fakta bahwa pemberanatasan korupsi dengan
memanfaatkan hukum pidana tidak akan efisien dan efektif tanpa dipadukan
dengan pendekatan lain yang bersifat persuasif dan preventif.
Berdasarkan argumentasi di atas, artikel ini akan mengupas secara ilmiah tentang Prospek Kebijakan Kriminal terhadap Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. Permasalahan
dalam artikel ini adalah: mengapa orang melakukan tindak pidana
korupsi?, bagaimana langkah-langkah strategis kebijakan Kriminal
terhadap tindak pidana korupsi di Indonesia?. Sedangkan tujuan penulisan makalah ini adalah menganalisis tentang penyebab orang melakukan tindak pidana korupsi di Indonesia, dan menemukan langkah-langkah strategis kebijakan kriminal terhadap tindak pidana korupsi di Indonesia. Hasil pembahasan ini diharapkan
dapat mencerahkan pemikiran pemerintah, masyarakat, dan penegak hukum
tentang perlunya perbaikan kebijakan dalam pemberantasan tindak pidana
korupsi sebagaimana dilakukakan di beberapa negara, termasuk ketentuan
sebagaimana diatur dalam United Nations Convention Against Corruption, 2003.
A. PENGERTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Istilah korupsi berasal dari kata Bahasa Latin “coruptio” atau “corruptus”, berarti kerusakan atau kebobrokan. Tindakan korupsi selalu dikaitkan dengan ketidakjujuran seseorang di bidang keuangan. Pendapat lain mengemukakan, bahwa kata "korupsi" berasal dari bahasa Inggris, yaitu corrupt, yang berasal dari perpaduan dua kata dalam bahasa latin yaitu com yang berarti bersama-sama dan rumpere
yang berarti pecah atau jebol. Istilah "korupsi" juga bisa dinyatakan
sebagai suatu perbuatan tidak jujur atau penyelewengan yang dilakukan
karena adanya suatu pemberian.
Dalam Webster’s New American Dictionary’, istilah ‘corruption’ diartikan sebagai decay berarti lapuk, contamination berarti kemasukan sesuatu yang merusak, dan impurity berarti tidak murni. Sedangkan istilah ‘corrupt’ diartikan sebagai ”to become rotten or putrid” yang berarti menjadi busuk, lapuk, amat tidak menyenangkan, juga ”to induce decay in something originally clean and sound” diartikan, memasukkan sesuatu yang lapuk atau busuk ke dalam sesuatu yang semula berisi bersih dan bagus. Sedangkan dalam ‘Black’s Law Dictionary’ istilah ‘corrupt’ diartikan “having
an unlawful or depraved motive; esp., influenced by bribery; to change
(a person’s morals or principles) from good to bad”. Sedangkan istilah ‘corruption’ berarti “depravity,
perversion, or taint; an impairment of integrity, virtue, or moral
principle; esp., the impairment of a public official’s duties by
bribery”. Hal ini berarti “The act of doing something
with an intent to give some advantage inconsistent with official duty
and the rights of others; a fiduciary’s or official’s use of a station
or office to procure some benefit either personally or for someone else,
contrary to the rights of others”. Dalam ‘The Contemporary Inglish-Indonesian Dictionary’, istilah ‘corrupt’ diartikan tidak jujur, busuk, menyuap, menyogok, membusukkan, merusakkan, merusakkan moral. Sedangkan istilah ‘corruption’ diartikan sebagai penyuapan, pembusukan, kerusakan moral. Dalam
Kamus Umum Bahasa Indonesia, istilah ‘korup’ diartikan buruk, rusak;
suka menerima uang sogok; memakai kekuasaannya untuk kepentingan
pribadi. Sedangkan istilah ‘korupsi’ diartikan, penyelenggaraan atau penggelapan uang negara untuk kepentingan pribadi. Dalam terminologi Hukum istilah ‘corrupt’ diartikan sebagai berlaku immoral; memutarbalikkan kebenaran. Istilah ‘corruption’, berarti menyalahgunakan wewenang, untuk menguntungkan dirinya sendiri.
Berdasarkan
pengertian-pengertian tersebut di atas dapat diketahui bahwa pengertian
korupsi adalah penyelahgunaan wewenang demi kepentingannya sendiri.
Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam istilah–istilah tersebut tidak
mempunyai efek yuridis sama sekali, sebelum dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan, karena korupsi merupakan kejahatan dalam arti
yuridis.
Berdasarkan
ketentuan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, yang dimaksud dengan korupsi adalah sebagai berikut.
Pasal 2
(1) Setiap
orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(2) Dalam
hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Dalam Penjelasan UU No. 20 Tahun 2001 diuraikan bahwa
yang
dimaksud keadaan tertentu dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat
dijadikan alasan pemberatan pidana (dana penanggulangan keadaan bahaya,
bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang
meluas, penanggulangan ksrisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan
tindak pidana korupsi.
Pasal 3
Setiap
orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun clan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Pasal 4
Pengembalian
kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan
dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.
Berdasarkan
ketentuan di atas diketahui bahwa unur-unsur tindak pidana korupsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah: setiap orang (manusia maupun
korporasi), melawan hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
korporasi, merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Sedangkan
dalam Pasal 3 ditentukan bahwa tindak pidana korupsi mempunyai
unsur-unsur: setiap orang, menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau korporasi, menyalahgunakan wewenang, dapat merugikan keuangan atau
perekonimian negara.
Sedangkan
dalam Pasal 5 mengatur tentang (1) orang yang memberi atau menjanjikan
kepada Pegawai Negeri atau penyelenggara negara agar berbuat atau tidak
berbuat sesuatu dalam jabatannya atau bertentangan dengan kewajiannya;
(2) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian
atau janji.
Erat kaitannya dengan tindak pidana KKN, dalam Pasal 12 B dan C UU No. 31 Tahun 1999 diatur tentang gratifikasi.
Pasal 12 B
(1) Setiap
gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap
pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang
berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. yang
nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian
bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima
gratifikasi;
b. yang
nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian
bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
(2) Pidana
bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan
pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
dan ` paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dalam Penjelasan Pasal 12 B ayat (1) diuraikan bahwa
yang dimaksud dengan "gratifikasi" dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi,
pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan,
perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Gratifikasi tersebut, baik yang diterima di dalam maupun di luar negeri
dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa
sarana elektronik.
Pasal 12 C
(1)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku,
jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi
Pemberantasan Tindak Pidaria Korupsi.
(2) Penyampaian
laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh
penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung
sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.
(3)
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30
(tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan
gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.
(4)
Ketentuan mengenai tata cara penyampaian sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) diatur dalam Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 12 B ayat (1), menurut Barda Nawawi Arief, diketahui 6 hal berikut.
a. Gratifikasi dirumuskan sebagai unsur delik, yang pengertiannya dirumuskan dalam "penjelasan Pasal 12 B ayat (1)", yaitu suatu "pemberian dalam arti luas" yang meliputi:
1) pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi,
pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan,
perjalanan wisata, pengobatan cumacuma, dan fasilitas lainnya;
2) pemberian itu diterima di dalam maupun di luar negeri;
3) pemberian itu dilakukan dengan atau tanpa sarana elektronik.
b. Dilihat
dari perumusannya, gratifikasi bukan merupakan jenis maupun kualifikasi
delik, yang dijadikan tindak pidana menurut Pasal 12 B ayat (2), bukan
gratifikasi-nya, melainkan perbuatan menerima gratifikasi.
c. Pasal 12 B ayat (1) tidak merumuskan tindak pidana gratifikasi, tetapi hanya memuat ketentuan mengenai:
1) batasan pengertian gratifikasi yang dianggap sebagai "pemberian suap"; dan
2) jenis-jenis gratifikasi yang dianggap sebagai "pemberian suap".
Tindakan
yang dianggap sebagai "pemberian suap", yaitu apabila gratifikasi
(pemberian) diberikan kepada "pegawai negeri" atau "penyelenggara
negara"; dan berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban
dan tugasnya.
Berdasarkan ketentuan tentang gratifikasi diketahui bahwa ada 2 (dua) jenis gratifikasi, yaitu:
a. gratifikasi yang bernilai Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih; dan
b. gratifikasi yang bernilai kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
d. Pasal 12 B ayat (2) menentukan ancaman pidana bagi penerima gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), yaitu
1) pidana seumur hidup, atau
2) pidana penjara dalam waktu tertentu, paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, dan
3) pidana denda (minimal Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) clan maksimal Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)).
e. Dengan
perumusan Pasal 12 B ayat (2) itu. maka tidak ada perbedaan ancaman
pidana bagi penerima gratifikasi jenis pertama (besarnya Rp
10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih) dan penerima gratifikasi
jenis ke dua (besarnya di bawah Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah)). Jadi, tidak ada perbedaan substantif. Yang ada hanya perbedaan
prosesual, yaitu (berdasarkan Pasal 12 B ayat (1)):
1) Untuk gratifikasi pertama, beban pembuktian (bahwa gratifikasi itu bukan suap) pada penerima;
2) Untuk gratifikasi kedua, beban pembuktian (bahwa gratifikasi itu merupakan suap) pada penuntut umum (PU).
f. Logika
pembuat undang-undang dalam menentukan Pasal 12 B ayat (2) untuk tidak
membedakan ancaman pidana terhadap gratifikasi jenis ke-1 dan ke-2,
tidak konsisten dengan logika yang tertuang daiam Pasal 12 A yang
membedakan ancaman pidana untuk Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
diatur dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 sebagai berikut:
1) Yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah), diancam pidana penjara maksimal 3 (tiga) tahun (tidak ada minimalnya) dan denda maksimal Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) (tidak ada minimalnya); lihat Pasal 12 A ayat (2).
2) Yang
nilainya Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) atau lebih, berlaku
ketentuan pidana dalam pasal yang bersangkutan (Pasal 5 sampai dengan
Pasal 12); lihat Pasal 12 A ayat (1). Berarti untuk Tindak Pidana Korupsi ke-2 ini dapat dikenakan pidana minimal dalam pasal yang bersangkutan.
B. ANALISIS PENYEBAB ORANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA
Masyarakat Transparansi Indonesia,
mengemukakan bahwa korupsi di manapun dan kapanpun akan selalu memiliki
ciri khas. Ciri tersebut bisa bermacam-macam, beberapa diantaranya
adalah sebagai berikut:
1. Melibatkan lebih dari satu orang,
2. Korupsi
tidak hanya berlaku di kalangan pegawai negeri atau anggota birokrasi
negara, korupsi juga terjadi di organisasi usaha swasta,
3. Korupsi
dapat mengambil bentuk menerima sogok, uang kopi, salam tempel, uang
semir, uang pelancar, baik dalam bentuk uang tunai atau benda atau pun
wanita,
4. Umumnya serba rahasia, kecuali sudah membudaya,
5. Melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik yang tidak selalu berupa uang,
6. Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan, biasanya pada badan publik atau masyarakat umum,
7. Setiap perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat,
8. Di
bidang swasta, korupsi dapat berbentuk menerima pembayaran uang dan
sebagainya, untuk membuka rahasia perusahaan tempat seseorang bekerja,
mengambil komisi yang seharusnya hak perusahaan.
Sarlito
Wirawan Sarwono, mengemukakan bahwa tidak ada jawaban yang pasti
tentang penybeb korupsi, tetapi ada dua hal yang jelas, yakni adanya
dorongan dari dalam diri sendiri (keinginan, hasrat, kehendak dan
sebagainya), dan rangsangan dari luar (misalnya dorongan teman-teman,
adanya kesempatan, kurang kontrol dan sebagainya). Sedangkan
Andi Hamzah menginventarisasikan beberapa penyebab korupsi, yakni: a.
Kurangnya gaji pegawai negeri dibandingkan dengan kebutuhan yang makin
meningkat; b. Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia
yang merupakan sumber atau sebab meluasnya korupsi; c. Manajemen yang
kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan efisien, yang memberikan
peluang orang untuk korupsi; d. Modernisasi pengembangbiakan korupsi.
Faktor-faktor
penyebabnya bisa dari internal pelaku-pelaku korupsi, tetapi bisa juga
bisa berasal dari situasi lingkungan yang kondusif bagi seseorang untuk
melakukan korupsi. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
dalam bukunya berjudul "Strategi Pemberantasan Korupsi”. Penyebab tersebut adalah sebagai berikut.
1. Aspek Individu Pelaku
a. Sifat Tamak Manusia
Kemungkinan
orang melakukan korupsi bukan karena orangnya miskin atau penghasilan
tak cukup. Kemungkinan orang tersebut sudah cukup kaya, tetapi masih
punya hasrat besar untuk memperkaya diri. Unsur penyebab korupsi pada
pelaku semacam itu datang dari dalam diri sendiri, yaitu sifat tamak dan
rakus.
b. Moral yang Kurang Kuat
Seorang
yang moralnya tidak kuat cenderung mudah tergoda untuk melakukan
korupsi. Godaan itu bisa berasal dari atasan, teman setingkat,
bawahanya, atau pihak yang lain yang memberi kesempatan untuk itu.
c. Penghasilan yang Kurang Mencukupi
Penghasilan
seorang pegawai dari suatu pekerjaan selayaknya memenuhi kebutuhan
hidup yang wajar. Bila hal itu tidak terjadi maka seseorang akan
berusaha memenuhinya dengan berbagai cara. Tetapi bila segala upaya
dilakukan ternyata sulit didapatkan, keadaan semacam ini yang akan
memberi peluang besar untuk melakukan tindak korupsi, baik itu korupsi
waktu, tenaga, pikiran dalam arti semua curahan peluang itu untuk
keperluan di luar pekerjaan yang seharusnya.
d. Kebutuhan Hidup yang Mendesak
Dalam
rentang kehidupan ada kemungkinan seseorang mengalami situasi terdesak
dalam hal ekonomi. Keterdesakan itu membuka ruang bagi seseorang untuk
mengambil jalan pintas diantaranya dengan melakukan korupsi.
e. Gaya Hidup yang Konsumtif
Kehidupan di kota-kota besar acapkali mendorong gaya
hidup seseong konsumtif. Perilaku konsumtif semacam ini bila tidak
diimbangi dengan pendapatan yang memadai akan membuka peluang seseorang
untuk melakukan berbagai tindakan untuk memenuhi hajatnya. Salah satu
kemungkinan tindakan itu adalah dengan korupsi.
f. Malas atau Tidak Mau Bekerja
Sebagian
orang ingin mendapatkan hasil dari sebuah pekerjaan tanpa keluar
keringat alias malas bekerja. Sifat semacam ini akan potensial melakukan
tindakan apapun dengan cara-cara mudah dan cepat, diantaranya melakukan
korupsi.
g. Ajaran Agama yang Kurang Diterapkan
Indonesia
dikenal sebagai bangsa religius yang tentu akan melarang tindak korupsi
dalam bentuk apapun. Kenyataan di lapangan menunjukkan bila korupsi
masih berjalan subur di tengah masyarakat. Situasi paradok ini
menandakan bahwa ajaran agama kurang diterapkan dalam kehidupan.
2. Aspek Organisasi
a. Kurang adanya sikap keteladanan pimpinan
Posisi
pemimpin dalam suatu lembaga formal maupun informal mempunyai pengaruh
penting bagi bawahannya. Bila pemimpin tidak bisa memberi keteladanan
yang baik di hadapan bawahannya, misalnya berbuat korupsi, maka
kemungkinan besar bawahnya akan mengambil kesempatan yang sama dengan
atasannya.
b. Tidak adanya kultur organisasi yang benar
Kultur
organisasi biasanya punya pengaruh kuat terhadap anggotanya. Apabila
kultur organisasi tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan berbagai
situasi tidak kondusif mewarnai kehidupan organisasi. Pada posisi
demikian perbuatan negatif, seperti korupsi memiliki peluang untuk
terjadi.
c. Sistim akuntabilitas yang benar di instansi pemerintah yang kurang memadai
Pada
institusi pemerintahan umumnya belum merumuskan dengan jelas visi dan
misi yang diembannya dan juga belum merumuskan dengan tujuan dan sasaran
yang harus dicapai dalam periode tertentu guna mencapai misi tersebut.
Akibatnya, terhadap instansi pemerintah sulit dilakukan penilaian apakah
instansi tersebut berhasil mencapai sasaranya atau tidak. Akibat lebih
lanjut adalah kurangnya perhatian pada efisiensi penggunaan sumber daya
yang dimiliki. Keadaan ini memunculkan situasi organisasi yang kondusif
untuk praktik korupsi.
d. Kelemahan sistim pengendalian manajemen
Pengendalian
manajemen merupakan salah satu syarat bagi tindak pelanggaran korupsi
dalam sebuah organisasi. Semakin longgar/lemah pengendalian manajemen
sebuah organisasi akan semakin terbuka perbuatan tindak korupsi anggota
atau pegawai di dalamnya.
e. Manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasi
Pada
umumnya jajaran manajemen selalu menutupi tindak korupsi yang dilakukan
oleh segelintir oknum dalam organisasi. Akibat sifat tertutup ini
pelanggaran korupsi justru terus berjalan dengan berbagai bentuk.
3. Aspek Tempat Individu dan Organisasi Berada
a. Nilai-nilai
di masyarakat kondusif untuk terjadinya korupsi Korupsi bisa
ditimbulkan oleh budaya masyarakat. Misalnya, masyarakat menghargai
seseorang karena kekayaan yang dimilikinya. Sikap ini seringkali membuat
masyarakat tidak kritis pada kondisi, misalnya dari mana kekayaan itu
didapatkan.
b. Masyarakat
kurang menyadari sebagai korban utama korupsi Masyarakat masih kurang
menyadari bila yang paling dirugikan dalam korupsi itu masyarakat.
Anggapan masyarakat umum yang rugi oleh korupsi itu adalah negara.
Padahal bila negara rugi, yang rugi adalah masyarakat juga karena proses
anggaran pembangunan bisa berkurang karena dikorupsi.
c. Masyarakat
kurang menyadari bila dirinya terlibat korupsi Setiap korupsi pasti
melibatkan anggota masyarakat. Hal ini kurang disadari oleh masyarakat
sendiri. Bahkan seringkali masyarakat sudah terbiasa terlibat pada
kegiatan korupsi sehari-hari dengan cara-cara terbuka namun tidak
disadari.
d.
Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi akan bisa dicegah dan
diberantas bila masyarakat ikut aktif Pada umumnya masyarakat
berpandangan masalah korupsi itu tanggung jawab pemerintah. Masyarakat
kurang menyadari bahwa korupsi itu bisa diberantas hanya bila masyarakat
ikut melakukannya.
e. Aspek
peraturan perundang-undangan Korupsi mudah timbul karena adanya
kelemahan di dalam peraturan perundang-undangan yang dapat mencakup
adanya peraturan yang monopolistik yang hanya menguntungkan kroni
penguasa, kualitas peraturan yang kurang memadai, peraturan yang kurang
disosialisasikan, sangsi yang terlalu ringan, penerapan sangsi yang
tidak konsisten dan pandang bulu, serta lemahnya bidang evaluasi dan
revisi peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan
uraian tentang penyebab tindak pidana korupsi di atas dapat dipahami
bahwa tindak pidana korupsi bukan disebabkan oleh satu penyebab yang
berdiri sendiri melaikan terdiri atas beberapa faktor penyebab yang
kompleks. Hal ini sesuai dengan pendapat Edwin H. Sutherland bahwa penyebab kejahatan seperti adalah faktor yang kompleks (multiple factor). Sutherland mengemukakan dalam “teori” tersebut sebagai berikut, This
‘theory’ should be recognized as an admission of defeat, for its means
criminological studiest must always be ‘exploratory’. The
criminologist can carry his conclusions beyonds multiple factors and
reduce the series of factors to simplicity by the method of logical
abstraction.”
Selain teori tersebut, Rational Choice Theory dapat digunakan untuk menganalisis. Menurut Cornish and Clarke.
Through
Rational Choice Theory describe crime as an event that occurs when an
offender decides to risk breaking the law after considering his or her
own need for money, personal values or learning experiences and how well
a target is protected, how affluent the neighbourhood is or how
efficient the local police are. Before committing a crime, the reasoning
criminal weighs the chances of getting caught, the severity of the
expected penalty, the value to be gained by committing the act, and his
or her immediate need for that value.
Teori
pemilihan yang rasional ini mengajarkan, bahwa kejahatan dianggap
sebagai suatu peristiwa yang hanya terjadi manakala seorang pelanggar
memutuskan untuk mengambil risiko untuk melanggar hukum, tentusaja
setelah mempertimbangkan kebutuhannya yaitu untuk memperoleh uang,
mempertahankan nilai-nilai pribadi atau setelah mempelajari beberapa
pertimbangan yaitu apa saja suatu target yang dilindungi, bagaimana
kondisi lingkungan sekitar, dan bagaimana efisiensi dan efektivitas
kinerja kepolisian. Sebelum melakukan suatu kejahatan, penjahat
menimbang tentang kesempatan-kesempatan yang memungkinkan melakukan
kejahatan agar tidak tertangkap, memahami kekejaman-kejaman dari pidana
yang diancamkan jika pelaku tertangkap polisi, nilai lebih yang
diperoleh seseorang setelah melakukan tingkah laku yang dipilih, dan
kebutuhan-kebutuhan apa saja yang dapat dipenuhi jika melakukan tingkah
laku tersebut.
Teori
pemilihan yang rasional ini juga mengutamakan tentang bagimana
seseorang memenuhi kebutuhannya, yaitu kebutuhan yang berkaitan dengan
uang, prestise (gengsi), jenis kelamin (percintaan), dan kegembiraan. Semua elemen tersebut berpengaruh pada saat seseorang mempertimbangkan dalam memilih keputusan untuk bertingkah laku. Hal ini diungkapkan dalam pernyataan berikut, "...crime
is purposive behaviour designed to meet the offender’s commonplace
needs for such things as money, status, sex, excitement, and that
meeting these needs involves the making of (sometimes quite rudimentary)
decisions and choices, constrained as they are by limits of time and
ability and the availability of relevant information." Ajaran
teori ini selaras dengan fakta tentang penyebab seseorang melakukan
tindak pidana korupsi, yaitu memenuhi kebutuhan hidup, gengsi, dan
kemewahan. Para korupstor sebenarnya sadar bahwa
perbuatan tersebut melanggar hujum, tetapi sifat “keserakahan atau
kerakusan” yang dipenuhi. Mungkin
pelaku mengetahui dampak korupsi dan hukum korupsi, namun karena sudah
"terbiasa" dan hukuman moral tidak berlaku lagi di sini, maka justru
muncul rasa solidaritas di antara pelaku sebagaimana diungkapkan filsuf
asal Jerman Bertold Brecht, “makan dulu, soal moral nanti saja (Erst kommt das Essen, denn die Morale).
Alasan “keserakahan” koruptor sebagai penyebab utama tindak pidana korupsi dapat juga ditelaah dari teori netralisasi. David Matza menegaskan, “Theory
neutralization stresses youth’s learning of behavior rationalizations
that enable them to overcome societal values and norms and engage in
illegal bahaviour. Teori
netralisasi menekankan tentang pembelajaran kaum muda untuk
merasionalisasi perilaku menyimpang yang dilakukan sehingga diharapkan
dapat memperdaya bekerjanya nilai-nilai kemasyarakatan dan norma-norma
dalam masyarakat. Sykes dan Matza menjabarkan 5 (lima) teknik netralisasi yang dapat dilakukan oleh pelaku kejahatan, yaitu sebagai berikut.
a. Denial of Responsibility,
yaitu pelaku menggambarkan dirinya sendiri sebagai orang-orang yang
tidak berdaya dalam menghadapi tekanan-tekanan masyarakat (misalnya
kurang mendapat kasih sayang dari orang tua, berada pergaulan atau
lingkungan yang kurang baik).
b. Denial of Injury, yaitu pelaku berpandangan bahwa perbuatan yang dilakukan tidak menyebabkan kerugian yang besar pada masyarakat.
c. Denial of Victim,
yaitu pelaku memahami diri mereka sendiri sebagai “sang penuntut
balas”, sedangkan para korban dari perbuatannya dianggap sebagai orang
yang bersalah.
d. Condemnation of the Condemners,
yaitu pelaku beranggapan bahwa orang yang mengutuk perbuatan yang telah
dilakukan sebagai orang-orang munafik, hipokrit, sebagai pelaku
kejahatan terselubung, karena dengki, dan sebagainya.
e. Appeal to Higher Loyalities, yaitu pelaku merasa
bahwa dirinya terperangkap antara kemauan masyarakat dan ketentuan
hukum yang ada di mayarakat dengan kebutuhan kelompok yang lebih kecil,
yaitu kelompok tempat mereka berada atau bergabung.
Ditelaah
dari pelaku, mayoritas pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia yang
sudah diadili adalah kalangan penguasa dan pengusaha yang mempunyai
jabatan terhormat yang menyalahgunakan kewenangan. Dalam kriminologi, Sutherland menyebut tipe kejahatan tersebut disebut white-collar crime (kejahatan krah putih) yang merupakan “kebalikan” dari blue-collar crime (kejahatan orang rendahan/pekerja kasar). Edwin H. Sutherland, sebagai ahli kriminologi yang pertama kali memperkenalkan istilah white- collar crime
manyatakan bahwa “kejahatan krah putih” adalah kejahatan yang dilakukan
oleh orang-orang yang memiliki kedudukan sosial yang tinggi dan
mempunyai pekerjaan terhormat. Dalam
pengertian tersebut mengandung 2 ciri, yaitu pelaku kejahatan berstatus
sebagai orang terhormat, dan mempunyai kedudukan atau jabatan dalam
suatu organisasi. Selanjutnya Sutherland menegaskan bahwa “a crime commited by a person of respectability and high social and status in the course of his occupation. Kedua tipe tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda sehingga strategi penanggulangannya juga berbeda.
Berkaitan dengan pengertian “kejahatan krah putih”, Muladi berpendapat, bahwa istilah white-collar crime menunjuk pada kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh pengusaha dan para pejabat eksekutif yang merugikan kepentingan umum. Senada dengan pendapat ini, Setiyono mengemukakan, bahwa white-collar crime adalah
kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kedudukan
sosial tinggi dan memiliki pekerjaan yang terhormat dengan cara
menyalahgunakan wewenangnya. Sedangkan Ellen S. Podgor berpendapat sebagai berikut.
White-collar
criminal is illegal acts that use deceit, and concealment--rather than
the application or threat of physical force or violence--to obtain
money, property, or service; to avoid the payment or loss of money; or
to secure a business or professional advantage. White collar criminals
occupy positions of responsibility and trust in government, industry,
the professions and civic organizations. Although it appears that the
Department of Justice
continues to adhere to this definition of' white collar crime, others
now concentrate exclusively on the nature of the offense in defining
white collar crime… white collar crime "nonviolent crime for financial
gain committed by deception.
“Kejahatan
krah putih” merupakan suatu tindakan tidak sah yang menggunakan cara
penipuan atau penyembunyian, dan tidak banyak menggunakan ancaman atau
kekuatan fisik (kekerasan), dengan tujuan memperoleh uang, hak milik,
jasa layanan; menghindari kewajiban pembayaran tertentu; atau
mengamankan suatu bisnis. Pelaku “kejahatan krah
putih” biasanya menduduki posisi dan tanggung jawab serta kepercayaan
pada struktur pemerintahan, industri, organisasi profesi, dan organisasi
kemasyarakatan. Kejahatan tersebut bersifat eksklusif, yaitu sebagai kejahatan yang dilakukan dengan tanpa menggunakan kekerasan fisik untuk memperoleh keuntungan atau kekayaan dengan cara penipuan. Hal ini sesuai juga dengan pendapat Sutherland, bahwa “white collar crime is a crime commited by a person of respectability and high social and status in the course of his occupation".
C. ANALISIS KEKUATAN, KELEMAHAN, PELUANG, DAN TANTANGAN PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONENSIA
Analisis terhadap kekuatan, kelemahan, peluang, dan tantangan lazim disebut analisis SWOT. Dalam ilmu menajemen dikenal istilah analisis SWOT, yang merupakan singkatan dari kata Strenghts, Weaknesses, Opportunities, Threats. Analisis ini digunakan untuk mengetahui potensi organisaisi melalui evaluasi diri (self evaluation)
untuk menentukan peluang yang dapat diraih, kekuatan yang harus
dipertahankan, kelemahan yang harus dihapuskan, dan tantangan yang
sedang dan akan dihadapi. Pengertian dari keempat
istilah tersebut adalah (a) kekuatan-kekuatan yang dipunyai oleh
kesatuan yang akan melaksanakan rencana (strenghts); (b) kelemahan-kelamahan yang dimiliki oleh kekuatan yang akan melaksanakan renacana (weaknesses); (c) peluang-peluang yang dapat dinmanfaatkan (opportunities); dan (d) ancaman atau tantangan yang akan dihadapi (threats). Analisis
SWOT di atas merupakan analisis dalam bidang ekonomi dan berkaitan
dengan penentuan strategi perusahaan untuk meningkatkan kinerja
manejerial. Meskipun dalam analisis SWOT ini penulis tidak membuat gambaran posisi sebagaimana yang diajarkan pada analisis SWOT. Tujuan
analisis ini hanya untuk memudahkan pehamaman, bukan semata-mata
menentukan strategi penanggulangan sebagaimana diformulasikan dalam ilmu
manajemen.
Berdasarkan pendapat Muladi, analisis SWOT atas pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia adalah sebagai berikut.
1. Kekuatan (strength), pemberantasan korupsi di Indonesia
selama inin adalah secara struktural dan substantif telah terjadi
penyempurnaan, antara lain dalam bentuk keberadaan KPK dan pelbagai
pembaharuan perundang-undangan tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi. Di samping itu, adanya suasana kondusif berupa strong political will
pemerintahan baru yang didukung kehendak masyarakat untuk memberantas
KKN yang luar biasa, dan keberadaan RAN (Rencana Aksi Nasional)
pemberantasan korupsi.
2. Kelemahan (weakness) adalah membentuk semangat profesionalisme (expertise, social responsibility and corporateness)
SDM yang lemah, belum mantapnya reformasi birokrasi yang menjamin
keberadaan nilai-nilai efektivitas, kebersihan dan demokrasi, sangat
lemahnya koordinasi antarlembaga penegak hukum (arogansi sektoral),
kepemimpinan sektoral yang seringkali mendemonstrasikan kemiskinan moral
dan intelektual. Kemudian, mengakibatkan disiplin aparat yang lemah,
kerjasama internasional yang lemah (ekstradisi), Mutual Legal Assistance (MLA), transfer of proceeding, joint investigation,
pelatihan, sosialisasi hukum tentang tindak pidana korupsi yang kurang,
kesadaran yang lemah terhadap asas-asas (principles) tentang good governance dan general principles of good administration di lingkungan sektor publik serta asas-asas good corporate governance di lingkungan sektor privat; lemahnya budaya anti korupsi (contoh money politics yang merebak) dan budaya malu, dan kurangnya kesadaran untuk mengembangkan preventive anti corruption strategy dan hanya memfokuskan diri pada langkah-langkah represif.
3. Peluang (opportunity)
pemberantasan korupsi cukup besar berkat kepemimpinan nasional yang
memiliki legitimasi sosial yang kuat karena dipilih langsung rakyat yang
committed pada pemberantasan korupsi. Selain itu, keberadaan UN Convention
Against Corruption 2003 menjanjikan kerjasama internasional yang lebih
baik dan menguntungkan negara-negara berkembang; kesediaan pakar-pakar
hukum pidana perguruan tinggi dan NGO's yang belum dimanfaatkan secara
optimal.
4. Tantangan (threat)antara
lain, masih adanya kekuatan-kekuatan yang tidak reformis dan cenderung
bermental KKN, merosotnya citra penegak hukum karena belum menunjukkan
kinerja pemberantasan korupsi yang memuaskan, kekuasaan kehakiman yang
merdeka (independence of judiciary) yang seolah-olah
untouchable namun kurang didukung oleh integritas, profesionalisme dan
akuntabilitas yang memadai; 'fragmentasi' dan citra negatif terhadap
sistem rekrutmen, promosi dan mutasi di lingkungan penegak hukum;
kesejahteraan pegawai yang rendah (underpaid), melibatkan partai politik dalam pemerintahan tanpa konsep yang jelas antara tugas-tugas political apponitee dan pejabat karir, lemahnya pembenahan di lingkungan private sector,
masih adanya ketentuan perundang-undangan yang menghambat pemberantasan
tindak pidana korupsi, kepemimpinan penegak hukum di segala lini yang
lemah, dan praktik-praktik selective law enforcement yang masih terjadi.
Strategi pemberantasan tindak pidana korupsi mencakup dimensi yang luas, mengingat korupsi di Indonesia
sudah dalam taraf yang sangat memprihatinkan. Beberapa hal yang perlu
diperhatikan, di samping beberapa hal yang sudah dikemukakan di atas
adalah:
a. Rekrutmen kepemimpinan di segala lini yang anti KKN.
b. Penguatan dan reformasi kelembagaan baik publik maupun privat terus menerus.
c. Penguatan hukum, praktik hukum dan acaranya.
d. Pembentukan lingkungan luas yang berbudaya anti korupsi, baik sektor publik maupun sektor privat.
e. Pengembangan strategi yang proporsional antara langkah represif dan langkah preventif. Harmonisasi hukum terhadap perkembangan internasional (UN Convention Against Corruption, 2003).
f. Mendorong partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi.
D. LANGKAH-LANGKAH STATEGIS KEBIJAKAN KRIMINAL TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA TAHUN 2008
Istilah kebijakan kriminal diterjemahkan dari istilah criminal policy (bahasa Inggris). Istilah tersebut merupakan persamaan dari istilah politiek criminal (Bahasa Belanda). G. Peter Hoefnagels menjelaskan, bahwa (a) criminal policy is the science of science responses; (b) criminal policy is the science
of crime prevention; (c) criminal policy is a designating human
behavior as crime; (d) criminal policy is a rational total of the
responses to crime. Kebijakan
kriminal adalah ilmu pengetahuan yang memberi tanggapan. Kebijakan
tersebut merupakan ilmu pengetahuan dalam penanggulangan kejahatan.
Kebijakan kriminal juga merupakan penjelmaan dari ilmu pengetahuan dan
bersifat terapan.
Berdasarkan pendapat Hoefnagels, kebijakan kriminal terdiri atas kebijakan penal dan kebijakan nonpenal. Kebijakan
penal atau lazim disebut kebijakan hukum pidana adalah penanggulangan
kejahatan yang dilakukan dengan cara menerapkan hukum pidana di
masyarakat, sedangkan pengertian kebijakan nonpenal adalah
menangggulangi kejahatan dengan tanpa menggunakan hukum pidana, yaitu
dengan cara mempengaruhi pendangan masyarakat tentang kejahatan melalui
media massa dan penanggulangan tanpa pemidanaan.
Berdasarkan
pendapat Hoefnagels, dapat diketahui bahwa penerapan hukum pidana untuk
menangulangi kejahatan meliputi ruang lingkup berikut.
a) Administrasi
peradilan pidana dalam arti sempit, yaitu pembuatan hukum pidana dan
yurisprudensi, proses peradilan pidana dalam arti luas (meliputi
kehakiman, ilmu kejiwaan, ilmu sosial), dan pemidanaan.
b) Psikiatri dan psikologi forensik.
c) Forensik kerja sosial.
d) Kejahatan, pelaksanaan pemidanaan dan kebijakan statistik.
Kebijakan hukum pidana adalah penerapan hukum pidana untuk memberantas kejahatan. Memang, hukum pidana bukan merupakan posisi yang strategis dalam memberantas KKN, dan hanya bersifat ultimum remidium (obat terakhir), tetapi pada dasarnya pada hukum pidana terdapat fungsi premium remidium (obat penangkal). Dalam
lingkup kebijakan penanggulangan kejahatan, hukum pidana hanya
merupakan salah satu upaya dari beberapa upaya penanggulangan kejahatan.
Selanjutnya Bambang Poernomo mengemukakan bahwa penerapan hukum pidana
dalam penanggulangan kejahatan, di satu pihak hukum pidana dan
pelaksanaannya dibutuhkan sebagai sarana menuju kedamaian karena hukum
pidana memang dalam hal-hal tertentu ampuh untuk menanggulangi
kejahatan, tetapi di pihak lain hukum pidana dan pelaksanaannya dapat
merugikan individu maupun masyarakat luas karena mengandung dimensi
absolutisme dengan kecenderungan menimbulkan overcriminalization dan crime infection. Hukum
pidana dapat tidak berfaedah apabila eksistensi dan aplikasinya tidak
terarah pada prinsip tepat guna dan hasil guna dalam masyarakat. Dalam membahas tindak pidana korupsi di Indonesia,
penulis menggunakan konsepsi sistem hukum sebagaimana dikemukakan
Friedman, yang menyatakan bahwa sistem hukum terdiri atas substansi
hukum, struktur hukum dan budaya hukum.
Jabaran berikut menguraikan langkah-langkah strategis kebijakan hukum pidana terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia. Merujuk pada pendapat Friedman, sistem hukum terdiri atas 3 komponen, yaitu substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum.
a. Substansi Hukum (Legal Substance)
Substansi
hukum yang dapat diartikan sebagai sejumlah peraturan, norma dan
perilaku orang-orang di dalam sistem hukum. Legal substance berkaitan
erat dengan apa yang dihasilkan atau dilakukan oleh mesin atau struktur
hukum di atas. Meskipun substansi hukum tentang tindak pidana korupsi, yaitu Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah “memadai” (?). saat ini tidak
ada lagi celah hukum bagi koruptor untuk berlindung di balik
kerahasiaan bank sebagai tempat menyembunyikan dan mencuci uang karena
UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, dan UU No 15 tahun 2002 juncto UU No 25 Tahun
2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sudah menutup celah hukum. Penutupan
celah hukum baru berjalan efektif jika otoritas perbankan dan pimpinan
bank memiliki komitmen yang sama dengan aparatur penegak hukum dan KPK.
Apalagi UU No 7 Tahun 1992 juncto UU No 10 tahun 1998
tentang Perbankan memberi peluang pembukaan keterangan keadaan keuangan
tersangka (Pasal 42). Peran Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK) dalam pemberantasan korupsi juga tidak kalah penting.
Karena itu, kerja sama erat lembaga ini dan KPK amat strategis dalam
menelusuri jejak peredaran uang hasil korupsi. Secara teknis hukum, hal
ini dapat dilaksanakan dengan menyertakan pejabat PPATK sebagai saksi
ahli. Konvensi Menentang Korupsi (Convention Against Corruption, 2003) yang sudah diadopsi Pemerintah Indonesia,
Desember 2003, memuat ketentuan itu. Dengan bahasa wajib (mandatory
language), konvensi itu menuntut agar tiap negara peserta konvensi sudah
memasukkan ketentuan yang dapat membuka kerahasiaan bank untuk
kepentingan penyidikan tindak pidana korupsi (Pasal 31 Ayat 7 juncto
Pasal 40 dan Pasal 55). Perkembangan ini menuntut seluruh pejabat
otoritas perbankan dan pimpinan bank untuk memahami dan melaksanakan
ketentuan pembukaan kerahasiaan bank sepanjang menyangkut status hukum
tersangka dalam perkara tindak pidana korupsi atau tindak pidana lain.
Apalagi KPK sudah dibekali ketentuan khusus untuk melaksanakan instrumen
internasional itu dalam UU No 30/2002 (Pasal 12 Huruf c dan Huruf d).
Meskipun
demikian, masih banyak perangkat hukum yang belum mendukung, misalnya
tentang undang-undang perlindungan saksi yang sulit diterapkan. Perlindungan
saksi selalu berkaitan keamanan dan kenyamanan fisik, psikologis,
identitas, dan relokasi bagi saksi sebagai pelapor, dari orang lain yang
berkenaan dengan kesaksian yang akan, tengah atau telah diberikannya
atas suatu perkara pidana.
Dalam
rangka meningkatkan penerapan hukum pidana, perlu ditingkatkan
penerapan “Asas Pembuktian Terbalik”. Sistem pembuktian terbalik (omkering van de bewijslast) merupakan cara yang jitu untuk menjerat pelaku
korupsi. Dalam pembuktian terbalik, orang yang dituduh melakukan tindak
pidana itulah yang harus membuktikan di depan pengadilan, bahwa ia
tidak bersalah. Berbeda dengan pembuktian biasa, jaksa yang harus
membuktikan seseorang bersalah atau tidak dalam pembuktian terjadinya
tindak pidana. Pembuktian terbalik sebenarnya bukanlah hal yang baru di
negeri ini. Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 1997 mengenai Pengelolaan
Lingkungan Hidup maupun UU Nomor 8 Tahun 1999 mengenai Perlindungan
Konsumen, secara tegas mengatur penerapan asas pembuktian terbalik itu
walaupun berbeda alasan yang mendasarinya dan penerapannya pada
persidangan. Dalam Pasal 37 Undang-undang No. 20 Tahun 2001, diatur
sebagai berikut.
(1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.
(2) Dalam
hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana
korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai
dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.
Dalam
Penjelasan Pasal 37 ayat (1) diatur, bahwa Pasal ini sebagai
konsekuensi berimbang atas penerapan pembuktian terbalik terhadap
terdakwa. Terdakwa tetap memerlukan perlindungan hukum yang berimbang
atas pelanggaran hak-hak yang mendasar yang berkaitan dengan asas
praduga tak bersalah (presumption of innocence) dan menyalahkan diri
sendiri (non self-incrimination). Sedangkan dalam Penjelasan Ayat (2)
ditegaskan bahwa ketentuan ini tidak menganut sistem pembuktian secara
negatif menurut undang-undang (negatief wettelijk).
Ketentuan
pembuktian ternbalik hanya berlaku pada tindak pidana baru tentang
gratifikasi dan terhadap tuntutan perampasan harta benda terdakwa yang
diduga berasal dari salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
a. UU No. 31 Tahun 1999, yaitu Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16
b. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12.
Asas
pembuktian terbalik telah dipraktikkan oleh Pengadilan Tinggi Hong
kong dalam kasus ICAC Hong Kong terhadap pemohon 'judicial review"
terhadap proses pembuktian terbalik yang dilaksanakan oleh pengadilan
rendah telah sesuai dengan Hong Kong Bribery Ordinance Act.
Keputusan Pengadilan Tinggi Hong kong menganggap bahwa proses
pembuktian terbalik yang telah dilaksanakan pengadilan rendah telah
memberikan keadilan sama bagi kedua belah pihak yaitu kepada pemohon
maupun kepada ICAC Hong Kong dalam menyampaikan pembuktiannya.
Berlainan
dengan model Hong Kong (dalam pembuktian terbalik) yang dapat digunakan
dalam kasus korupsi melalui prosedur hukum acara pidana, maka model
pembuktian terbalik dalam Konvensi Anti Korupsi 2003 (Pasal 31 ayat 8),
dan banyak memperoleh pengakuan dari negara-negara maju baik yang
menggunakan sistem hukum "Common Law" dan "Civil Law",
yaitu mendukung penggunaan prosedur keperdataan dalam menerapkan
teori pembuktian terbalik dengan keseimbangan kemungkinan tersebut,
artinya, sepanjang prosedur pembuktian terbalik tersebut ditujukan untuk
menggugat hak kepemilikan seseorang atas harta kekayaannya yang
berasal dari tindak pidana korupsi. Konvensi Anti-Korupsi 2003 yang
telah diratifikasi telah memuat ketentuan mengenai pembuktian terbalik
(Pasal 31 ayat 8) dalam konteks proses pembekuan (freezing), perampasan (seizure), dan penyitaan (confiscation)
di bawah judul Kriminalisasi dan Penegakan Hukum (Bab III).
Pascaratifikasi Konvensi Anti Korupsi 2003 sudah tentu berdampak
terhadap hukum pembuktian yang masih dilandaskan kepada Undang-undang
Hukum Acara Pidana Nomor 8 tahun 1981 dan ketentuan mengenai
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan serta pemeriksaan pengadilan di
dalam UU nomor 31 Tahun 1999 junto UU No. 20 Tahun 2001. Berdasarkan
fakta tersebut, Romli Atmasasmita mengemukakan bahwa masih diperlukan
perubahan mendasar, antara lain pembentukan hukum acara khusus
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi dalam UU
yang baru tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Sebagai
perbandingan, Pemberantasan korupsi dan sistem akuntabilitas publik di
Thailand sudah menjadi kebijakan publik sejak diberlakukannya UUD 1997
yang dirancang dan didesakan oleh gerakan rakyat sejak awal tahun
1990-an. Korupsi yang menjadi ciri sistem pemerintahan Otoriter selama
60 tahun, tidak lagi ditangani secara konvensional, tapi mulai ditangani
oleh lembaga baru dengan pendekatan luar biasa (extra ordinary) yang lebih modern dan komprehensif. Sesuai dengan mandat konstitusi, selain dibentuk NCCC (National Counter Corruption Commission) yang
berwenang melakukan penyidikan dan penuntutan kasus korupsi, juga
perubahan dalam sistem peradilan satu tahap untuk kasus korupsi yang
melibatkan pejabat tinggi dan politisi. Bagian lainnya dari sistem
antikorupsi dan public accountability yang penting adalah Lembaga Money Laundering (AMLO), Ombudsman,
dan Mahkamah Konstitusi, Sistem Peradilan Satu Atap untuk Korupsi
Politik, Kebebasan memperoleh Informasi, dan Perlindungan Saksi. Semua langkah tersebut perlu dilakukan secara terpadu (terintegrasi).
Di Thailand terdapat ketentuan sebagaimana di Indonesia,
yaitu kewajiban pejabat negara untuk melaporkan kekayaan. Jika pajabat
tersebut tidak memenuhi kewajiban, maka akan dicopot dan dilarang
menduduki jabatan publik selama lima tahun ke depan. Bahkan Konstitusi Thailand yang baru memberikan legal framework
yang memberikan kemudahan pemberantasan korupsi, khususnya bagai
pejabat tingggi dan politisi yang sulit dijerat oleh pendekatan hukum
konvensional. Selain
itu, Pasal 291 UUD 1997 mewajibkan kepada pejabat tinggi atau birokrat
senior dan mereka yang menduduki jabatan-jabatan politik untuk
menyampaikan laporan kekayaan kepada NCCC. Yaitu meliputi Perdana
Menteri, anggota parlemen, Senator, gubernur dan anggota eksekutif
pemerintahan lokal. Selain politisi , pejabat negara seperti Ketua MA
dan wakilnya, Ketua Pengadilan Administrasi Negara dan wakilnya, Jaksa
Agung, Ombudsman dan direktur jenderal dan yang selevelnya, juga terkena
ketentuan yang sama. Laporan kekayaan tersebut, tidak saja menyangkut
dirinya, juga istri dan anaknya, dan harus dikirimkan 30 hari setelah
menduduki jabatannya dan setelah meninggalkan jabatannya, dan setiap
tiga tahun bagi pejabat yang masih menduduki jabatannya.
Menghadapi
fakta tersebut di atas, maka salah satu strategi untuk mencegah korupsi
di kalangan pejabat negara, legislator perlu menerbitkan undang-undang
tentang konflik kepentingan. Materi di dalamnya mengatur sejumlah
kepentingan yang harus dihindari pejabat, karena dapat menyebabkan
korupsi. Berkaitan dengan ide tersebut, Predisen Yudhoyono saat membuka Seminar Konflik Kepentingan di Istana Negara, Jakarta
menyatakan, "Saya menyambut baik upaya pencegahan konflik kepentingan
dengan mencantumkan hal itu dalam berbagai jenis hukum dan peraturan di Indonesia, antara lain dalam Undang-Undang Anti Korupsi" .
Selain melindungi aset negara dan umum dari tindak pidana korupsi,
pengaturan konflik kepentingan juga upaya mendapatkan kembali
kepercayaan masyarakat. Pengaturan konflik kepentingan tidak hanya
semata-mata untuk melindungi aset umum, namun juga merupakan syarat dari
suatu negara atau pemerintahan untuk memperoleh kepercayaan dari warga
negaranya. Bajkan saat ini Ketua Komisi
Pemberantasan Korupsi, Taufiqurahman Ruki, menyatakan, pihaknya mendesak
pemerintah mengeluarkan UU tentang konflik kepentingan pejabat negara.
Undang-undang tersebut berguna untuk melindungi aset negara dari
penyalahgunaan wewenang oleh pejabat terkait.
Selain
itu, kendala subtantif lainnya adalah ketentuan tentang perlunya izin
dari presiden untuk memeriksa pejabat negara yang diduga melakukan
tindak pidana korupsi. Yohanes Usfunan, menyatakan bahwa ketentuan
tentang izin Presiden untuk memeriksa pejabat negara yang terlibat
korupsi selama ini menghambat efektivitas penanganan perkara korupsi dan
pencegahannya. Pasal 106 UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan
Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta Pasal 36 UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah sama-sama mengatur izin pemeriksaan pejabat
negara. Dari perspektif hukum pemerintahan, hakikat izin sebagai salah
satu bentuk pengawasan preventif guna mencegah pelanggaran hukum. Oleh
karena itu, izin pemeriksaan pejabat negara yang diduga korup sama
dengan melindungi koruptor secara normatif. Izin Presiden atas
permintaan penyidik, sesuai Pasal 36 Ayat (1) UU No 32 Tahun 2004, dalam
kasus tertentu berpeluang disalahgunakan penyidik "melindungi" koruptor
dengan dalih masih menunggu izin Presiden. Padahal mungkin saja
permohonan ke Presiden tidak pernah dikirim. Diskriminasi Izin
pemeriksaan pejabat negara membuktikan perlakuan diskriminatif dan
mengabaikan asas persamaan di depan hukum antara pejabat negara dan
pegawai negeri lain yang terlibat korupsi. Persamaan merupakan salah
satu HAM sipil yang berkarakter absolut sehingga tidak boleh dilanggar
oleh siapa pun sesuai dengan Pasal 28 D UUD 1945 jo.
Pasal 4 UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Karena itu, dalam
politik legislasi, guna menciptakan hukum responsif sesuai dengan
tuntutan dan harapan masyarakat, ketentuan tentang izin Presiden dalam
hukum positif perlu dicabut. Izin Presiden dapat diganti pemberitahuan
tertulis penyidik ke pejabat terkait secara hierarkis sampai Presiden
sebagai laporan. Laporan itu guna mengawasi pemeriksaan pejabat negara
yang diduga korup. Maka, pengawasan pemerintah perlu ditingkatkan
kendati masyarakat masih meragukan obyektivitas pengawasan badan
pengawas daerah mengingat pejabatnya diangkat kepala daerah.
b. Struktur Hukum (Legal Structure)
Soko guru utama penegakan hukum (law enforcement) adalah penegak hukum/struktur hukum (legal culture), meskipun peranan subtansi hukum dan budaya hukum tidak dapat di-sepele-kan. Legal structure .. a kind of cross section of the legal system- a kind of still photograph, which freezes the action. Dengan
demikian, elemen struktur hukum merupakan semacam mesin. Elemen
struktur hukum yang terdiri atas misalnya jenis-jenis peradilan,
yurisdiksi peradilan, proses banding, kasasi, peninjauan kembali,
pengorganisasian penegak hukum, mekanisme hubungan polisi kejaksaan,
pengadilan, petugas pemasyarakatan, dan sebagainya.
Penegakan hukum yang baik akan menyokong masyarakat untuk mencapai kesejahteraannya. Hal ini selaras dengan isi kesepakan dunia internasional yang dituangkan dalam Code of Conduct for Law Enforcement Officials
(CCLEO) yang diterima oleh Majelis Umum PBB dalam Resolusi 34/169, 17
Desember 1979. Resolusi ini menekankan bahwa hakikat dari fungsi
penegakan hukum dalam pemeliharaan ketertiban umum dan cara melaksanakan
fungsi tersebut memiliki dampak langsung terhadap mutu kehidupan
manusia.
Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono mengakui bahwa upaya memberantas korupsi
merupakan suatu tugas yang rumit dan acapkali berbahaya. Meskipun demikian, bukan berarti kelemahan dalam penegakan hukum dapat ditolerasnsi dengan ambang batas yang sangat minim. Polri
sangat lemah dalam memberantas korupsi, padahal Polri seharusnya
menjadi garda terdepan dibandingkan dengan aparat lain," kata Ketua
Presidium Indonesian Police Watch (IPW) Neta S. Pane di Jakarta. Kepolisian
Negara Republik Indonesia (Polri) masih dinilai sebagai institusi
paling korup di Indonesia dibandingkan dengan 14 instansi yang diteliti Gallup International, lembaga riset yang meneliti atas nama Transparency International Indonesia (TII)
dan dipublikasikan pada 6 Desember 2007. Polisi mendapatkan skor 4,2;
sedangkan peringkat berikutnya adalah pengadilan dengan skor 4,1,
parlemen dengan skor 4,1, dan disusul partai politik dengan skor 4,0.
Sejak tahun 2006 hingga 2007 menurut survei tersebut, institusi
kepolisian dan pengadilan menempati urutan teratas sebagai lembaga
terkorup di Indonesia. Memang sangat ironis, namun itulah kenyataan
dilapangan. Kedua lembaga tersebut merupakan ujung tombak penegakan
hukum di Indonesia
yang seharusnya menjadi teladan, ternyata menjadi sarang korupsi. Oleh
karena itu, diharapkan tahun 2008 nanti kepolisian dan pengadilan harus
mengembalikan citranya sebagai lembaga terdepan dalam penegakan hukum.
Kapolri menyepakati untuk memublikasikan kepada masyarakat oknum polisi
yang berperilaku negatif dan merugikan rakyat. Menurut Kapolri, dalam
reformasi Polri, yang paling sulit adalah perubahan kultural. Hal itu
menyusul maraknya keluhan sehubungan dengan perilaku negatif polisi yang
mengganggu dan merugikan publik di berbagai daerah. Karena itu, Komisi Kepolisian Nasional perlu ditingkatkan peran dan fungsinya.
Penyebab lemahnya pemberantasan korupsi di Indonesia,
terutama di daerah, selain masih kurang penyidik yang berwawasan hukum
luas, penyidik yang berani berbenturan dengan kekuasaan juga masih
kurang. Penyidik hanya berani pada pelaku yang sudah lemah kekuasaannya,
mantan pejabat, atau pengusaha yang di belakangnya tidak ada back up kekuasaan yang kuat. Menurut
Sahetapy, kejaksaan merupakan salah satu institusi penegak hukum yang
paling ramai disuarakan untuk melakukan perubahan. Akan tetapi, dari
hasil penelitian yang diselenggarakan Komisi Hukum Nasional (KHN),
tampak masih ada kendala yang dihadapi oleh Kejaksaan dalam memenuhi
tuntutan masyarakat itu. Kendala-kendala yang terjadi meliputi; faktor
(sub) budaya dalam struktur organisasi, juga masalah aturan-aturan lama
Kejaksaan yang hingga saat ini masih berlaku. Untuk itu, program-program
pembaruan kejaksaan yang dilaksanakan KHN adalah dalam rangka membantu
institusi penegak hukum itu untuk melaksanakan perintah Undang-undang
Kejaksaan yang baru, khususnya untuk lebih meningkatkan profesionalisme
para jaksa serta mewujudkan Kejaksaan sebagai professional legal organization yang modern. Jaksa
Agung Abdul Rahman Saleh mengakui bahwa lembaga yang dipimpinnya banyak
mengalami kelemahan dan kekurangan, sehingga sorotan tajam dan tudingan
miring yang ditujukan kepada Kejaksaan menjadi suatu yang wajar dan
tidak perlu membuatnya berkecil hati. Hal ini menjadi kendala tersendiri, karena dalam tindak pidana korupsi, jaksa merupakan “gate keeper” dalam sistem peradilan pidana.
Jaksa
Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Kemas Yahya Rahman,
mengungkapkan dari 358 kejaksaan negeri yang ada di Indonesia, 37
diantaranya memiliki “kinerja nol” dalam kasus pidana khusus atau
pemberantasan korupsi. Beberapa kejaksaan adalah Kejaksaan Negeri Sigli
(Nangroe Aceh Darussalam), Wonosari (Yogyakarta), Tebing Tinggi
(Sumatera Selatan), Teluk Kuantan (Riau), dan Kejaksaan Negeri Menado,
Sulawesi Utara. Rendahnya kinerja kejaksaan ini, karena lemahnya
kepemimpinan para kepala kejaksaan negeri dan kurangnya sumber daya
manusia. Sehingga kemampuan manajerialnya perlu diperbaiki. Anggota Komisi kejaksaan perlu segera melakukan langkah strategis untu meningkatkan kinerja kejaksaan.
Secara
normatif, kejaksaan telah meresposisi jati dirinya dengan terbitnya UU
No 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI yang menyebutkan dengan tegas,
bahwa dalam melaksanakan kekuasaan negara dalam bidang penuntutan dan
tugas lainnya dalam UU, maka seorang jaksa harus bersifat merdeka dan
lepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya.
Untuk melaksanakan ketentuan UU No 16 tersebut, telah ditetapkan
Peraturan Presiden No 18 Tahun 2005 tentang Komisi Kejaksaan RI untuk
mengawasi tingkah laku para jaksa serta memikirkan kesejahteraan dan
pembangunan kejaksaan pada umumnya. Kejaksaan perlu meningkatkan
kerjasamanya dengan Kepolisian termasuk dengan Badan Pemeriksa Keuangan
dan Pembangunan (BPKP), Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan institusi
negara terkait dengan penegakan hukum guna mengembalikan keuangan negara
akibat tindak pidana korupsi.
Sampai
dengan tahun 2007 total laporan masyarakat menginjak angka 16.521.
Namun tidak semua laporan dapat ditindak-lanjuti oleh KPK dengan alasan
sebagian laporan tidak berindikasi korupsi atau tidak disertai dengan
bukti yang cukup. KPK hanya menindak-lanjuti laporan berindikasi korupsi
sebanyak 241 perkara atau 1,46% dari total laporan
Sukses
penanganan perkara KPK juga ditentukan oleh fokus kasus (korupsi),
sumber daya penyidik, dan pembatasan jumlah kasus. Soal jumlah kasus
yang dibatasi bisa dilihat dari laporan yang diterima per 30 September
2007 sebanyak 21.687 kasus. Hasil telaah kasus diteruskan ke lembaga
berwenang (3.475 kasus), internal KPK (447 kasus), sedangkan selebihnya
tidak ditindaklanjuti dan dikembalikan ke pelapor. Dari semua laporan
yang terindikasi korupsi ada 3.437 kasus yang diteruskan ke kepolisian,
kejaksaan, BPKP, BPK, MA,
Bawasda. Oleh karena itu, jika dibandingkan dengan jumlah laporan
publik, kasus korupsi yang ditangani sendiri oleh KPK, sangat terbatas.
Sisi positif dari KPK terletak pada aspek transparansi. Setiap perkara
yang diputus oleh pengadilan, kontrol terhadap setiap denda dan ganti
rugi cukup tertib. Begitu pula yang disetorkan ke kas negara. Dari 59
kasus yang ditangani sampai pengadilan, KPK telah memublikasikan jumlah
uang negara yang diselamatkan mencapai Rp 11,4 miliar pada tahun 2005,
Rp 30,3 miliar pada tahun 2006, Rp 117,4 miliar pada tahun 2007.
Sedangkan uang yang sudah disetor ke kas negara sebesar Rp 6,9 miliar
pada tahun 2005, Rp 12,9 miliar tahun 2006, dan Rp 15,3 miliar hingga
Agustus 2007. Dengan demikian, uang pengganti yang belum ditagih sebesar
Rp 103,8 miliar, sebagaimana dikatakan Wakil Ketua Bidang Penindakan
KPK Tumpak Hatorangan Panggabean.
Berkaitan
dengan upaya peningkatkan peranan Polisi, Jaksa dan Hakim maka perlu
forusm diskusi dengan praktisi dan akademisi. Untuk melihat unsur
korupsi dari sebuah peristiwa hukum harus dianalisa secara komprehensif.
Peranan Polisi dan Jaksa dalam tahapan ini sangat berat. Kadang kala,
Jaksa dan Polisi dalam menganalisa peristiwa hukum tersebut, dalam
rangka case building, tidak komprehensif. Pendekatan yang dilakukan
seringkali hanya menggunakan hukum pidana terutama Undang-undang
Pemberantasan Korupsi. Sementara undang-undang lain seperti UU
Perbankan, UU Perseroan Terbatas, UU Persaingan Usaha, UU Pasar Modal,
UU Keuangan Negara dan Hukum Tata Usaha Negara kurang dilirik. Padahal,
tindak pidana korupsi yang modus operandinya saat ini semakin canggih
saja kadang terbukti menabrak undang-undang itu. Karena itu, jangan
segan-segan mengajak diskusi pihak lain yang lebih pakar atau praktisi
hukum dalam membahas undang-undang tersebut.
c. Budaya Hukum (Legal Culture)
Elemen budaya hukum (legal culture) yang harus diartikan sebagai people’s attitudes toward law and the legal system – their beliefs, values, ideas, and expectations. Dengan kata lain, hal ini merupakan bagian dari general culture yang berkaitan dengan sistem hukum, antara lain tentang
pernyataan bahwa masyarakat kalangan bawah tidak percaya kepada
pengadilan; masyarakat lebih memilih menyelesaikan perkara di luar
pengadilan dari pada di pengadilan; cybercrime di lingkungan perbankan banyak yang tidak dilaporkan untuk menjaga kredibilitas perusahaan. Dengan demikian, legal
culture merupakan whatever or whoever decides to turn the machine (the
legal structure) on and off, and determines how it will be used.
Korupsi
yang terjadi di tingkat masyarakat seoalah telah menjadi budaya alami,
sehingg sangat susah untuk diberantas, namun hanya bisa dikurangi. H.
Abdul Djamil (Rektor IAIN Walisongo Semarang) mengemukakan, bahwa peran
agama untuk pemberantasan korupsi sebenarnya bagus yakni mengajarkan,
berlomba-lomba meraih kebajikan dan menjahui segala kemungkaran atau
kejahatan.Sayangnya hidup manusia yang beragama, tidak pernah konsisten.
Manusia beragama masih bergantung pada situasi dan kondisi. Jika di
lingkungan tempat ibadah, patuh pada hukum agama, namun sebaliknya jika
kondisi memungkinkan, jauh pada aturan agama. Karena itu, korupsi yang
juga terjadi di tingkat masyarakat bawah sangat mungkin terinspirasi
dari korupsi di tingkat atas. Sistem pemerintahan yang ada belum mampu
menciptakan masyarakat bersih karena dalam diri pribadi tersimpan watak
korup. Merajalelanya korupsi terekam dalam survei yang dilakukan Transparency International Indonesia awal tahun 2007, yang mewawancarai para pelaku usaha di Indonesia
dan terungkap bahwa inisiatif permintaan suap kerap kali datang dari
para pelayan publik. Tiga besar lembaga yang paling sering meminta “uang
pelicin” adalah pengadilan, bea-cukai, dan imigrasi.
Di
Thailand partisipasi masyarakat dalam mekanisme akuntabilitas publik
mendapat jaminan yang jelas di dalam konstitusi, dan dalam prakteknya
didorong juga oleh program perlindungan saksi, yang dalam hal-hal
tertentu digunakan oleh NCCC untuk menjaring kasus-kasus korupsi untuk
diinvestigasi. Meskipun di Indonesia ada ketentuan yang mengatur tentang peranserta masyarakat, misalnya Pasal 41 Bab V UU No. 31 Tahun 1999 yang dijabarkan dalam PP No. 71 Tahun 2001, Berapa banyak anggota masyarakat Indonesia yang berperan dan memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan. Dari tinjauan hukum pidana, banyaknya demonstrasi dan berita di media massa tidak selalu menunjukkan adanya tindak pidana korupsi, kolusi dan nepotisme.
Pemerintah
saat ini telah menciptakan, suatu situasi yang dapat memaksa para
pelaku tindak pidana korupsi berpikir ulang sebelum mengulangi
tindakannya. Presiden Yudhoyono juga menjelaskan kepedulian untuk
membasmi korupsi telah meningkat di antara masyarakat. Hal itu terbukti
lebih dari 20 ribu aduan atau dugaan korupsi yang dilaporkan masyarakat
kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) mengeluhkan kualitas laporan dugaan tindak
pidana korupsi (Tipikor) yang masuk ke lembaga itu yang sebagian besar
tidak memenuhi syarat sehingga sulit ditindaklanjuti. Dari sekitar 21
ribu laporan yang masuk ke KPK hingga kini, yang dapat ditindaklanjuti
dua persen lebih. Dalam
hubungannya dengan pemberantasan korupsi diperlukan juga syarat
tingginya kesadaran hukum masyarakat, yang kesadaran hukum itu juga
sekaligus merupakan tujuan dari penegakan hukum pidana korupsi.
Terbentuknya kesadaran hukum masyarakat yang menunjang keberhasilan dari
upaya penegakan hukum pidana korupsi, sedikit banyak dipengaruhi oleh
adanya pemahaman hukum oleh masyarakat tentang hukum itu sendiri.
Jabaran berikut menguraikan langkah-langkah strategis kebijakan non-hukum pidana terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia. Berdasarkan
teori yang dikemukakan Hoefnagels di atas, diketahui bahwa kebijakan
nonpenal dilakukan dengan cara mempengaruhi pandangan masyarakat tentang
kejahatan dan pemidanaan melalui media massa (influencing views of society on crime and punishment/mass media), dan pencegahan tanpa menggunakan pidana (prevention without punishment). Kebijakan
ini mempunyai ruang lingkup yang sangat luas. Beberapa bentuk kebijakan
nonpenal adalah (1) kebijakan sosial, (2) perencanaan dan pengembangan
kesehatan mental masyarakat, (3) perbaikan kesehatan mental secara
nasional, dapat meliputi upaya menciptakan kesejahteraan sosial dan
kesejahteraan anak-anak, dan (4) penerapan hukum administrasi dan hukum
perdata. Tujuan utama dari usaha-usaha dalam
ruang lingkup kebijakan nonpenal adalah memperbaiki kondisi-kondisi
sosial tertentu, yang secara langsung atau tidak langsung mempunyai
pengaruh terhadap pencegahan kejahatan. Hal ini selaras dengan hasil
Kongres PBB ke-6 tahun 1980 yang merekomendasikan bahwa “crime prevention strategies should be based upon the elimination of causes and conditions giving rises to crime. Strategi
pencegahan kejahatan hendaknya didasarkan pada upaya menghilangkan
sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan.
Saat
ini pemberantasan korupsi sudah tidak bisa lagi hanya mengandalkan
pendekatan hukum. Karena itu, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) se-Indonesia mulai
memberikan pendidikan antikorupsi bagi mahasiswa. Menteri Agama, M.
Maftuh Basyuni menyambut positif program pendidikan antikorupsi yang
digagas UIN Syarif Hidayatullah. Ia berharap UIN bisa segera melakukan
duplikasi untuk diterapkan di perguruan tinggi lain. Pendidikan
antikorupsi dapat dikembangkan di perguruan tinggi lain dengan analisis
berbeda.
Gerakan moral pemberantasan korupsi di Indonesia
juga dilakukan Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU) dengan
Muhamadiyah. Hasyim Muzadi mengemukakan, bahwa gerakan pemberantasan
korupsi di Indonesia
memang sudah ada. Namun, ia melihat masih banyak kelemahan karena belum
mampu mengatasi masalah korupsi yang telah menjadi penyakit bangsa. Moralitas menjadi bidikan utama langkah preventif pemberantasan korupsi karena moralitas akan menentukan tingkah laku. Secara kriminologis, penyebab utama korupsi adalah moralitas yang bobrok yang mengakibatkan keserakahan. Karena
itu, wajar jika moralitas perlu diperbaiki dengan berbagai cara,
misalnya melalui pendidikan dan penyehatan mental masyarakat. Kesehatan
mental (mental health higine) masyarakat juga terus
ditingkatkan melalui pendidikan formal, informal dan nonformal, termasuk
melalui pendidikan budipekerti, wawasan kebangsanaan, dan pendidikan
agama. Anak-anak juga perlu ditingkatkan kesadaran moralnya, termasuk meningkatkan kesejahteraannya.
Penanggulangan korupsi tidak dapat dilakukan secara cepat dan terburu-buru. Karena
itu, diperlukan penyediaan generasi baru (anak-anak), di antaranya
dengan cara mengimplementasikan muatan materi antikorupsi dalam
kurikulum pendidikan formal. Dalam materi tersebut harus diuraikan
tentang pentingnya pemberantasan korupsi karena tindakan tersebut
merugikan masyarakat secara umum dan melanggar hukum. Kurikulum mulai dimasukkan dalam pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Namun demikian,
untuk mencapai proses menjadi kurikulum tetap, langkah awal bisa
dimasukkan dalam kegiatan ko-kurikuler atau ekstrakurikuler.
Pemanfaatan
hukum perdata dan hukum administrasi negara untuk melakukan upaya
preventif tindak pidana korupsi merupakan langkah yang sangat tepat. Hal
ini didasarkan pada fakta bahwa terjadinya korupsi juga karena buruknya
tata administrasi dan lemahnya pengontrolan kegiatan adminsitrasi di
kalangan birokrat. Melalui penerapan hukum administrasi yang konsisiten,
kolusi (sebagai salah satu langkah awal menuju korupsi) dapat
diminimalisasi.
Secara kriminologis, sampai saat ini belum ada indikasi bahwa tindak pidana korupsi di Indonesia merupakan kejahatan terorganisasi (organized crime) dan merupakan kejahatan lintas negara (trans-national crime). Meskipun demikian, banyak pelaku kejahatan yang akhirnya melarikan diri ke negara asing. Karena itu, Indonesia perlu
melakukan kerja sama internasional untuk menenggulangi kejahatan
tersebut. Kerjasama internasional sebagai salah satu amanat dari
konvensi anti-korupsi juga perlu dilakukan oleh Indoensia. Pemerintah Amerika Serikat, melalui The Millenium Challence Corporation
yang dibentuk Presiden George Bush tahun 2002, telah menyetujui
proposal Pemerintah Indonesia dalam upaya pemberantasan korupsi secara
berkelanjutan dengan memberikan hibah atau grant senilai
35 juta dollar AS atau setara dengan Rp 322 miliar-dengan kurs Rp 9.200
per dollar AS. Persetujuan Pemerintah AS dilakukan pada 25 Oktober
2006. Upaya pemberantasan korupsi harus dilakukan secara terintegrasi
dan berkelanjutan. Selain untuk reformasi peradilan dan Mahkamah Agung
(MA) senilai 14,4 juta dollar AS, pemberdayaan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) senilai 12,3 juta dollar AS atau sekitar Rp 113 miliar,
juga untuk penguatan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK) senilai 1,7 juta dollar AS, dan penerapan pengadaan barang dan
jasa pemerintah senilai 6,5 juta dollar AS.
Saat ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah mewakili Indonesia menjadi anggota Asosiasi Internasional Otoritas Pemberantasan Korupsi (International Association of Anti Corruption Authorities (IAACA)). Keputusan itu dilakukan dalam pertemuan tahunan perdana IAACA yang digelar di Beijing, China, 22 sampai dengan 26 Oktober 2006. IAACA
merupakan asosiasi lembaga-lembaga pemberantas korupsi di dunia. Lebih
dari 120 negara yang mempunyai lembaga/institusi pemberantas korupsi
terdaftar sebagai anggota IAACA. Pembentukan wadah ini salah satu
tujuannya adalah agar negara-negara anggota bisa saling membantu untuk
mengimplementasikan pelaksanaan Konvensi PBB Melawan Korupsi (UNCAC). Indonesia sendiri telah menjadi anggota IAACA sejak Oktober 2006.
Agenda internasional yang akan dilakukan Indonesia dalam tahun ini. Di antaranya adalah Conflict of Interest International Seminar pada 8-9 Agustus, Asset Recovery International Seminar dan ADB-OECD SG Meeting pada 3-7 September, Procurement & Bribery International Seminar pada 4-6 November, dan puncaknya adalah Konferensi II IAACA pada 20-23 November di Bali. Pakistan melalui National Accountability Bureau akan bekerjasama dengan KPK Indonesia.
Dalam mensinergikan kebijakan nonpenal dan kebijakan penal, perlu adanya pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach). Permasalahan
utama dalam mengintegrasikan dan mengharmonisasikan kebijakan nonpenal
dengan penal adalah ke arah penekanan dan pengurangan faktor-faktor
potensial yang menumbuhsuburkan kejahatan. Melalui pendekatan integral tersebut diharapkan pelaksanaan rencana perlindungan masyarakat (social defence planning) berhasil. Keberhasilan
tersebut, dapat menopang keberhasilan pencapaian tujuan kebijakan
sosial yang tertuang dalam rencana pembangunan nasional.
E. PENUTUP
Berdasarkan
pembahasan dalam subbab di atas dapat dipahami bahwa meskipun tidak
secepat yang diharapkan banyak pihak, pemberantasan korupsi di Indonesia melalui penerapan hukum pidana pada era reformasi sudah menunjukkan hasil yang positif. Sayang, pemberantasan korupsi di Indonesia masih mengedepankan tindakan represif belum banyak memanfaatkan kebijakan sosial (social policy) sebagai langkah preventif. Langkah
pencegahan perlu dilakukan karena secara kriminologis, tindak pidana
korupsi mempunyai karakteristik yang cukup kompleks, dapat dilakukan
oleh siapa saja dan kapan saja. Pemerintah Indonesia
dan seluruh komponen bangsa perlu terus mengembangkan kebijakan
kriminal secara padu. Langkah-langkah strategis pemberantasan korupsi di
Indonesia meliputi peningkatan eksistensi substansi hukum, peningkatan struktur hukum, dan perbaikan kultur hukum. Mentalitas penegak hukum dan masyarakat menjadi kunci utama pemberantasan korupsi pada masa akan datang.
*) Dr. Drs. Widodo, S.H., M.H. adalah Dosen Tetap Dipekerjakan (DPK) Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana Malang.
DAFTAR PUSTAKA
Atmasasmita, Romli, 2001, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum. CV. Mandar Maju, Bandung.
Chazawi, Adami, 2003. Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Bayu Media, Malang.
Clarke, Ronald R. (ed.), 1997, Situational Crime Prevention: Successful Case Studies. Second Edition. New York: Harrow and Heston.
Lawrence M. Friedman, Legal System, 1979.
Ganner, Bryan A., 1999, Black’s Law Dictionary, Seventh Edition, West Group, St. Paul, Minn.
Hamzah, Andi, 1986. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Erlangga, Jakarta.
Handoko, I.P.M. Ranu, 1996, Terminologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
Hoefnagels, G. Peter, 1969, The others Side of Criminology, Kluwer-Deventer, Holand
Podgor, Ellen S., 1994, White Collar Crime In A Notshell. West Publishing Co., St. Paul Minn.
Prodjohamidjojo, Martiman, 2001, Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi UU No. 31 Tahun 1999). Bandung: CV Mandar Maju.
Salim, Peter, 1989, The Contemporary Inglish-Indonesian Dictionary, Modern English Press, Jakarta.
Setiyono, 2002, Kejahatan Korporasi: Analisis Viktimologis dan Pertanggung-jawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia.
Sutherland, Edwin H. dan Donald R.Cressey, 1960, Principles of Crimonology, J.B. Lippincott Company, Chicago, Philadelphia, New York.
Yandianto, 2000, Kamus Umum Bahasa Indonesia, M--2S, Bandung.
Webster’s New American Dictionary, 1985.
Makalah
Muladi, 1992. Tindak Pidana Money Laoundring dan Permasalahannya. Makalah dalam Seminar di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, tanggal 8 Januari 1992. p. 1-2.
Koran
Muladi, “Tinjauan Juridis Pemberantasan Korupsi”, Suara Karya, Senin tanggal 21 Maret 2005.
Harian Investor Daily Indonesia, 7 Agustus 2007.
Harian Kompas, 25 Juli 2007
Harian Kompas, 3 November 2006.
Harian Pelita, tanggal 8 Agustus 2007.
Harian Pelita, 7 Agustus 2007.
Harian Republika, 30 Oktober 2006
Harian Seputar Indonesia, Edisi Sore - Jumat, 6 Juli 2007
Kantor Berita Antara, 1 Agustus 2007.
Koran Tempo, 9 Agustus 2007.
Internet
http://www.transparansi.or.id/?pilih=lihatpopulerwawancara&id=1, diakses tanggal 16 Agustus 2007.
http:www.antikorupsi.org/mod.php., diakses tanggal 28 Februari 2006.
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0708/16/utama/3765865.htm, diakses tanggal 16 Agustus 2007.
J.E. Sahetapy, SDM Kejaksaan Masih Lemah, http://www. komisihukum.go.id/news_event., diakses tanggal 28 Februari 2006
http://www.kpk.go.id/modules/news/article.php?storyid=1281, diakses tanggal 16 Agustus 2007.
Perjuangan Melawan Korupsi, 16 Agustus 2007, Editorial,http: /korantempo.com/ orantempo/ 007/08/16/Editorial/krn,20070816,80.id.html
Sixth United Nation Congress Report, 1980, p. 5.
Pribadi Santosa, “2008, Tahun Pengembalian Citra Polisi dan Pengadilan”, Selasa, 25-Desember-2007, 08:55:42. Alamat Penulis, Perumahan Taman Pagelaran, Padasuka, Ciomas, Bogor, Email:
pribadis@plasa.com
UIN Syarif Hidayatullah Kembangkan Pendidikan Antikorupsi, http://www.csrc.or.id/ berita/ Berita=060109032652&Kategori=19, diakses tanggal 16 Agustus 2007.
Retno Sawitri, “Keterbukaan KPK Patut Diapresiasi”, 24-Desember-2007, 08:47:09
|
sumber : http://fh.wisnuwardhana.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=16&Itemid=1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar