Selasa, 01 November 2011

EQUALITY BEFORE THE LAW VS IMPUNITY


Pernyataan politik yang dikeluarkan oleh pemerintah baru-baru ini (Kompas, 11 April 2006), yaitu untuk memaafkan ”dosa masa lampau” dari para mantan pemimpin Indonesia, cukup mengejutkan bagi masyarakat Indonesia. Pro dan kontra atas suatu pernyataan politik yang dikeluarkan oleh pemerintah adalah suatu hal yang lumrah di negara ini.
Kalangan yang pro menganggap pernyataan tersebut merupakan suatu hal yang wajar mengingat jasa yang disumbangkan para pemimpin tersebut terhadap Indonesia cukup besar. Dengan pertimbangan humanisme dan hutang budi tersebut  mereka berharap dosa-dosa tersebut “dimaafkan”. Suatu harian ibukota menyebutkan bahwa bangsa Indonesia perlu belajar banyak dari pengalaman Afrika Selatan dalam “memaafkan” kesalahan masa lampau. Harian tersebut mengutip suatu pendapat dari buku yang berjudul The Forgotten and The Forgiven, yang menyodorkan suatu kompromi terhadap kesalahan masa lampau dengan mengutamakan open mind, open heart, and open will.
Kompromi dalam memaafkan masa lampau ini  tidak dapat diterima sepenuhnya oleh kalangan yang mengambil posisi kontra. Kondisi Afrika Selatan  tidak dapat disandingkan dengan kondisi Indonesia, dimana kondisi Afrika Selatan lebih bersifat kompleks dibandingkan dengan Indonesia. Kasus Afrika Selatan hampir mendekati kasus genocide dimana kasus tersebut memang tidak dapat diselesaikan melalui pengadilan.
Kompromi dengan menutup kasus masa lampau (memaafkan dosa) akan mencederai asas legalitas di negara ini, suatu negara yang mendengung-dengungkan bahwa negara didasarkan atas hukum (rechtstaat) bukan atas kekuasaan (machtstaat). Hukum harus tetap dijalankan, dosa masa lalu tetap harus diadili dan kerugian negara tetap harus dikembalikan, dengan demikian hukum ditegakkan. Setelah hukum ditegakkan barulah keputusan politik untuk memaafkan dapat dikeluarkan. Dengan demikian hukum akan tetap menjadi panglima dari politik.
Sikap politik yang diambil oleh pemerintah terhadap pemaafan masa lalu ini selain menimbulkan efek internal juga menimbulkan efek internasional. Dunia Internasional akan mengangap Indonesia sebagai negara yang tidak memiliki sikap dalam masalah penegakan hukum terlebih kasus ini muncul tak lama setelah Indonesia diangkat dalam Dewan HAM PBB.
Tulisan ini tidak akan mengulas lebih jauh mengenai posisi Indonesia di mata dunia internasional melainkan mencoba melihatnya dari sisi akademis, yaitu dari sudut penerapan impunitas dalam hukum sekaligus mengaitkannya dengan Teori John Rawls, Justice as Fairness. Semoga dengan pemaparan yang sederhana ini kita dapat mellihat pernyataan politik tersebut secara lebih terbuka. 


EQUALITY BEFORE THE LAW
Equality before the law berasal dari pengakuan terhadap individual freedom bertalian dengan hal tersebut Thomas Jefferson menyatakan bahwa "that all men are created equal"  terutama dalam kaitannya dengan hak-hak dasar manusia.  Pasal  27  ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Artinya, semua orang diperlakukan sama di depan hukum. Dengan demikian konsep Equality before the Law telah diintodusir dalam konstitusi, suatu pengakuan tertinggi dalam sistem peraturan perundang-undangan di  tanah air.
Ironisnya dalam prakteknya hukum di Indonesia masih diskriminatif, equality before the law tidak diterapkan secara equal bahkan seringkali diabaikan, kepentingan kelompok tertentu lebih mengedepan dibandingkan  kepentingan publik. 
Pengingkaran terhadap konsep ini kian marak terjadi, sebagai ilustrasi, sebutlah misalnya kasus KPU (Suara Karya 2005) , dimana hanya Nazaruddin dan Mulyana W Kusumah yang dituntut di pengadilan. Sementara mereka yang turut memutus pembagian kerja pengadaan barang-barang keperluan pemilu dalam rapat paripurna KPU tidak diperlakukan sama di hadapan hukum. Kalau begitu, bagaimana asas persamaan di hadapan hukum? Padahal arti persamaan di hadapan hukum (equality before the law) adalah untuk perkara (tindak pidana) yang sama. Dalam kenyataan, tidak ada perlakuan yang sama (equal treatment), dan itu menyebabkan hak-hak individu dalam memperoleh keadilan (access to justice) terabaikan. Perlakuan berbeda dalam perkara KPU, karena ada yang tidak dituntut, menyebabkan pengabaian terhadap kebebasan individu. Ini berarti, kepastian hukum terabaikan. Dalam konsep equality before the law, hakim harus bertindak seimbang dalam memimpin sidang di pengadilan - biasa disebut sebagai prinsip audi et alteram partem.
Ilustrasi lainnya adalah masalah penghadiran  Bagir Manan sebagai saksi dalam perkara korupsi Probosutedjo. Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menolak permintaan Jaksa Penuntut Umum untuk menghadirkan Bagir Manan di persidangan.  Keterangan Bagir di depan sidang adalah untuk mengetahui materi pembicaraan antara Bagir Manan dengan terdakwa Harini. Sistem hukum acara pidana di Indonesia masih menganut asas equality before the law. Artinya, semua orang diperlakukan sama di depan hukum. Dengan demikian, dalam proses persidangan semua orang harus diperlakukan sama, termasuk tiga majelis hakim kasus Probosutedjo, yakni Bagir Manan, Parman Suparman dan Usman Karim (Suara Karya online, 2005).

IMPUNITY
Impunity merupakan bentuk persinggungan antara hukum dengan humanity, perlunakan hukum atas nama kemanusiaan. Pengintrodusiran ini bertujuan agar hukum tidak diterapkan secara kaku, hukum dapat dikecualikan bagi mereka yang diberikan hak untuk imun terhadap hukum. Prof. Romly A. Sasmita (2005) menyatakan bahwa hukum, khususnya adresat hukum pidana,  adalah perbuatan seseorang yang melanggar aturan pidana, dan bukan kepada status sosial atau status hukum orang yang bersangkutan. Penjelasan Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP telah menegaskan beberapa kali tentang “perbuatan” dan tidak menyebutkan sama sekali tentang orang yang melakukan perbuatan. Hukum Administrasi Negara tidak memberikan alasan hukum sekecil apapun untuk memberikan peluang perlakuan istimewa terhadap seseorang yang telah ditetapkan menjadi tersangka tindak pidana tertentu, apalagi memberikan impunity terhadap pejabat negara atau penyelenggara negara yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu termasuk korupsi. Hukum memberikan pengecualian kepada mereka yang hilang ingatan (gila) dan yang berada dibawah umur. Jika demikian kriteria pengecualikan yang diberikan oleh hukum, apakah selama ini impunity telah dipergunakan secara tepat?
Jika memang negara Indonesia adalah benar-benar negara hukum (rechtstaat) yang mengagungkan dan mengedepankan nilai equality before the law, semua orang sama dihadapan hukum, patutkah kiranya perkara-perkara pidana khususnya perkara-perkara korupsi dipetieskan atau diendapkan atau apapun istilah yang dipergunakan untuk itu. Apakah selama ini para pelaku korupsi termasuk dalam kriteria hilang ingatan (gila) ataupun berada dibawah umur? Jika mereka tidak termasuk dalam kedua kriteria tersebut apakah patut kiranya mereka dikebalkan terhadap hukum?
Berdasarkan pengalaman yang tertangkap selama ini adalah nilai equality before the law tidak diterapkan dengan sungguh-sungguh, nilai tersebut tidak lebih dari sekedar jargon politik atau lip service dari para petinggi negara. Jika nilai ini diterapkan dengan sungguh-sungguh maka impunity tidak akan diberikan secara semena-mena. Impunity selama ini diberikan kepada kalangan tertentu yang umumnya memiliki power baik itu dalam pengertian politik, sosial ataupun ekonomi.
Semua orang memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum, equality before the law,  telah dipelesetkan menjadi “hanya orang-orang biasa yang memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum”. Itulah pandangan miris kalangan awam terhadap masalah penegakan hukum di negara ini.


JUSTICE AS FAIRNESS
Konsep Justice as Fairness pertama kali diperkenalkan oleh Philsuf John Rawls dalam bukunya A Theory of Justice. Konsep ini menarik untuk diketengahkan kedalam tulisan ini, karena ditengah kondisi masyarakat seperti saat ini sulit bagi kita untuk mampu bersikap adil terutama sekali dalam kaitannya dengan penegakan hukum di negara ini.
Dalam konsep justice as fairness ini Rawls berkeyakinan bahwa perlu adanya keadilan yang diformalkan melalui konstitusi dan hukum sebagai basis pelaksanaan hak dan kewajiban individu dalam interaksi sosial atau keadilan formal menuntut kesamaan minimum bagi segenap masyarakat (Darsis Humah, 2003:40).
Tujuan utama dari konsep Rawls ini adalah untuk memberikan solusi terhadap permasalahan politik atau untuk menjelaskan dalam kondisi seperti apa warga negara dituntut untuk patuh terhadap hukum yang diciptakan oleh negara. Rawls membuat konsep ini berdasarkan hipotesa atas  equality, sehingga tidak ada disparitas dalam bargaining power. Pada dasarnya Rawls memberikan suatu jaminan minimum bahwa setiap orang dalam kasus yang sama harus diperlakukan secara sama. Dengan demikian Rawls percaya bahwa eksistensi suatu masyarakat sangat bergantung pada pengaturan formal melalui hukum serta lembaga-lembaga pendukungnya (Lowryanta Ginting, 2003:5).
Konsep Rawls ini terdiri atas dua prinsip berikut, yaitu:
1.      each person is to have an equal right to the most extensive basic liberty compatible with similar liberty for others.
2.      social and economic inequalities are to be arranged so that they are both:a) reasonably expected to be everyone’s advantage and b) attached to positions and offices open to all.
Prinsip pertama seringkali disebut   sebagai prinsip kebebasan (Liberty Principle) yang dirumuskan oleh Rawls sebagai berikut:
“Semua nilai-nilai sosial (kebebasan dan kesempatan, pendapatan dan kekayaan, dan basis harga diri) harus didistribusikan secara sama. Suatu distribusi yang tidak sama atas nilai sosial tersebut hanya diperbolehkan apabila hal itu memang bermanfaat bagi orang banyak”. 
Prinsip pertama ini memberikan pengakuan dasar sekaligus universal kepada tiap orang sebagai suatu standar minimum. Secara moral setiap orang adalah sama namun disisi lain, dalam dunia nyata (the real world) ada perbedaan secara signifikan antara individu yang berada dalam kondisi merdeka yang  mengacu pada ketimpangan baik secara ekonomi maupun sosial.
Prinsip kedua acapkali disebut prinsip perbedaan (Difference Principle), yang dirumuskan oleh Rawls sebagai berikut: 1) setiap orang harus memiliki hak yang sama bagi semua orang 2) ketidaksamaan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga: a) diharapkan memberikan keuntungan bagi setiap orang, dan b) semua posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang.
Kekuatan dari keadilan dalam arti fairness justru terlepas pada tuntutan bahwa ketidaksamaan dibenarkan sejauh juga memberikan keuntungan bagi semua pihak dan sekaligus memberi prioritas pada kebebasan. Rawls berulang kali menegaskan bahwa kebebasan dan kesamaan seharusnya tidak boleh dikorbankan demi manfaat sosial dan ekonomi, betapapun besarnya manfaat yang dapat diperoleh dari sudut itu.
Perbedaan ras, agama, dan warna kulit bukanlah penyebab terjadinya pembagian alamiah yang tidak adil. Ketidakadilan dalam pembagian yang alamiah tersebut lebih disebabkan oleh situasi. Oleh karena itulah Rawls  menawarkan suatu konsep yang menarik mengenai nilai  keadilan ini, setiap orang harus kembali kepada posisi asali (original position) sebagai mana dilustrasikannya berikut ini:
...imagine yourself in an original position behind a veil of ignorance. Behind this veil, you know nothing of yourself and your natural abilities, or your position in society. Behind such a veil of ignorance all individuals are simply specified as rational, free, and morally equal beings (Charles D Kay, 1997:1).
Posisi asali ini merupakan suatu keadaan dimana manusia berhadapan dengan manusia lain sebagai manusia. Dengan memposisikan diri kedalam posisi yang bebas nilai (free value) ini kita akan mampu untuk mencerna mengenai keadilan.

PENUTUP
Reformasi hukum di Indonesia dirasakan belum dapat mengimbangi perkembangan yang terjadi di masyarakat selain itu reformasi hukum dinilai belum sepenuhnya mampu menangani permasalahan penegakan hukum yang masih carut marut. Pemahaman akan konsep equality before the law masih belum sepenuhnya diterapkan ataupun dipahami secara benar. Ada suatu pernyataan menarik yang dilontarkan oleh salah seorang akademisi di lingkungan perguruan tinggi di Kalimantan Timur,  yang menyatakan bahwa anggota DPR ataupun DPRD tidak dapat dikenai ketentuan dalam UU No.31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.  Argumentasi yang dikedepankan adalah tidak adanya aturan hukum yang secara jelas mengatur mengenai tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh anggota Dewan, selain itu gaji yang diterima oleh anggota DPRD bukan berasal dari APBN secara langsung melainkan melalui Sekretaris Dewan (Sekwan).  
Sebenarnya bila memahami ketentuan dalam undang-undang tentang tindak pidana korupsi ini maka secara jelas kedua undang-undang tersebut dalam setiap pasalnya menggunakan kata “setiap orang”. Dengan demikian seluruh warga negara yang melakukan perbuatan sebagaimana yang diatur dalam undang-undang tersebut secara otomatis akan terikat dengan ketentuan-ketentuan tersebut. Undang-undang secara jelas memberlakukan asas equality before the law ini dalam ketentuan-ketentuannya. Demikian pula dengan asas impunity yang diterapkan dalam induk undang-undang tersebut, yaitu Kitab Undang-undang Hukum Pidana, maka jika ada yang pendapat yang membedakan atas dasar status sosial dan status hukum seseorang pelaku tindak pidana termasuk koruptor maka tidak ada legitimasi selain harus dinyatakan bahwa pelaku tindak pidana atau koruptor itu gila atau dibawah umur. Argumentum lainnya adalah mengutip pernyataan Prof. Romly A. Sasmita yang menyatakan bahwa jika masih ada undang-undang yang memberikan keistimewaan perlakuan maka undang-undang tersebut bertentangan secara diametral dengan UUD 1945 dan perubahannya yang menyatakan secara eksplisit, hak setiap orang untuk diperlakukan semua di muka hukum (equality before the law) dalam posisi apapun juga selama dalam status tersangka/terdakwa/terpidana.
Berkaitan dengan masalah penegakan hukum tersebut maka Konsep John Rawls dapat memberikan sumbangan yang sangat penting bagi penataan hukum dan sosial politik bangsa Indonesia terutama dalam kaitannya dengan konsep mengenai kebebasan, kesamaan hak, dan rasionalitas. Konsep tersebut bertalian dengan upaya membangun moralitas politik dan budaya hukum yang equal. Mengingat masalah keadilan hukum dan kepastian hukum merupakan masalah yang krusial bagi Bangsa Indonesia.

REFERENSI
Charles D Kay, 1997, A Theory of Justice, Harvard University, webs.wofford.edu

Darsis Humah, 2003, dalam “ Jurnal Tata Negara: Prinsip Keadilan dan Feminisme”: Teori Keadilan John Rawls, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.

Lowryanta Ginting, 2003, dalam “ Jurnal Tata Negara: Prinsip Keadilan dan Feminisme”: Tinjauan Kritis Terhadap Keadilan Menurut Pandangan Para Filosof, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.

Romly A Sasmita, 2005, dalam ”Dibalik Palu Mahkamah Konstitusi: Telaah Judicial Review Terhadap komisi Pemberantasan Korupsi”, Masyarakat Transparansi Indonesia, Jakarta.

Suara Karya Online, 2005, Mendung Gelap di MA, www.suarakarya-online.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar