Pernyataan politik
yang dikeluarkan oleh pemerintah baru-baru ini (Kompas, 11 April 2006), yaitu
untuk memaafkan ”dosa masa lampau” dari para mantan pemimpin Indonesia, cukup mengejutkan bagi masyarakat Indonesia. Pro
dan kontra atas suatu pernyataan politik yang dikeluarkan oleh pemerintah
adalah suatu hal yang lumrah di negara ini.
Kalangan yang pro
menganggap pernyataan tersebut merupakan suatu hal yang wajar mengingat jasa
yang disumbangkan para pemimpin tersebut terhadap Indonesia cukup besar. Dengan
pertimbangan humanisme dan hutang budi tersebut
mereka berharap dosa-dosa tersebut “dimaafkan”. Suatu harian ibukota
menyebutkan bahwa bangsa Indonesia
perlu belajar banyak dari pengalaman Afrika Selatan dalam “memaafkan” kesalahan
masa lampau. Harian tersebut mengutip suatu pendapat dari buku yang berjudul The Forgotten and The Forgiven, yang
menyodorkan suatu kompromi terhadap kesalahan masa lampau dengan mengutamakan open mind, open heart, and open will.
Kompromi dalam
memaafkan masa lampau ini tidak dapat
diterima sepenuhnya oleh kalangan yang mengambil posisi kontra. Kondisi Afrika
Selatan tidak dapat disandingkan dengan
kondisi Indonesia, dimana
kondisi Afrika Selatan lebih bersifat kompleks dibandingkan dengan Indonesia.
Kasus Afrika Selatan hampir mendekati kasus genocide
dimana kasus tersebut memang tidak dapat diselesaikan melalui pengadilan.
Kompromi dengan
menutup kasus masa lampau (memaafkan dosa) akan mencederai asas legalitas di
negara ini, suatu negara yang mendengung-dengungkan bahwa negara didasarkan
atas hukum (rechtstaat) bukan atas
kekuasaan (machtstaat). Hukum harus
tetap dijalankan, dosa masa lalu tetap harus diadili dan kerugian negara tetap
harus dikembalikan, dengan demikian hukum ditegakkan. Setelah hukum ditegakkan
barulah keputusan politik untuk memaafkan dapat dikeluarkan. Dengan demikian
hukum akan tetap menjadi panglima dari politik.
Sikap politik yang
diambil oleh pemerintah terhadap pemaafan masa lalu ini selain menimbulkan efek
internal juga menimbulkan efek internasional. Dunia Internasional akan
mengangap Indonesia sebagai
negara yang tidak memiliki sikap dalam masalah penegakan hukum terlebih kasus
ini muncul tak lama setelah Indonesia
diangkat dalam Dewan HAM PBB.
Tulisan ini tidak
akan mengulas lebih jauh mengenai posisi Indonesia di mata dunia
internasional melainkan mencoba melihatnya dari sisi akademis, yaitu dari sudut
penerapan impunitas dalam hukum sekaligus mengaitkannya dengan Teori John
Rawls, Justice as Fairness. Semoga
dengan pemaparan yang sederhana ini kita dapat mellihat pernyataan politik
tersebut secara lebih terbuka.
EQUALITY BEFORE THE LAW
Equality before the law berasal dari pengakuan terhadap individual freedom bertalian dengan hal tersebut Thomas Jefferson menyatakan
bahwa "that all men are created
equal" terutama dalam kaitannya
dengan hak-hak dasar manusia. Pasal 27
ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan
kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Artinya,
semua orang diperlakukan sama di depan hukum. Dengan demikian konsep Equality before the Law telah
diintodusir dalam konstitusi, suatu pengakuan tertinggi dalam sistem peraturan
perundang-undangan di tanah air.
Ironisnya dalam
prakteknya hukum di Indonesia masih diskriminatif, equality before the law tidak diterapkan
secara equal bahkan seringkali
diabaikan, kepentingan kelompok tertentu lebih mengedepan dibandingkan kepentingan publik.
Pengingkaran
terhadap konsep ini kian marak terjadi, sebagai ilustrasi, sebutlah misalnya
kasus KPU (Suara Karya 2005) , dimana hanya Nazaruddin dan Mulyana W Kusumah
yang dituntut di pengadilan. Sementara mereka yang turut memutus pembagian
kerja pengadaan barang-barang keperluan pemilu dalam rapat paripurna KPU tidak
diperlakukan sama di hadapan hukum. Kalau begitu, bagaimana asas persamaan di
hadapan hukum? Padahal arti persamaan di hadapan hukum (equality before the law) adalah untuk perkara (tindak pidana) yang
sama. Dalam kenyataan, tidak ada perlakuan yang sama (equal treatment), dan itu menyebabkan hak-hak individu dalam
memperoleh keadilan (access to justice)
terabaikan. Perlakuan berbeda dalam perkara KPU, karena ada yang tidak dituntut,
menyebabkan pengabaian terhadap kebebasan individu. Ini berarti, kepastian
hukum terabaikan. Dalam konsep equality
before the law, hakim harus bertindak seimbang dalam memimpin sidang di
pengadilan - biasa disebut sebagai prinsip audi
et alteram partem.
Ilustrasi
lainnya adalah masalah penghadiran Bagir
Manan sebagai saksi dalam perkara korupsi Probosutedjo. Majelis Hakim
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menolak permintaan Jaksa Penuntut
Umum untuk menghadirkan Bagir Manan di persidangan. Keterangan Bagir di depan sidang adalah untuk
mengetahui materi pembicaraan antara Bagir Manan dengan terdakwa Harini. Sistem
hukum acara pidana di Indonesia
masih menganut asas equality before the
law. Artinya, semua orang diperlakukan sama di
depan hukum. Dengan demikian, dalam proses persidangan semua orang harus
diperlakukan sama, termasuk tiga majelis hakim kasus Probosutedjo, yakni Bagir
Manan, Parman Suparman dan Usman Karim (Suara Karya online, 2005).
IMPUNITY
Impunity
merupakan bentuk persinggungan antara hukum dengan humanity, perlunakan hukum atas nama kemanusiaan. Pengintrodusiran
ini bertujuan agar hukum tidak diterapkan secara kaku, hukum dapat dikecualikan
bagi mereka yang diberikan hak untuk imun terhadap hukum. Prof. Romly A.
Sasmita (2005) menyatakan bahwa hukum, khususnya adresat hukum
pidana, adalah perbuatan seseorang yang
melanggar aturan pidana, dan bukan kepada status sosial atau status hukum orang
yang bersangkutan. Penjelasan Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP telah menegaskan
beberapa kali tentang “perbuatan” dan tidak menyebutkan sama sekali tentang orang
yang melakukan perbuatan. Hukum Administrasi Negara tidak memberikan alasan
hukum sekecil apapun untuk memberikan peluang perlakuan istimewa terhadap
seseorang yang telah ditetapkan menjadi tersangka tindak pidana tertentu,
apalagi memberikan impunity terhadap pejabat negara atau penyelenggara negara
yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu termasuk korupsi. Hukum
memberikan pengecualian kepada mereka yang hilang ingatan (gila) dan yang
berada dibawah umur. Jika demikian kriteria pengecualikan yang diberikan oleh
hukum, apakah selama ini impunity
telah dipergunakan secara tepat?
Jika memang negara Indonesia adalah benar-benar negara hukum (rechtstaat) yang mengagungkan dan mengedepankan
nilai equality before the law, semua
orang sama dihadapan hukum, patutkah kiranya perkara-perkara pidana khususnya
perkara-perkara korupsi dipetieskan atau diendapkan atau apapun istilah yang
dipergunakan untuk itu. Apakah selama ini para pelaku korupsi termasuk dalam
kriteria hilang ingatan (gila) ataupun berada dibawah umur? Jika mereka tidak
termasuk dalam kedua kriteria tersebut apakah patut kiranya mereka dikebalkan
terhadap hukum?
Berdasarkan pengalaman yang tertangkap selama ini adalah nilai equality before the law tidak diterapkan
dengan sungguh-sungguh, nilai tersebut tidak lebih dari sekedar jargon politik
atau lip service dari para petinggi
negara. Jika nilai ini diterapkan dengan sungguh-sungguh maka impunity tidak akan diberikan secara semena-mena.
Impunity selama ini diberikan kepada
kalangan tertentu yang umumnya memiliki power baik itu dalam pengertian
politik, sosial ataupun ekonomi.
Semua orang memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum, equality before the law, telah dipelesetkan menjadi “hanya orang-orang
biasa yang memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum”. Itulah pandangan
miris kalangan awam terhadap masalah penegakan hukum di negara ini.
JUSTICE AS FAIRNESS
Konsep Justice as Fairness pertama kali
diperkenalkan oleh Philsuf John Rawls dalam bukunya A Theory of Justice. Konsep ini menarik untuk diketengahkan kedalam
tulisan ini, karena ditengah kondisi masyarakat seperti saat ini sulit bagi
kita untuk mampu bersikap adil terutama sekali dalam kaitannya dengan penegakan
hukum di negara ini.
Dalam konsep justice
as fairness ini Rawls berkeyakinan bahwa perlu adanya keadilan yang
diformalkan melalui konstitusi dan hukum sebagai basis pelaksanaan hak dan
kewajiban individu dalam interaksi sosial atau keadilan formal menuntut kesamaan
minimum bagi segenap masyarakat (Darsis Humah, 2003:40).
Tujuan utama dari
konsep Rawls ini adalah untuk memberikan solusi terhadap permasalahan politik
atau untuk menjelaskan dalam kondisi seperti apa warga negara dituntut untuk
patuh terhadap hukum yang diciptakan oleh negara. Rawls membuat konsep ini
berdasarkan hipotesa atas equality, sehingga tidak ada disparitas
dalam bargaining power. Pada dasarnya
Rawls memberikan suatu jaminan minimum bahwa setiap orang dalam kasus yang sama
harus diperlakukan secara sama. Dengan demikian Rawls percaya bahwa eksistensi
suatu masyarakat sangat bergantung pada pengaturan formal melalui hukum serta
lembaga-lembaga pendukungnya (Lowryanta Ginting, 2003:5).
Konsep Rawls ini
terdiri atas dua prinsip berikut, yaitu:
1.
each person is to have an equal
right to the most extensive basic liberty compatible with similar liberty for
others.
2.
social and economic inequalities
are to be arranged so that they are both:a) reasonably expected to be
everyone’s advantage and b) attached to positions and offices open to all.
Prinsip pertama
seringkali disebut sebagai prinsip
kebebasan (Liberty Principle) yang
dirumuskan oleh Rawls sebagai berikut:
“Semua nilai-nilai sosial (kebebasan dan kesempatan, pendapatan dan
kekayaan, dan basis harga diri) harus didistribusikan secara sama. Suatu
distribusi yang tidak sama atas nilai sosial tersebut hanya diperbolehkan
apabila hal itu memang bermanfaat bagi orang banyak”.
Prinsip pertama ini memberikan pengakuan dasar sekaligus universal kepada
tiap orang sebagai suatu standar minimum. Secara
moral setiap orang adalah sama namun disisi lain, dalam dunia nyata (the real world) ada perbedaan secara
signifikan antara individu yang berada dalam kondisi merdeka yang mengacu pada ketimpangan baik secara ekonomi
maupun sosial.
Prinsip kedua
acapkali disebut prinsip perbedaan (Difference
Principle), yang dirumuskan oleh Rawls sebagai berikut: 1) setiap orang
harus memiliki hak yang sama bagi semua orang 2) ketidaksamaan sosial dan
ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga: a) diharapkan memberikan
keuntungan bagi setiap orang, dan b) semua posisi dan jabatan terbuka bagi
semua orang.
Kekuatan dari
keadilan dalam arti fairness justru
terlepas pada tuntutan bahwa ketidaksamaan dibenarkan sejauh juga memberikan
keuntungan bagi semua pihak dan sekaligus memberi prioritas pada kebebasan.
Rawls berulang kali menegaskan bahwa kebebasan dan kesamaan seharusnya tidak
boleh dikorbankan demi manfaat sosial dan ekonomi, betapapun besarnya manfaat
yang dapat diperoleh dari sudut itu.
Perbedaan ras, agama,
dan warna kulit bukanlah penyebab terjadinya pembagian alamiah yang tidak adil.
Ketidakadilan dalam pembagian yang alamiah tersebut lebih disebabkan oleh
situasi. Oleh karena itulah Rawls menawarkan
suatu konsep yang menarik mengenai nilai
keadilan ini, setiap orang harus kembali kepada posisi asali (original position) sebagai mana
dilustrasikannya berikut ini:
...imagine yourself in an original position
behind a veil of ignorance. Behind this veil, you know nothing of yourself and
your natural abilities, or your position in society. Behind such a veil of
ignorance all individuals are simply specified as rational, free, and morally
equal beings (Charles D Kay, 1997:1).
Posisi asali ini merupakan suatu keadaan dimana manusia berhadapan dengan
manusia lain sebagai manusia. Dengan memposisikan diri kedalam posisi yang
bebas nilai (free value) ini kita
akan mampu untuk mencerna mengenai keadilan.
PENUTUP
Reformasi hukum di Indonesia dirasakan belum dapat mengimbangi perkembangan
yang terjadi di masyarakat selain itu reformasi hukum dinilai belum sepenuhnya
mampu menangani permasalahan penegakan hukum yang masih carut marut. Pemahaman
akan konsep equality before the law
masih belum sepenuhnya diterapkan ataupun dipahami secara benar. Ada suatu
pernyataan menarik yang dilontarkan oleh salah seorang akademisi di lingkungan
perguruan tinggi di Kalimantan Timur,
yang menyatakan bahwa anggota DPR ataupun DPRD tidak dapat dikenai ketentuan
dalam UU No.31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana
Korupsi. Argumentasi yang dikedepankan
adalah tidak adanya aturan hukum yang secara jelas mengatur mengenai tindak
pidana korupsi yang dilakukan oleh anggota Dewan, selain itu gaji yang diterima
oleh anggota DPRD bukan berasal dari APBN secara langsung melainkan melalui
Sekretaris Dewan (Sekwan).
Sebenarnya bila memahami ketentuan dalam undang-undang tentang tindak
pidana korupsi ini maka secara jelas kedua undang-undang tersebut dalam setiap
pasalnya menggunakan kata “setiap orang”. Dengan demikian seluruh warga negara
yang melakukan perbuatan sebagaimana yang diatur dalam undang-undang tersebut
secara otomatis akan terikat dengan ketentuan-ketentuan tersebut. Undang-undang secara jelas
memberlakukan asas equality before the
law ini dalam ketentuan-ketentuannya. Demikian pula dengan asas impunity yang diterapkan dalam induk
undang-undang tersebut, yaitu Kitab Undang-undang Hukum Pidana, maka jika ada
yang pendapat yang membedakan atas dasar status sosial dan status hukum
seseorang pelaku tindak pidana termasuk koruptor maka tidak ada legitimasi
selain harus dinyatakan bahwa pelaku tindak pidana atau koruptor itu gila atau
dibawah umur. Argumentum lainnya adalah mengutip pernyataan Prof. Romly A.
Sasmita yang menyatakan bahwa jika masih ada undang-undang yang memberikan
keistimewaan perlakuan maka undang-undang tersebut bertentangan secara
diametral dengan UUD 1945 dan perubahannya yang menyatakan secara eksplisit,
hak setiap orang untuk diperlakukan semua di muka hukum (equality before the
law) dalam posisi apapun juga selama dalam status
tersangka/terdakwa/terpidana.
Berkaitan dengan
masalah penegakan hukum tersebut maka Konsep John Rawls dapat memberikan
sumbangan yang sangat penting bagi penataan hukum dan sosial politik bangsa Indonesia
terutama dalam kaitannya dengan konsep mengenai kebebasan, kesamaan hak, dan
rasionalitas. Konsep tersebut bertalian dengan upaya membangun moralitas
politik dan budaya hukum yang equal. Mengingat masalah keadilan hukum
dan kepastian hukum merupakan masalah yang krusial bagi Bangsa Indonesia.
REFERENSI
Charles D Kay, 1997, A Theory of
Justice, Harvard University, webs.wofford.edu
Darsis
Humah, 2003, dalam “ Jurnal Tata Negara: Prinsip Keadilan dan Feminisme”: Teori
Keadilan John Rawls, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.
Lowryanta Ginting, 2003,
dalam “ Jurnal Tata Negara: Prinsip Keadilan dan Feminisme”: Tinjauan Kritis
Terhadap Keadilan Menurut Pandangan Para Filosof, Pusat Studi Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Jakarta.
Romly A Sasmita, 2005, dalam
”Dibalik Palu Mahkamah Konstitusi: Telaah Judicial Review Terhadap komisi
Pemberantasan Korupsi”, Masyarakat Transparansi Indonesia, Jakarta.
Suara Karya
Online, 2005, Mendung Gelap di MA, www.suarakarya-online.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar