Dalam praktek, tidak ada pedoman yang baku tentang teknik membuat gugatan.
 Ada beberapa penyebabnya: Pertama, persoalan yang menimbulkan perkara 
itu bervariasi; Kedua, terdapat perbedaan selera dari para Penggugat 
atau pengacara dan advokat sebagai kuasa Penggugat dalam membuat 
gugatan, terutama soal membahasakannya. 
Terlepas dari itu, ada sepuluh hal pokok yang perlu diperhatikan dalam membuat gugatan:
1. Cara berpikir distinktif (distinctive)
2. Dasar Hukum
3. Klasifikasi Hukum
4. Penguasaan Hukum Material
5. Bahasa Indonesia (membahasakannya)
6. Posita harus sinkron dengan petitum
7. Berpikir taktis
8. Ketelitian
9. Singkat, padat tetapi mencakup
10. Hukum Acara Perdata
1. Cara Berpikir Distinktif (Distinctive)
Suatu
 ciri khusus seorang ahli hukum, entah itu sebagai advokat maupun 
pengacara haruslah mempunyai kemampuan berpikir 
distinktif,tepat,teliti,dan terkristalisasi.Selain dituntut pula adanya 
ketajaman dan kelihaian dalam menangani suatu perkara (Schuyt, Law as 
Communication, diterjemahkan oleh Nico Ngani, Hukum sebagai Mat 
Komunikasi, 1998: 8).
Berpikir distinktif dalam membuat gugatan 
sangatlah penting.Kata “distinktif” berasal dari Bahasa 
Inggris,”distinct” yang artinya terang, jelas, nyata, berbeda (John M. 
Echols dan Hasan Shadili, 1990:189). Berpikir distinktif maksudnya 
adalah berpikir secara terang, jelas, tidak mengacaukan hal yang satu 
dengan lainnya, dan tidak membingungkan para pembacanya.
Dalam hal
 menyusun gugatan, cara berpikir distinktif ini sangat menentukan 
berhasil atau tidaknya suatu gugatan.Gugatan yang tidak mengindahkan 
cara berpikir distinktif seringkali menjadikan gugatan dinyatakan tidak 
dapat diterima oleh hakim. Contoh berpikir distinktif dalam membuat 
gugatan adalah seperti berikut:
A misalnya mau menggugat B karena si B
 menempati tanah milik A secara melawan hukum. Dalam gugatannya, A harus
 jelas menyatakan tanahnya terletak di mana, luasnya berapa, persil 
berapa, serta batas-batasnya mana.
Penyebutan batas-batas tanah 
termasuk juga cara berpikir distinktif. Kalau gugatan menyangkut tanah, 
keharusan pencantuman batas-batas tanah selain perwujudan dari cara 
berpikir distinktif juga sesuai pula dengan peraturan hukum/ 
yurisprudensi (Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 17 
April 1979 No.1149/1979).
Penyebutan data tentang tanah si A yang 
dikuasai si B penting artinya guna membedakannya dengan tanah-tanah 
milik orang lain. Atau, misalnya, si A hendak menggugat si B karena 
kerbaunya si A didaku oleh si B. Dalam gugatannya si A harus 
menyebutkan: kerbaunya jantan atau betina, warnanya apa, tanda-tanda 
Iainnya apa, umurnya berapa dan lain-lain.
2. Dasar Hukum
Dalam
 membuat suatu gugatan, bukan anal membuat atau me-nyusun gugatan 
sekadar untuk cari perkara. Membuat gugatan kepada seseorang harus 
diketahui terlebih dahulu dasar hukumnya. Dasar hukum ini dapat berupa 
peraturan perundang-undangan, doktrin-doktrin, praktek peradilan, atau 
kebiasaan. Gugatan yang tidak ada dasar hukumnya sudah pasti akan 
ditolak oleh hakim. Sebab, dalam memutuskan suatu perkara secara baik, 
hakim akan berpegang pada tiga hal, yaitu: kepastian hukum, manfaat, dan
 keadilan (Sudikno Mertokusumo, 1986: 130). Kepastian dan keadilan 
merupakan inti dari hukum. Ibarat jiwa dan badan yang tidak dapat 
dipisahkan (Theo Huijbers, 1990: 277).
Keharusan adanya dasar 
hukum dalam gugatan mempunyai kaitan erat dengan masalah pembuktian. 
Misalnya, A menggugat B karena B telah meminjam uang si A, tetapi B 
tidak mau mengembalikannya.A tentu harus mempunyai dasar,yaitu adanya 
perjanjian pinjam-meminjam uang secara tertulis. Atau ada perjanjian 
secara lisan namun harus ada saksi yang mengetahui peristiwa perjanjian 
pinjam-meminjam itu.
Penguasaan dasar hukum ini penting bukan saja
 untuk mengajukan gugatan tetapi juga dalam hal menjawab atau membantah 
jawaban lawan. Sebab, dalam jawab-menjawab bukanlah sekadar membantah 
tetapi harus ada dasar hukumnya. Pencantuman teori-teori dalam jawaban 
adalah sangatlah penting. Sebab hal itu dapat membantu hakim menemukan 
hukum atau apa yang disebut law making. Sejak zaman Roma atau penganut 
hukum Romawi, text books begitu dianggap penting. Text books adalah 
pegangan pokok bagi seorang juris dan hakim dalam menyelesaikan perkara 
(GW Paton, 1951: 102).
3. Klasifikasi Hukum
Sebelum
 membuat suatu gugatan,hal yang juga perlu diperhatikan adalah masalah 
klasifikasi atau penggolongan hukum. Klasifikasi ini penting, agar kita 
dapat menentukan title gugatan, serta menemukan hukumnya (GW Paton, 
1951: 206). Apakah suatu gugatan itu dapat diklasifikasikan sebagai 
gugatan perbuatan melawan hukum, gugatan wanprestasi atau apakah masalah
 tersebutdapatdikategorikan sebagai peristiwa Perdataatau Pidana, atau 
juga apakah kasus tersebut dapat digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara
 dan sebagainya.Masalah penggolongan ini penting, sebab tidak jarang, 
dalam praktiknya, suatu gugatan tidak dapat diterima hanya disebabkan 
pengacaranya atau advokatnya tidak dapat mengklasifikasikan masalah 
hukumnya. Gugatan itu hanya asal dibuat.
4. Penguasaan Hukum Materiil
Hukum
 Acara Perdata (Hukum Formal) mempunyai tujuan untuk menegakkan hukum 
material. Oleh karena itu dalam membuat gugatan, penguasaan hukum 
material sangat menentukan apakah suatu gugatan dinyatakan, dikabulkan, 
atau ditolak.Sebab yang diperdebatkan jika terjadi gugat-menggugat di 
pengadilan adalah tentang hukum materialnya. Contoh:A mengatakan bahwa 
perjanjian tersebut batal karena melanggar Pasal 1320 KUH Perdata. Atau 
perjanjian tersebut sah karena berdasarkan Pasal 1338 KUH Perdata yang 
menjelaskan bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku 
sebagai undang-undang bagi masing-masing pihak yang membuatnya (Subekti,
 1982: 307). Ketentuan Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUH Perdata tersebut 
merupakan ketentuan hukum material. Hukum material, bukan saja peraturan
 perundang-undangan tetapi juga doktrin-doktrin, teori-teori, 
peraturan-peraturan, atau kebiasaan.
5. Bahasa Indonesia
Harus
 diakui secara jujur bahwa banyak di antara Sarjana Hukum, khususnya 
para advokat, tidak bisa menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan 
benar di atas kertas, terlebih dalam hal membuat gugatan. Atau juga 
dalam hal membuat legal draft lainnya.Kalaupun ada yang baik,jumlah 
advokat itu dapat dihitung dengan jari saja.
Biasanya mereka 
selalu berkelit di balik pernyataan klise: bahasa hukum kan punya ciri 
khusus. Mereka lupa bahwa bahasa hukum sebetulnya tunduk pada 
kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Betul bahwa ada 
ciri-ciri khusus dalam bahasa hukum, tetapi bukan berarti melupakan 
kaidah dasar bahasa Indonesia. Seperti misalnya, susunan kalimat yang 
baik dan benar adalah terdiri dari subjek, predikat, dan objek. Patuh 
pada kaidah bahasa Indonesia bukan berarti harus mengikuti bahasa hukum 
yang disusun oleh orang yang awam hukum:kabur, cengeng,emosional,tidak 
dikaitkan secara utuh dengan dokmatik hukum, sifatnya adhoc, dan tidak 
kontekstual (Schuyt, Law as Communication, diterjemahkan oleh Nico 
Ngani, 1989: 9).
Faktor penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan 
benar ini sangat menentukan sukses tidaknya suatu gugatan. Sebab kalau 
bahasa lndonesianya kacau,orang yang membacanya tidak mudah mengerti apa
 maksud kita dalam gugatan tersebut.Tidak terkecuali juga bagi hakim 
yang memeriksa perkara kita. Hakim tidak mudah memahami maksud gugatan. 
Penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar ini penting, sebab 
bahasa melambangkan jalan pikiran seseorang. Apalagi bahasa tertulis, 
yang sudah seharusnya tunduk pada hukum bahasa, hukum logika, dan hukum 
ilmu hukum itu sendiri.
6. Posita Harus Sinkron dengan Petitum
Posita
 artinya cerita tentang duduknya perkara atau masalah. Dalam hal 
menyusun posita yang baik harus tunduk pada kaidahkaidah ilmiah yaitu 
sistematik, logis dan objektif. Posita yang tidak sistematik, tidak 
runtut, dan bertentangan satu sama lainnya membuat gugatan 
dikualifikasikan sebagai gugatan obscuur libel.
Sedangkan petitum 
adalah tuntutan yang harus diminta atau dimohonkan kepada hakim.Petitum 
ini harus jelas dan tidak boleh bertentangan satu sama lain atau 
bertentangan dengan posita gugatan. Gugatan yang posita-nya bertentangan
 dengan petitum membuat gugatan kabur (Sudikno Mertokusumo,1988: 36).
Posita
 harus sinkron dengan petitum. Maksudnya, kalau A menyatakan dalam 
posita gugatannya bahwa tanah yang menjadi sengketa adalah miliknya, 
maka dalam petitum dia harus mengatakan: menyatakan menurut hukum bahwa 
tanah sengketa adalah milik penggugat.
7. Berpikir Taktis
Berpikir
 taktis maksudnya adalah berhubungan dengan kelihaian seorang pengacara 
atau advokat untuk menggali data dari kliennya dan bagaimana 
menuangkannya dalam gugatan. Tidak semua yang diceritakan oleh kliennya 
harus diungkapkan dalam gugatan. Walaupun cerita klien tersebut secara 
logika formal benar, namun belum tentu benar menurut logika 
hukum.Misalnya,seorang klien menceritakan pada advokatnya bahwa rumahnya
 ditempati oleh seseorang yang kaya tanpa bayar sewa, hanya disuruh 
menempati saja sejak tahun 1950-an. Kalau advokatnya tidak bisa berpikir
 taktis, maka cerita kliennya yang benar itu akan dipercayainya dan 
advokat tersebut akan langsung membuat gugatan dengan titel “Gugatan 
Pengosongan Karena Penempatan Tanpa Hae Setelah masukdalam 
persidangan,orang yang menempati berdalih bahwa dia menempati rumah 
tersebut sejak tahun 1950-an karena ada hubungan sewa-menyewa.Tetapi 
jika advokat berpikir taktis maka tidak akan membuat gugatan dengan 
titel”gugatan pengosongan’,’ tetapi “putus hubungan sewa-menyewa” atau 
“wanprestasi’: Sebab tidak logis bahwa seseorang yang kaya hanya 
menempati rumah orang tanpa sewa, walaupun kenyataannya benar demikian.
Selain
 itu, cara berpikir taktis juga terungkap dalam hal mencantumkan 
dasarhukumatauteoridalamgugatan.Misalnya saja, apakah perlu atau di mana
 atau kapan harus dicantumkan, apakah dalam jawaban pertama, apakah 
dalam duplik, dalam kesimpulan, atau dalam memori banding, ataukah dalam
 memori kasasi.Banyak advokat yang dalam gugatannya sudah mencantumkan 
dasar hukum atau teori hukum, tetapi dia lupa bahwa kalau terjadi 
kekeliruan maka akan berakibat fatal.Tetapi advokat yang berpikir 
taktis, dalam gugatan atau jawaban pertama dia belum turunkan atau 
mencantumkan dasar hukum/teori hukumnya, tetapi begitu saat duplik atau 
replik barulah diturunkan semuanya.
8. Ketelitian
Ketelitian
 dalam hal membuat gugatan sangat diperlukan. Sebab salah kata, salah 
istilah, salah kalimat akan mengubah pengertian dan akibatnya akan 
fatal, yaitu gugatan dinyatakan ditolak dan dinyatakan tidak dapat 
diterima oleh hakim. Masalah ketelitian ini menyangkut banyak hal. 
Misalnya, subjek gugatan, objek gugatan, dasar hukum, teori-teori, 
penggunaan istilah-istilah, sistematika, penyebutan tahun, dan 
sebagainya.
9. Singkat, Padat,Tetapi Mencakup
Bahasa
 orang hukum biasanya panjang-panjang dan bertele-tele. Lihat saja 
bahasa dalam KUH Pidana atau dalam KUH Perdata.Tak mudah untuk 
dimengerti atau dipahami. Dalam pembicaraan biasa banyak orang yang 
berkecimpung dalam dunia hukum juga berbicara secara bertele-tele, tidak
 to the point. Begitu pula kalau membahasakan sesuatu di atas kertas, 
pasti kalimatnya panjang-panjang dan berputar-putar. Tak terkecuali juga
 para advokat dalam membuat gugatan atau dalam jawab-menjawab saat 
berperkara di pengadilan. Masih terlalu sedikit advokat yang mampu 
membuat gugatan secara singkat, padat tetapi mencakup, cekak aos atau 
menggunakan istilah Nico Ngani “Kortmaar bondig en- hardig” (singkat 
tetapi berisi dan menggigit).
Membuat gugatan atau jawab-menjawab 
dalam perkara ibarat bertinju. Bukan banyaknya pukulan yang harus kena 
di tubuh lawan yang akan mempunyai nilai tinggi, tetapi biar satu 
pukulan namun kena pada sasaran, yang nilainya tinggi. Misalnya pada 
bagian dagu yang akan membuat Knocked Out lawan.
Membuat gugatan 
seharusnya singkat tetapi padat dan mudah dimengerti. Singkat tidak 
berarti mengabaikan prinsip membuat gugatan sebagaimana diuraikan di 
atas. Singkat maksudnya, kalimatnya terang, bahasa Indonesia dan 
logikanya baik dan benar. Pembuatan gugatan yang singkat dan padat dapat
 dilakukan kalau kita dapat menggolongkan cerita klien yang sifatnya 
abstrak dan umum ke dalam hal-hal yang konkret dan khusus. Tidak semua 
cerita dari klien mempunyai relevansi atau bernilai yuridis. Untuk itu 
dibutuhkan kepandaian dari advokatnya untuk memilahmilahkan persoalan 
atau cerita yang sifatnya umum itu ke dalam hal yang konkret.
10. Hukum Acara Perdata
Dalam membuat gugatan sudah barang tentu harus menguasai hukum acara perdata.
 Penguasaan hukum acara perdata tersebut misalnya menyangkut kompetensi 
pengadilan, di mana gugatan harus diajukan. Atau bagaimana harus 
mengajukan gugatan intervensi, perlawanan, eksekusi, dan sebagainya.
Referensi
1. George Whitercross Paton, “A Text-book of Jurisprudence’: OXFORD AT THE CLARENDON PRESS, 1951.
2. John M. Echols dan Hasan Shad ily,”Kamus Inggris-Indonesia”, PT. GRAMEDIA, Jakarta, 1990.
3. Sudikno Mertokusumo, SH., Dr, Prof., “Hukum Acara Perdata Indonesia’: LIBERTY, Yogyakarta, 1988.
4. Sudikno Mertokusumo,SH., Dr, Prof.,”Mengenal Hukum LIBERTY, Yogyakarta, tahun 1986.
5. Subekti R, SH, Prof. dan Tjokrosudibjo,”Kitab Undang-undang Hukum Perdata; PRADNYA PARAMITA, Jakarta, tahun 1982.
6. Schuyt, “Law as Communication’: terjemahan Drs. Nico Ngani, SH., Mcl. MSSW, “Hukum sebagai Alat Komunikasr: YAPHI, Surakarta,1989.
7. Theo Hujbers, Dr., “Filsa fat Hukum dalam Lintasan Sejarah”, KANISIUS,Yogyakarta,tahun 1990.
8. R. Tresna, Mr., Komentar HIR, PRADNYA PARAMITA, Jakarta,
1976.
2. John M. Echols dan Hasan Shad ily,”Kamus Inggris-Indonesia”, PT. GRAMEDIA, Jakarta, 1990.
3. Sudikno Mertokusumo, SH., Dr, Prof., “Hukum Acara Perdata Indonesia’: LIBERTY, Yogyakarta, 1988.
4. Sudikno Mertokusumo,SH., Dr, Prof.,”Mengenal Hukum LIBERTY, Yogyakarta, tahun 1986.
5. Subekti R, SH, Prof. dan Tjokrosudibjo,”Kitab Undang-undang Hukum Perdata; PRADNYA PARAMITA, Jakarta, tahun 1982.
6. Schuyt, “Law as Communication’: terjemahan Drs. Nico Ngani, SH., Mcl. MSSW, “Hukum sebagai Alat Komunikasr: YAPHI, Surakarta,1989.
7. Theo Hujbers, Dr., “Filsa fat Hukum dalam Lintasan Sejarah”, KANISIUS,Yogyakarta,tahun 1990.
8. R. Tresna, Mr., Komentar HIR, PRADNYA PARAMITA, Jakarta,
1976.
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar