Persamaan dihadapan hukum atau equality before the law
adalah salah satu asas terpenting dalam hukum modern. Asas ini menjadi
salah satu sendi doktrin Rule of Law yang juga menyebar pada
negara-negara berkembang seperti Indonesia. Perundang-undangan Indonesia
mengadopsi asas ini sejak masa kolonial lewat Burgelijke Wetboek
(KUHPerdata) dan Wetboek van Koophandel voor Indonesie (KUHDagang) pada
30 April 1847 melalui Stb. 1847 No. 23. Tapi pada masa kolonial itu,
asas ini tidak sepenuhnya diterapkan karena politik pluralisme hukum
yang memberi ruang berbeda bagi hukum Islam dan hukum adat disamping
hukum kolonial.
Sejatinya, asas persamaan dihadapan hukum bergerak dalam payung hukum
yang berlaku umum (general) dan tunggal. Ketunggalan hukum itu menjadi
satu wajah utuh diantara dimensi sosial lain (misalkan terhadap ekonomi
dan sosial). Persamaan “hanya” dihadapan hukum seakan memberikan sinyal
di dalamnya bahwa secara sosial dan ekonomi orang boleh tidak
mendapatkan persamaan. Perbedaan perlakuan “persamaan” antara di dalam
wilayah hukum, wilayah sosial dan wilayah ekonomi itulah yang menjadikan
asas Persamaan dihadapan hukum tergerus ditengah dinamika sosial dan
ekonomi.
Adalah Napoleon Bonaparte, orang Perancis yang
terkenal sebagai pemimpin militer dan penguasa Perancis pasca Revolusi
(1789), yang berkontribusi “mengabadikan” asas persamaan dihadapan hukum
sampai detik ini. Tridharma semangat Revolusi Perancis (liberte,
egalite dan fraternite) diagregasi oleh pakar hukum di masa Bonaparte
pada tahun (1804-1807) ke dalam kodifikasi hukum yang kemudian dikenal
dengan nama Code Napoleon. Landasan penting dari kodifikasi ini adalah
tidak adanya hak-hak istimewa berdasarkan kelahiran dan asal usul
seseorang, semua orang sama derajat dihadapan hukum.
Revolusi
Perancis (1789) adalah titik tolak terpenting dalam studi hukum modern
karena disanalah Negara Modern, Hukum Modern, Rule of Law,
Konstitusionalisme dan Demokrasi beranjak. Satjito Rahardjo menyebut
kemunculan sekalian aksi modernisme dengan kelahiran hukum modern itu
sebagai The Big Bang yang menggantikan cara-cara lama dalam berhukum. Di
sanalah letak signifikansi Revolusi Perancis.
Namun sejak
semula, sudah ada kritik yang ditujukan kepada pola Revolusi Perancis
itu, salah satunya adalah yang melihat Revolusi Perancis sebagai
Revolusinya kaum borjuis. Tocqueville menggambarkan masyarakat Perancis
pada tahun 1770-an dan tahun 1780-an sebagai masyarakat yang ekonominya
sedang berkembang pesat. Semua lapisan rakyatnya telah sama-sama
mengecap faedah dari pertumbuhan itu. Hal ini mengindikasikan bawah
Revolusi Perancis bukanlah persoalan perjuangan ekonomi rakyat,
melainkan perjuangan politik untuk mengganti tirani. Tirani yang sudah
dikenal secara simbolik dengan ucapan Raja Louis XIV (1638 –1715),
L’état c’ést moi (Negara adalah Saya). Revolusi Perancis sebenarnya
menyimpan motivasi dari kalangan borjuis untuk mendapatkan kesamaan hak
dengan raja secara sosial, politik dan ekonomi.
Dalam ikhtiar
mengganti feodalisme, negara demoktaris konstitusional dijadikan sebagai
wadah baru dari organisasi sosial. Bagi kaum moderat, Negara adalah
produk dan manifestasi untuk mendamaikan pertentangan kelas. Negara
adalah hasil kompromi yang dipayungi kodifikasi hukum tertulis yang
dibuat oleh badan publik dan berlaku umum. Disanalah esensi
egalitarianisme. Hukum tertulis itu ditinggikan kedudukannya karena
dianggap sebagai monumen kontrak sosial warganegara. Pengutamaan hukum
tertulis buatan manusia itu adalah untuk mengganti semangat hukum alam
yang mulai kedodoran. Bila sebelumnya yang memberikan kepastian adalah
hukum kodrat dari Tuhan, termasuk yang termanifestasi lewat kekuasaan
raja. Maka semenjak itu, hukum buatan manusialah yang harus memberikan
kepastian dalam menuntun masyarakat. Fiksi tentang kepastian hukum pun
dilahirkan. Itulah supremasi undang-undang (legisme).
Pandangan yang pada sisi lain tentang bangunan negara disampaikan oleh
Karl Marx, seorang Jerman yang pengaruhnya cukup luas pada abad 20.
Lenin adalah Pemimpin Revolusi Bolsevik di Rusia yang mengamalkan ajaran
Marx. Revolusi Rusia adalah cara lain melihat negara dan sekaligus
merupakan kritik atas Revolusi Perancis yang tidak menyentuh perbaikan
kelas ekonomi.
Rusia juga mengalami absolutisme feodal
sebagaimana dialami Perancis dalam ungkapan L’état c’ést moi dari Raja
Louis XIV. Di Rusia juga terkenal ungkapan, apa yang dimimpikan oleh
Maharani Catherine II, Maharani Rusia (1729—96) pada waktu malam akan
menjadi undang-undang pada keesokan harinya. Revolusi Perancis dan
Revolusi Rusia adalah antitesa terhadap feodalisme. Berbeda dari
Revolusi Perancis, bagi Marx, negara adalah organ kekuasaan kelas, organ
penindasan dari satu kelas terhadap kelas yang lain, ia adalah ciptaan
“tata tertib” yang melegalkan dan mengekalkan penindasan dengan
memoderasikan bentrokan antar kelas. Sehingga, tata tertib hukum yang
diproduksi dalam asas Persamaan dihadapan hukum dari semangat Revolusi
Perancis menjadi salah upaya untuk mendamaikan bentrokan antar kelas
yang disembunyikan.
Namun, praktik negara komunis Uni Soviet
pada masa Stalin meruntuhkan esensi dari emansipasi sosial dan ekonomi
dari cita-cita Marx. Ini terjadi karena kediktatoran mendistorsi
sekalian bangunan ekonomi dan sosial menjadi utuh sebagai urusan negara
melalui pemerintahan diktator. Totalitas negara mereduksi aspek ekonomi,
sosial dan politik individu warganegara serta komunitas yang beragam.
Meskipun demikian, partai komunis di beberapa negara berkembang
menjadikan tesis Marx tentang perjuangan kelas memasuki dimensi asas
Persamaan dihadapan hukum dengan mendorong hukum sebagai alat emansipasi
sosial dan ekonomi. Hal ini dilakukan atas dasar kesenjangan antara
semangat persamaan (egalite) dengan distribusi sumberdaya. Gerald Allan
Cohen cukup tepat mengambil judul bukunya untuk menggambarkan
kesenjangan itu. Cohen menulis buku berjudul: If You’re an Egalitarian,
how Come You’re Rich. Negara-negara maju yang mengampanyekan dan
mengaku sebagai egalitarian, malah masih sangat kaya dan menghegemoni
sumberdaya. Cohen masih kuat dipengaruhi oleh ajaran Marx.
Lalu
pertanyaannya, apakah dalam ketimpangan itu asas persamaan dihadapan
hukum mesti dihilangkan sebagai suatu asas hukum? Jawabannya adalah
Tidak. Dalam hal tertentu, asas persamaan dihadapan hukum itu bisa
dijadikan sebagai standar untuk mengafirmasi kelompok-kelompok marjinal
atau kelompok minoritas. Namun disisi lain, karena ketimpangan
sumberdaya (kekuasaan, modal dan informasi) asas tersebut sering
didominasi oleh penguasa dan pemodal sebagai tameng untuk melindungi
aset dan kekuasaannya. Misalkan dalam hal asas persamaan dihadapan hukum
yang dikawinkan dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of
innocent).
Dalam praktiknya, asas praduga tidak bersalah itu
menjadi asas yang paling umum untuk melindungi keburukan penguasa dan
pemodal dihadapan hukum. Setiap penguasa atau pengusaha yang tersangkut
masalah hukum akan menggunakan asas praduga tidak bersalah untuk
menyembunyikan dosanya. Sedangkan bagi masyarakat awam dan marjinal,
asas tersebut tidak diutamakan. Setiap hari kita masih melihat bagaimana
acara-acara informasi kriminal di televisi yang mempertontonkan
penembakan atau pemukulan orang yang disangka melakukan kejahatan. Hal
yang tidak pernah kita lihat pada tersangka penjahat kelas kakap.
Dalam era informasi, asas persamaan dihadapan hukum juga mesti terkait
dengan asas publisitas di dalam hukum. Setiap orang dianggap tahu
dengan hukum, meskipun dia tidak pernah diajak merumuskan hukum yang
dibuat. Dalam hal ini, asas persamaan dihadapan hukum mesti terkait
dengan asas partisipasi pembentukan hukum dan persamaan atas informasi
suatu perundang-undangan yang dibuat legislatif. Sehingga, persamaan
dihadapan hukum juga harus didahului dengan persamaan memperoleh
informasi terhadap suatu peraturan yang diundangkan. Asas publisitas ini
menuntut pemerintah melakukan sosialisasi peraturan yang sudah
dibuatnya.
Yang lebih esensial lagi adalah, asas persamaan
dihadapan hukum tidak dipandangan sebagai suatu barang (berbentuk
konstruksi fiktif) yang final. Asas ini harus dilihat sebagai suatu cara
dalam berhukum. Sehingga dalam pembuatan, pelaksanaan dan penegakan
hukum juga mesti melihat kembali struktur sosial dan ekonomi yang
meliputi masyarakat. Pemahaman terhadap ketidaksamaan harus mendahului
asas persamaan. Salah satu cara untuk mengetahui ketidaksamaan realitas
sosial itu misalkan bisa dilakukan dengan pendekatan kuantitatif melalui
data-data yang terpercaya (data kemiskinan, potensi sumberdaya alam,
ketimpangan kepemilikan, diskriminasi, dan seterusnya). Data kuantitatif
hanya pintu masuk saja untuk melihat persoalan sosial dan ekonomi. Cara
lain adalah melihat analisa kualitatif dari aspek sosiologi hukum.
Satjipto Rahardjo mengajak bersimpati, empati dan menggunakan perasaan
dalam melihat persoalan sosial. Sehingga penegakan dan pelaksanaan hukum
menjadi pengimbang dari ketimpangan yang sedang berlangsung.
Bila asas persamaan hukum diterapkan dalam pandangan yang melampaui
antroposentrisme dalam berhukum. Maka asas persamaan hukum mesti melihat
persamaan perlakuan yang adil terhadap ketimpangan struktural dalam
masyarakat, sekaligus perlakuan yang adil bagi lingkungan. Asas
persamaan hukum ditantang menjadi media aplikasi keadilan sosial dan
keadilan lingkungan.
Referensi
Gerald Allan Cohen, If You’re an Egalitarian, how Come You’re Rich (
Normal 0 false false false EN-US X-NONE
X-NONE
MicrosoftInternetExplorer4
/* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table
Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes; mso-style-priority:99; mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin:0cm; mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif"; mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:"Times New
Roman"; mso-fareast-theme-font:minor-fareast;
mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;} diunduh dari www.marxist.com )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar