Senin, 12 Desember 2011

10 Prinsip Pokok Membuat Gugatan

Dalam praktek, tidak ada pedoman yang baku tentang teknik membuat gugatan. Ada beberapa penyebabnya: Pertama, persoalan yang menimbulkan perkara itu bervariasi; Kedua, terdapat perbedaan selera dari para Penggugat atau pengacara dan advokat sebagai kuasa Penggugat dalam membuat gugatan, terutama soal membahasakannya.
Terlepas dari itu, ada sepuluh hal pokok yang perlu diperhatikan dalam membuat gugatan:
1. Cara berpikir distinktif (distinctive)
2. Dasar Hukum
3. Klasifikasi Hukum
4. Penguasaan Hukum Material
5. Bahasa Indonesia (membahasakannya)
6. Posita harus sinkron dengan petitum
7. Berpikir taktis
8. Ketelitian
9. Singkat, padat tetapi mencakup
10. Hukum Acara Perdata
Kesepuluh prinsip pokok tersebut akan dijabarkan sebagai berikut:
1. Cara Berpikir Distinktif (Distinctive)
Suatu ciri khusus seorang ahli hukum, entah itu sebagai advokat maupun pengacara haruslah mempunyai kemampuan berpikir distinktif,tepat,teliti,dan terkristalisasi.Selain dituntut pula adanya ketajaman dan kelihaian dalam menangani suatu perkara (Schuyt, Law as Communication, diterjemahkan oleh Nico Ngani, Hukum sebagai Mat Komunikasi, 1998: 8).
Berpikir distinktif dalam membuat gugatan sangatlah penting.Kata “distinktif” berasal dari Bahasa Inggris,”distinct” yang artinya terang, jelas, nyata, berbeda (John M. Echols dan Hasan Shadili, 1990:189). Berpikir distinktif maksudnya adalah berpikir secara terang, jelas, tidak mengacaukan hal yang satu dengan lainnya, dan tidak membingungkan para pembacanya.
Dalam hal menyusun gugatan, cara berpikir distinktif ini sangat menentukan berhasil atau tidaknya suatu gugatan.Gugatan yang tidak mengindahkan cara berpikir distinktif seringkali menjadikan gugatan dinyatakan tidak dapat diterima oleh hakim. Contoh berpikir distinktif dalam membuat gugatan adalah seperti berikut:
A misalnya mau menggugat B karena si B menempati tanah milik A secara melawan hukum. Dalam gugatannya, A harus jelas menyatakan tanahnya terletak di mana, luasnya berapa, persil berapa, serta batas-batasnya mana.
Penyebutan batas-batas tanah termasuk juga cara berpikir distinktif. Kalau gugatan menyangkut tanah, keharusan pencantuman batas-batas tanah selain perwujudan dari cara berpikir distinktif juga sesuai pula dengan peraturan hukum/ yurisprudensi (Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 17 April 1979 No.1149/1979).
Penyebutan data tentang tanah si A yang dikuasai si B penting artinya guna membedakannya dengan tanah-tanah milik orang lain. Atau, misalnya, si A hendak menggugat si B karena kerbaunya si A didaku oleh si B. Dalam gugatannya si A harus menyebutkan: kerbaunya jantan atau betina, warnanya apa, tanda-tanda Iainnya apa, umurnya berapa dan lain-lain.
2. Dasar Hukum
Dalam membuat suatu gugatan, bukan anal membuat atau me-nyusun gugatan sekadar untuk cari perkara. Membuat gugatan kepada seseorang harus diketahui terlebih dahulu dasar hukumnya. Dasar hukum ini dapat berupa peraturan perundang-undangan, doktrin-doktrin, praktek peradilan, atau kebiasaan. Gugatan yang tidak ada dasar hukumnya sudah pasti akan ditolak oleh hakim. Sebab, dalam memutuskan suatu perkara secara baik, hakim akan berpegang pada tiga hal, yaitu: kepastian hukum, manfaat, dan keadilan (Sudikno Mertokusumo, 1986: 130). Kepastian dan keadilan merupakan inti dari hukum. Ibarat jiwa dan badan yang tidak dapat dipisahkan (Theo Huijbers, 1990: 277).
Keharusan adanya dasar hukum dalam gugatan mempunyai kaitan erat dengan masalah pembuktian. Misalnya, A menggugat B karena B telah meminjam uang si A, tetapi B tidak mau mengembalikannya.A tentu harus mempunyai dasar,yaitu adanya perjanjian pinjam-meminjam uang secara tertulis. Atau ada perjanjian secara lisan namun harus ada saksi yang mengetahui peristiwa perjanjian pinjam-meminjam itu.
Penguasaan dasar hukum ini penting bukan saja untuk mengajukan gugatan tetapi juga dalam hal menjawab atau membantah jawaban lawan. Sebab, dalam jawab-menjawab bukanlah sekadar membantah tetapi harus ada dasar hukumnya. Pencantuman teori-teori dalam jawaban adalah sangatlah penting. Sebab hal itu dapat membantu hakim menemukan hukum atau apa yang disebut law making. Sejak zaman Roma atau penganut hukum Romawi, text books begitu dianggap penting. Text books adalah pegangan pokok bagi seorang juris dan hakim dalam menyelesaikan perkara (GW Paton, 1951: 102).
3. Klasifikasi Hukum
Sebelum membuat suatu gugatan,hal yang juga perlu diperhatikan adalah masalah klasifikasi atau penggolongan hukum. Klasifikasi ini penting, agar kita dapat menentukan title gugatan, serta menemukan hukumnya (GW Paton, 1951: 206). Apakah suatu gugatan itu dapat diklasifikasikan sebagai gugatan perbuatan melawan hukum, gugatan wanprestasi atau apakah masalah tersebutdapatdikategorikan sebagai peristiwa Perdataatau Pidana, atau juga apakah kasus tersebut dapat digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara dan sebagainya.Masalah penggolongan ini penting, sebab tidak jarang, dalam praktiknya, suatu gugatan tidak dapat diterima hanya disebabkan pengacaranya atau advokatnya tidak dapat mengklasifikasikan masalah hukumnya. Gugatan itu hanya asal dibuat.
4. Penguasaan Hukum Materiil
Hukum Acara Perdata (Hukum Formal) mempunyai tujuan untuk menegakkan hukum material. Oleh karena itu dalam membuat gugatan, penguasaan hukum material sangat menentukan apakah suatu gugatan dinyatakan, dikabulkan, atau ditolak.Sebab yang diperdebatkan jika terjadi gugat-menggugat di pengadilan adalah tentang hukum materialnya. Contoh:A mengatakan bahwa perjanjian tersebut batal karena melanggar Pasal 1320 KUH Perdata. Atau perjanjian tersebut sah karena berdasarkan Pasal 1338 KUH Perdata yang menjelaskan bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi masing-masing pihak yang membuatnya (Subekti, 1982: 307). Ketentuan Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUH Perdata tersebut merupakan ketentuan hukum material. Hukum material, bukan saja peraturan perundang-undangan tetapi juga doktrin-doktrin, teori-teori, peraturan-peraturan, atau kebiasaan.
5. Bahasa Indonesia
Harus diakui secara jujur bahwa banyak di antara Sarjana Hukum, khususnya para advokat, tidak bisa menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar di atas kertas, terlebih dalam hal membuat gugatan. Atau juga dalam hal membuat legal draft lainnya.Kalaupun ada yang baik,jumlah advokat itu dapat dihitung dengan jari saja.
Biasanya mereka selalu berkelit di balik pernyataan klise: bahasa hukum kan punya ciri khusus. Mereka lupa bahwa bahasa hukum sebetulnya tunduk pada kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Betul bahwa ada ciri-ciri khusus dalam bahasa hukum, tetapi bukan berarti melupakan kaidah dasar bahasa Indonesia. Seperti misalnya, susunan kalimat yang baik dan benar adalah terdiri dari subjek, predikat, dan objek. Patuh pada kaidah bahasa Indonesia bukan berarti harus mengikuti bahasa hukum yang disusun oleh orang yang awam hukum:kabur, cengeng,emosional,tidak dikaitkan secara utuh dengan dokmatik hukum, sifatnya adhoc, dan tidak kontekstual (Schuyt, Law as Communication, diterjemahkan oleh Nico Ngani, 1989: 9).
Faktor penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar ini sangat menentukan sukses tidaknya suatu gugatan. Sebab kalau bahasa lndonesianya kacau,orang yang membacanya tidak mudah mengerti apa maksud kita dalam gugatan tersebut.Tidak terkecuali juga bagi hakim yang memeriksa perkara kita. Hakim tidak mudah memahami maksud gugatan. Penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar ini penting, sebab bahasa melambangkan jalan pikiran seseorang. Apalagi bahasa tertulis, yang sudah seharusnya tunduk pada hukum bahasa, hukum logika, dan hukum ilmu hukum itu sendiri.
6. Posita Harus Sinkron dengan Petitum
Posita artinya cerita tentang duduknya perkara atau masalah. Dalam hal menyusun posita yang baik harus tunduk pada kaidahkaidah ilmiah yaitu sistematik, logis dan objektif. Posita yang tidak sistematik, tidak runtut, dan bertentangan satu sama lainnya membuat gugatan dikualifikasikan sebagai gugatan obscuur libel.
Sedangkan petitum adalah tuntutan yang harus diminta atau dimohonkan kepada hakim.Petitum ini harus jelas dan tidak boleh bertentangan satu sama lain atau bertentangan dengan posita gugatan. Gugatan yang posita-nya bertentangan dengan petitum membuat gugatan kabur (Sudikno Mertokusumo,1988: 36).
Posita harus sinkron dengan petitum. Maksudnya, kalau A menyatakan dalam posita gugatannya bahwa tanah yang menjadi sengketa adalah miliknya, maka dalam petitum dia harus mengatakan: menyatakan menurut hukum bahwa tanah sengketa adalah milik penggugat.
7. Berpikir Taktis
Berpikir taktis maksudnya adalah berhubungan dengan kelihaian seorang pengacara atau advokat untuk menggali data dari kliennya dan bagaimana menuangkannya dalam gugatan. Tidak semua yang diceritakan oleh kliennya harus diungkapkan dalam gugatan. Walaupun cerita klien tersebut secara logika formal benar, namun belum tentu benar menurut logika hukum.Misalnya,seorang klien menceritakan pada advokatnya bahwa rumahnya ditempati oleh seseorang yang kaya tanpa bayar sewa, hanya disuruh menempati saja sejak tahun 1950-an. Kalau advokatnya tidak bisa berpikir taktis, maka cerita kliennya yang benar itu akan dipercayainya dan advokat tersebut akan langsung membuat gugatan dengan titel “Gugatan Pengosongan Karena Penempatan Tanpa Hae Setelah masukdalam persidangan,orang yang menempati berdalih bahwa dia menempati rumah tersebut sejak tahun 1950-an karena ada hubungan sewa-menyewa.Tetapi jika advokat berpikir taktis maka tidak akan membuat gugatan dengan titel”gugatan pengosongan’,’ tetapi “putus hubungan sewa-menyewa” atau “wanprestasi’: Sebab tidak logis bahwa seseorang yang kaya hanya menempati rumah orang tanpa sewa, walaupun kenyataannya benar demikian.
Selain itu, cara berpikir taktis juga terungkap dalam hal mencantumkan dasarhukumatauteoridalamgugatan.Misalnya saja, apakah perlu atau di mana atau kapan harus dicantumkan, apakah dalam jawaban pertama, apakah dalam duplik, dalam kesimpulan, atau dalam memori banding, ataukah dalam memori kasasi.Banyak advokat yang dalam gugatannya sudah mencantumkan dasar hukum atau teori hukum, tetapi dia lupa bahwa kalau terjadi kekeliruan maka akan berakibat fatal.Tetapi advokat yang berpikir taktis, dalam gugatan atau jawaban pertama dia belum turunkan atau mencantumkan dasar hukum/teori hukumnya, tetapi begitu saat duplik atau replik barulah diturunkan semuanya.
8. Ketelitian
Ketelitian dalam hal membuat gugatan sangat diperlukan. Sebab salah kata, salah istilah, salah kalimat akan mengubah pengertian dan akibatnya akan fatal, yaitu gugatan dinyatakan ditolak dan dinyatakan tidak dapat diterima oleh hakim. Masalah ketelitian ini menyangkut banyak hal. Misalnya, subjek gugatan, objek gugatan, dasar hukum, teori-teori, penggunaan istilah-istilah, sistematika, penyebutan tahun, dan sebagainya.
9. Singkat, Padat,Tetapi Mencakup
Bahasa orang hukum biasanya panjang-panjang dan bertele-tele. Lihat saja bahasa dalam KUH Pidana atau dalam KUH Perdata.Tak mudah untuk dimengerti atau dipahami. Dalam pembicaraan biasa banyak orang yang berkecimpung dalam dunia hukum juga berbicara secara bertele-tele, tidak to the point. Begitu pula kalau membahasakan sesuatu di atas kertas, pasti kalimatnya panjang-panjang dan berputar-putar. Tak terkecuali juga para advokat dalam membuat gugatan atau dalam jawab-menjawab saat berperkara di pengadilan. Masih terlalu sedikit advokat yang mampu membuat gugatan secara singkat, padat tetapi mencakup, cekak aos atau menggunakan istilah Nico Ngani “Kortmaar bondig en- hardig” (singkat tetapi berisi dan menggigit).
Membuat gugatan atau jawab-menjawab dalam perkara ibarat bertinju. Bukan banyaknya pukulan yang harus kena di tubuh lawan yang akan mempunyai nilai tinggi, tetapi biar satu pukulan namun kena pada sasaran, yang nilainya tinggi. Misalnya pada bagian dagu yang akan membuat Knocked Out lawan.
Membuat gugatan seharusnya singkat tetapi padat dan mudah dimengerti. Singkat tidak berarti mengabaikan prinsip membuat gugatan sebagaimana diuraikan di atas. Singkat maksudnya, kalimatnya terang, bahasa Indonesia dan logikanya baik dan benar. Pembuatan gugatan yang singkat dan padat dapat dilakukan kalau kita dapat menggolongkan cerita klien yang sifatnya abstrak dan umum ke dalam hal-hal yang konkret dan khusus. Tidak semua cerita dari klien mempunyai relevansi atau bernilai yuridis. Untuk itu dibutuhkan kepandaian dari advokatnya untuk memilahmilahkan persoalan atau cerita yang sifatnya umum itu ke dalam hal yang konkret.
10. Hukum Acara Perdata
Dalam membuat gugatan sudah barang tentu harus menguasai hukum acara perdata. Penguasaan hukum acara perdata tersebut misalnya menyangkut kompetensi pengadilan, di mana gugatan harus diajukan. Atau bagaimana harus mengajukan gugatan intervensi, perlawanan, eksekusi, dan sebagainya.
Referensi
1. George Whitercross Paton, “A Text-book of Jurisprudence’: OXFORD AT THE CLARENDON PRESS, 1951.
2. John M. Echols dan Hasan Shad ily,”Kamus Inggris-Indonesia”, PT. GRAMEDIA, Jakarta, 1990.
3. Sudikno Mertokusumo, SH., Dr, Prof., “Hukum Acara Perdata Indonesia’: LIBERTY, Yogyakarta, 1988.
4. Sudikno Mertokusumo,SH., Dr, Prof.,”Mengenal Hukum LIBERTY, Yogyakarta, tahun 1986.
5. Subekti R, SH, Prof. dan Tjokrosudibjo,”Kitab Undang-undang Hukum Perdata; PRADNYA PARAMITA, Jakarta, tahun 1982.
6. Schuyt, “Law as Communication’: terjemahan Drs. Nico Ngani, SH., Mcl. MSSW, “Hukum sebagai Alat Komunikasr: YAPHI, Surakarta,1989.
7. Theo Hujbers, Dr., “Filsa fat Hukum dalam Lintasan Sejarah”, KANISIUS,Yogyakarta,tahun 1990.
8. R. Tresna, Mr., Komentar HIR, PRADNYA PARAMITA, Jakarta,
1976.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar